Terorisme
dan Bom Masjid di Sinai
M Najih Arromadloni ; Pemerhati Timur Tengah, Penulis buku Bid'ah Ideologi ISIS
|
DETIKNEWS,
27 November
2017
Jumat 24 November 2017, tepat di hari
peringatan dua tahun bom di ibu kota Tunisia, sebuah bom teroris kembali
meledak di Mesir, tepatnya di Masjid al-Rawdah di Bi'r al-Abid, Kota
al-Arish, Provinsi Sinai Utara. Bom yang disertai penembakan membabi buta ini
menewaskan 235 orang dan mencederai 109 orang (detikcom, 24/11/2017). Ledakan
bom ini terjadi di saat jamaah tengah menunaikan ibadah Salat Jumat. Dan, di
saat sebagian jamaah berhamburan keluar masjid, para pelaku yang menunggu di
luar masjid memberondong jamaah Salat Jumat tersebut dengan tembakan peluru,
disertai teriakan takbir.
Para pelaku yang berjumlah sekitar 40 orang
itu mengepung empat bagian sisi masjid dengan kendaraan ATV, juga menanam bom
di luar masjid dan memblokir akses keluar masjid. Mereka bahkan menembaki
ambulan yang mencoba mendekat ke lokasi. Penembakan ini berlangsung selama
kurang lebih 20 menit (al-Watan, 24/11/2017). Serangan ini bisa dibilang amat
brutal karena menarget warga sipil yang tengah beribadah dan tidak
memperkirakan sama sekali akan adanya serangan.
Serangan ini juga bukan yang pertama kali
terjadi di masjid yang sama. Pada Oktober setahun lalu, seorang imam masjid
tersebut yang merupakan pemimpin tarekat sufi di Sinai, Syeikh Sulaiman Abu
Haraz, diculik oleh kelompok teroris ISIS dan diumumkan tiga hari setelahnya.
Satu bulan kemudian ISIS merilis video yang memperlihatkan syeikh tersebut
disembelih oleh salah satu anggotanya dengan tuduhan telah musyrik dan
menyebarkan khurafat.
Di sisi lain, Sinai utara merupakan kawasan
yang dikenal sebagai basis berbagai kelompok militan, mulai dari Ikhwanul
Muslimin, ISIS, sampai dengan al-Hazimiah. Mereka tidak membentuk afiliasi,
karena satu sama lain saling mengkafirkan. Pertanyaannya adalah, kenapa
mereka menyerang Masjid al-Rawdlah Sinai?
Sebelum ISIS dideklarasikan secara resmi
pada November 2014, kelompok yang menjadi embrionya sudah ada di Sinai, dan
pasca-deklarasi mereka menegaskan bahwa musuh utamanya adalah tiga; aparat
keamanan, umat Kristiani, dan kelompok Sufi. Dan, Masjid al-Rawdlah ini
adalah sebuah masjid besar yang merupakan pusat kegiatan tarekat al-Jaririah,
sebuah kelompok tarekat sufi yang ada Sinai dan mempunyai pengikut puluhan
ribu di Mesir, Palestina dan Yordania, serta negara-negara teluk.
Pendiri tarekat ini, Syeikh 'Id Abu Jarir
merupakan salah satu tokoh sufi pertama di Sinai dan mempunyai peran penting
dalam perlawanan rakyat Mesir terhadap pendudukan Israel atas Sinai.
Bagi ISIS, menyerang sebuah masjid kaum
sufi mempunyai dua misi; ideologis dan politis-keorganisasian. Berkaitan
dengan ideologi, menarget kaum sufi adalah bagian dari metodologi teror
mereka, di wilayah mana pun. Bagi mereka kaum sufi berbahaya karena mempunyai
kekuatan pengikut yang besar dan amat potensial menjadi basis perlawanan
kultural bagi ideologi radikalisme-terorisme. Majalah al-Naba', resmi
diterbitkan oleh ISIS, memuat ancaman mereka; "Kami mendeklarasikan,
kepada semua surau-surau sufi, guru dan pengikut kaum sufi, baik di Mesir
maupun di luar, kami melarang praktik tarekat sufi di Sinai secara khusus,
dan di Mesir secara umum."
Adapun misi politik-keorganisasian atau
kemiliteran, menyerang kaum sufi adalah bagian dari realisasi atas metodologi
prioritas serangan terhadap musuh dekat (near enemy), dibanding musuh jauh
(far enemy). Ini berarti mereka mengutamakan target musuh yang dekat, baik
sipil maupun militer, dibandingkan dengan menyerang musuh yang jauh berupa
negara-negara Barat.
Menyerang kelompok sufi ini juga merupakan
tahapan pertama dari pedoman mereka dalam Manajemen Kekerasan (Idarat
al-Tawahusy) oleh ideolog Abu Bakar al-Naji, yang disebut dengan al-Syawkah
wa al-Nikayah, yaitu merealisasikan sebuah serangan teror terhadap kelompok
tertentu yang mempunyai pengaruh dengan tujuan menggelorakan perpecahan dan
gejolak sosial, dan di ujung tahapan ini adalah pendirian khilafah islamiyah.
Masjid al-Rawdah Sinai ini bukan merupakan
masjid sufi yang pertama kali mendapatkan serangan dari kelompok-kelompok
teroris berlabel Islam, karena sebelumnya kelompok teroris sudah berkali-kali
melakukan penyerangan terhadap masjid dan menarget para ulama dan umat Islam
yang taat serta berpendidikan. Mengutip 'Ala Abu al-'Azaim, ketua Persatuan
Tarekat Sufi Internasional, "Serangan di masjid Sinai ini merupakan rangkaian
dari rencana kelompok teroris menarget tarekat-tarekat sufi di dunia Islam.
Mereka telah menarget guru-guru tarekat di Yaman, Libya, Pakistan, Somalia,
Suriah, dan Irak."
Meneror
Masjid
Terorisme bukan hanya tidak punya agama,
tetapi juga musuh agama. Buktinya adalah serangan-serangan mereka atas banyak
masjid dan tempat ibadah agama-agama selain Islam sejak awal sejarah,
pembunuhan Sayyidina Ali sesaat setelah beliau menunaikan Salat Subuh di
masjid bisa menjadi contohnya. Di Indonesia, serangan teror menarget masjid
pernah terjadi di masjid Polresta Cirebon pada 15 April 2011. Dan, peristiwa
paling mutakhir adalah 1 Juli 2017 ketika dua orang teroris menusuk dua
jamaah Salat Isya di Masjid Falatehan di Kebayoran Baru Jakarta.
Sepanjang 2015 sampai dengan 2017, paling
tidak ada tiga puluh serangan teror yang dilakukan di masjid di seluruh
dunia, baik yang berbentuk pemboman, penusukan, maupun penembakan terhadap
jamaah salat. Misalnya di sebuah masjid kota Mubi Nigeria (21 November 2017),
terjadi serangan bom bunuh diri menewaskan sedikitnya 50 orang dengan target
jamaah Salat Subuh. Pelakunya adalah kelompok teroris Boko Haram.
Sebuah serangan teror juga menyasar Masjid
Dar al-Ri'ayah al-Islamiyah di London utara, ketika sebuah truk menabrak
jamaah yang selesai menunaikan salat tarawih pada 19 Juni 2017. Begitu pula
di Kanada; lima orang terbunuh dan banyak yang terluka, ketika terjadi sebuah
serangan bersenjata ditujukan kepada jamaah Salat Isya di masjid Pusat
Kebudayaan Islam pada 30 Januari 2017. Peristiwa teror di dalam masjid juga
terjadi di Somalia, Afghanistan, Pakistan, Yaman, Arab Saudi, dan Kuwait.
Serangan teroris yang ditujukan kepada
jamaah salat di masjid kemungkinan dilatarbelakangi keputusasaan dan
ketidakmampuan mereka menyerang aparat keamanan di Mesir. Di Irak, teroris
menarget pemboman jamaah masjid dengan memanfaatkan ideologi partisan Sunni
dan Syiah yang bertikai di sana. Kasus di Mesir dan Irak bisa berbeda dengan
di Indonesia, karena teroris di sini masih menjadikan target utamanya adalah
polisi. Fakta ini bisa berubah apabila masyarakat bisa dengan mudah mereka
pecah belah dengan propaganda dan fitnah, karena agenda utama terorisme
adalah menimbulkan gejolak, kekacauan dan meruntuhkan tertib sosial.
Untuk mewujudkan agenda tersebut, mereka
mempropagandakan bahwa aparatur pemerintah tidak becus mengelola dan menjaga
keamanan negara, dan mereka bisa menggiring masyarakat untuk melawan
pemerintah yang mereka anggap taghut.
Maka sejatinya, bagi teroris tidak ada beda
menyerang umat muslim maupun non-muslim, karena yang menjadi musuh mereka
adalah persatuan, kebhinnekaan, ketertiban, dan keamanan. Mereka sendiri
tidak membedakan latarbelakang ormas atau agama target, karena bagi mereka,
semua yang ada di luar kelompok adalah kafir dan berhak dijadikan musuh.
Teror
di Hari-hari Besar Umat Islam
Sesuatu yang patut diamati pula dari
serangan bom dan penembakan di Masjid al-Rawdlah Sinai utara ini adalah
pelaksanaannya di hari Jumat, tepat di bulan Rabiul Awal, momentum lahirnya
Nabi Muhammad SAW, di mana akan ada banyak perayaan Maulid Nabi di seluruh
dunia. Tercatat, ada banyak peristiwa teror yang terjadi di hari Jumat dan di
hari atau bulan istimewa umat Islam. Kenapa? Karena kelompok-kelompok teroris
--secara keliru-- beranggapan bahwa hari Jumat adalah hari yang paling utama
untuk memperoleh kesyahidan.
Faktanya, di bulan Ramadan biasanya tren
amaliah terorisme juga meningkat. Lagi-lagi pertanyaannya adalah kenapa?
Karena mereka menganggap bulan puasa adalah bulan ibadah dan dilipatgandakannya
pahala. Dan, mereka percaya ibadah paling utama adalah jihad, sedangkan jihad
diartikan oleh mereka pure serangan fisik. Pola pikir seperti ini tentu
adalah pikir yang sesat dan menyesatkan. Bukankah bulan Ramadhan Nabi
Muhammad dalam sejarahnya dipenuhi dengan salat, tadarus Alquran, menahan
nafsu dan berbagi dengan orang yang membutuhkan?
Di Mesir misalnya, sepanjang 2016-2017 saja
paling tidak terdapat dua puluh serangan teror yang dilakukan pada hari
Jumat. Misalnya, pada 26 Mei 2017 terjadi serangan teror terhadap umat
Koptik, dan pada 17 Ramadan terjadi pembantaian di Rafah, saat beberapa
aparat keamanan Mesir berada di posnya sedang menunggu adzan Maghrib untuk
berbuka, tiba-tiba muncul sekelompok anggota kelompok teror dan membantai 16 aparat
keamanan tersebut. Media Mesir menyebut peristiwa ini dengan "Penjagalan
Rafah I".
Serangan di bulan puasa juga terjadi di
masjid Madinah saat aparat keamanan tengah berbuka puasa, pada 4 Juli 2016.
Sehari berselang dari peristiwa tersebut, masih di bulan puasa, adalah upaya
bom bunuh diri di Solo yang menewaskan pelaku di depan kantor Mapolresta Solo
dan membuat salah satu petugas luka ringan (5 Juli 2016).
Dengan melakukan pengeboman dan penembakan
di dalam masjid di hari-hari besar umat beragama, dengan target warga sipil
sebuah negara berdaulat semakin menegaskan bahwa terorisme bukan hanya tidak
punya agama, tidak punya rasa kemanusiaan dan tidak punya tanah air,
melainkan ia adalah musuh agama, musuh kemanusiaan dan musuh negara!
Al-Fatihah untuk para korban... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar