Cara
Melawan Demagog Populis
Dani Rodrik ; Profesor Politik Ekonomi Internasional
di Sekolah Pemerintahan
John F Kennedy, Universitas Harvard;
Penulis ”Economics
Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”
|
KOMPAS,
28 November
2017
Pada sebuah konferensi yang saya hadiri
baru-baru ini, saya duduk di samping seorang pakar kebijakan perdagangan
Amerika Serikat terkemuka. Kami mulai berdiskusi mengenai Kawasan Perdagangan
Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang oleh Presiden Donald Trump dianggap sebagai
penyebab sengsaranya buruh di Amerika Serikat dan ia coba untuk negosiasi
ulang. ”Saya tidak pernah melihat NAFTA sebagai sebuah masalah besar,” kata
ekonom tersebut.
Saya tercengang. Pakar tersebut adalah
salah seorang pendukung NAFTA yang paling terkemuka pada saat perjanjian
tersebut disepakati seperempat abad yang lalu.
Dia dan para ekonom perdagangan lainnya
telah memainkan peran besar dalam mendapatkan dukungan publik AS terhadap
perjanjian tersebut. ”Saya mendukung NAFTA karena saya kira hal ini akan
membuka jalan bagi perjanjian-perjanjian perdagangan lebih lanjut lainnya,”
ujar ekonom tersebut.
Beberapa minggu kemudian, saya menghadiri
jamuan makan malam di Eropa, dengan salah satu pembicaranya adalah mantan
menteri keuangan salah satu negara yang termasuk dalam zona euro. Topik
pembicaraan ketika itu adalah bangkitnya populisme.
Trilema
Mantan menteri tersebut telah meninggalkan
dunia politik dan ia menggunakan kata-kata yang tajam ketika membicarakan
tentang apa yang ia pikir sebagai kesalahan yang dilakukan para elite
pengambil kebijakan di Eropa. ”Kita menuduh kaum populis membuat janji-janji
yang tidak akan bisa mereka tepati, tetapi kita seharusnya melihat diri kita
sendiri,” katanya.
Pada awal jamuan makan itu, saya
mendiskusikan apa yang saya sebut sebagai trilema, di mana kedaulatan
nasional, demokrasi, dan globalisasi yang kelewat batas (hyper-globalization)
tidak mungkin dapat dicapai pada saat yang sama. Kita harus memilih dua dari
tiga hal tersebut.
Mantan politikus tersebut berbicara dengan
penuh semangat: ”Kaum populis adalah
yang paling tidak jujur. Mereka mengetahui dengan jelas pilihan apa yang
mereka ambil; mereka menginginkan negara bangsa (nation-state), dan bukan
globalisasi yang kelewat batas atau pasar tunggal Eropa. Namun, kita berkata
bahwa kita bisa memiliki ketiga hal itu pada saat yang bersamaan. Kita
membuat janji yang tidak bisa kita penuhi.”
Kita tidak akan pernah tahu apakah
kejujuran ekstra dari para politisi atau teknokrat akan membuat kita
terhindar dari kebangkitan demagog nativis, seperti Trump atau Marine Le Pen
di Perancis. Yang jelas, ada akibat dari kurangnya keterbukaan di masa lalu
yang telah menyebabkan gerakan politik sentris kehilangan kredibilitas
mereka. Dan, hal ini telah lebih menyulitkan para elite dalam menjembatani
kesenjangan antara mereka dan masyarakat biasa yang merasa telah ditinggalkan
para elite.
Banyak elite yang merasa bingung karena
orang yang miskin atau para pekerja mau memilih kandidat seperti Trump,
meskipun kebijakan perekonomian yang akan diambil Hillary Clinton terbukti
lebih mungkin untuk menguntungkan mereka. Untuk menjelaskan paradoks ini,
mereka menyebut bahwa ketidaktahuan, irasionalitas, atau rasisme para pemilih
sebagai penyebabnya.
Informasi
asimetris
Namun, terdapat penjelasan lain, sebuah
penjelasan yang konsisten dengan rasionalitas dan kepentingan pribadi. Ketika
politisi kehilangan kredibilitas mereka, wajar jika para pemilih tidak menghiraukan
janji yang mereka katakan. Para pemilih lebih tertarik pada kandidat yang
antikemapanan dan dianggap tidak akan mengambil kebijakan seperti yang ada
saat ini.
Dalam bahasa yang digunakan para ekonom,
para politisi sentris menghadapi permasalahan informasi asimetris. Mereka
berkata bahwa mereka adalah reformis, tetapi mengapa para pemilih harus
percaya bahwa mereka berbeda dari para politisi lain yang sebelumnya
menjanjikan banyaknya manfaat globalisasi dan mengabaikan penderitaan mereka?
Dalam kasus Clinton, hubungan dekatnya
dengan para globalis di Partai Demokrat dan dengan sektor finansial telah
menambah permasalahan baginya. Kampanyenya menjanjikan perjanjian perdagangan
yang adil dan menolak Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), tetapi apakah ia benar-benar
percaya akan hal-hal tersebut? Apalagi mengingat bahwa dia adalah mantan
menteri luar negeri AS dan ia dulu sangat mendukung TPP.
Inilah yang para ekonom sebut sebagai
pooling equilibrium. Politisi konvensional dan reformis terlihat serupa
sehingga mendapatkan tanggapan yang sama dari para pemilih. Mereka kehilangan
dukungan ke para populis dan demagog terlihat lebih meyakinkan ketika mereka
berjanji untuk mengubah sistem yang ada sekarang. Melihat tantangan sebagai
permasalahan informasi asimetris juga mengisyaratkan sebuah solusi. Penyatuan
kesetimbangan dapat dicegah jika para politisi reformis dapat memberikan
”sinyal” kepada para pemilih mengenai ”jati diri mereka yang sebenarnya”.
Memberikan sinyal dalam hal ini mempunyai
sebuah konteks khusus. Hal ini berarti melakukan tindakan yang cukup ekstrem
yang tidak ingin dilakukan oleh para politisi konvensional, tetapi tidak
seekstrem hingga menjadikan mereka sebagai politisi populis dan tidak
mencapai tujuan mereka. Bagi seseorang seperti Clinton, dengan asumsi bahwa
ia benar-benar berubah, memberikan sinyal berarti mengumumkan bahwa ia tidak
lagi akan menerima dana dari Wall Street atau tidak akan menandatangani
perjanjian perdagangan lainnya jika terpilih.
Dengan kata lain, para politisi sentris
yang ingin menyaingi popularitas demagog harus berhati-hati dalam mengambil
tindakan. Jika melakukan hal ini terdengar sebagai sesuatu yang sulit
dilakukan, ini merupakan indikasi tantangan yang dihadapi oleh para politisi
tersebut. Mencapai hal ini mungkin membutuhkan wajah baru dan politisi yang
lebih muda, yang belum tercemar dengan cara pandang pendahulu mereka yang
globalis dan fundamentalis pasar.
Hal ini juga memerlukan pengakuan bahwa
politisi dipilih untuk mendorong kepentingan nasional. Dan, hal ini berarti
bahwa mereka harus mau mengkritisi prinsip-prinsip otoritas yang
berkuasa—khususnya mengenai kebebasan yang dimiliki oleh institusi finansial,
bias terhadap kebijakan penghematan, pandangan mengenai peran pemerintah
dalam perekonomian, pergerakan bebas modal di seluruh dunia, dan pengagung-
agungan perdagangan internasional.
Bagi khalayak ramai, retorika pemimpin yang
seperti di atas sering kali terdengar mengejutkan dan ekstrem. Namun, hal ini
diperlukan untuk merayu kembali para pemilih dari demagog populis. Para
politisi ini menawarkan sebuah hal yang inklusif, dibandingkan dengan
nativis, sebuah konsepsi mengenai identitas nasional, dan prinsip politik
mereka harus tetap berada dalam ranah demokrasi liberal. Segala hal yang lain
harus tetap mereka lakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar