Pendidikan
Politik Kebinekaan
Sidik Nugroho ; Guru dan Pengarang, Tinggal di Pontianak;
Alumnus Jurusan Sejarah
Universitas Negeri Malang
|
KOMPAS,
24 November
2017
Dalam salah satu suratnya
kepada Lucilius, Seneca menulis tentang pentingnya keteladanan: Longum iter est per praecepta, breve et
efficax exempla, yang artinya “Melalui perintah jalannya panjang, melalui
teladan jalannya pendek dan efektif”.
Prinsip keteladanan dalam
pendidikan, walaupun sudah akrab di telinga kita, disampaikan Ki Hajar
Dewantara dalam semboyannya ing ngarso sing tulodo, tampaknya perlu
direnungkan kembali. Sudahkah guru-guru menjadi pelopor, terutama dalam
menebar semangat bertoleransi?
Dalam beberapa tahun terakhir,
gejala intoleransi muncul di berbagai ranah kehidupan. Pun dalam dunia
pendidikan. Bulan lalu, di SD Negeri 16 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur,
seorang siswa berinisial JSZ dirundung teman-temannya karena berwajah mirip “Ahok”.
Tak hanya dirundung secara verbal, tangannya ditusuk bolpoin.
Peristiwa yang menimpa JSZ
hanya satu dari berbagai indikasi lain munculnya intoleransi di dunia
pendidikan. Artikel di Kompas.com pada 3 Mei 2017 berjudul “Asal Muasal
Penelitian Kemendikbud dan Temuan Sikap Intoleransi di Sekolah”, memberitakan
penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan
Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbang Kemendikbud). Hasilnya, ada beberapa
temuan perilaku intoleran yang perlu diperhatikan bersama, terutama oleh para
pendidik.
Salah satu hasil yang perlu
dicermati dari penelitian itu adalah: ada 8,2 persen responden menolak ketua
OSIS yang agamanya berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen responden yang
merasa nyaman bila OSIS dipimpin orang seagama. Kecenderungan untuk
memilih-atau merasa lebih nyaman dengan kehadiran-pemimpin seagama, mengapa
bisa terjadi?
Di Kompas.com, 2 Mei 2017, di
artikel “Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan
Sekolah”, disampaikan bahwa “benih intoleransi muncul karena berbagai faktor,
seperti tingkat pemahaman akan nilai kebangsaan yang sempit di sekolah… (dan)
penanaman nilai agama yang eksklusif…”.
Menggugah kesadaran
Pemilihan ketua OSIS adalah
kegiatan yang semestinya menjadi bahan pendidikan politik yang efektif. Di
sekolah-sekolah yang tidak berbasis ajaran agama tertentu, semestinya
pemilihan ketua OSIS menjadi ajang yang menggugah kesadaran akan kemajemukan
dan toleransi.
Adanya benih-benih intoleransi
yang menyebar di sekolah semestinya membuat para guru meninjau kembali (model
pembelajaran) pendidikan keagamaan di sekolah, selain pendidikan
kewarganegaraan. Sudahkah itu menawarkan kesadaran untuk mencintai manusia
sebagai sesama makhluk Tuhan yang sederajat dengannya? Atau malah menggiring
siswa untuk mencintai agama semata?
Nadirsyah Hosen dalam artikel
berjudul “Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial” di laman Nahdlatul Ulama (14
September 2016) menyampaikan istilah “saleh ritual” dan “saleh sosial” yang
dipopulerkan KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus. Kesalehan
ritual ditingkatkan dengan rajin dan tekun beribadah secara pribadi kepada
Tuhan. Kesalehan sosial dikembangkan dari relasi dengan orang lain dengan
banyak berbuat amal dan kebaikan, salah satunya bertoleransi. Mendalami agama
dan rajin beribadah itu penting, tetapi jadi akan kurang berarti bila dalam
pergaulan di masyarakat seseorang tak bisa hidup berdampingan dengan penganut
agama lain dengan bertoleransi.
Guru yang menanamkan kesadaran
kepada siswa bahwa agama yang dianut seseorang belum tentu menjadikannya
pemimpin yang lebih baik akan menumbuhkan pemahaman yang rasional-juga kritis
dan ilmiah-pada siswa tentang toleransi dalam berpolitik. Pemahaman itulah
yang nantinya akan memainkan peran besar bagi siswa untuk melihat, mencari
tahu, dan bertanya tentang kualifikasi seorang (calon) pemimpin politik.
Pengaruh dan pilihan
Lingkungan pendidikan, tempat
siswa menghabiskan waktu cukup banyak menjalin berbagai interaksi sosial,
memainkan peran penting dalam pembentukan ideologi dan pemahaman politik.
Kecenderungan sebagian kecil siswa yang menunjukkan sikap intoleransi dalam
penelitian yang disampaikan di atas bisa menjadi kajian dalam psikologi
sosial.
Budiardjo (1989: 24)
menyampaikan keterkaitan antara politik dan psikologi sosial. Psikologi
sosial dapat memberikan pemahaman politik tentang “sikap dan reaksi kelompok
terhadap keadaan yang dianggap baru, asing, ataupun berlawanan dengan
konsensus masyarakat mengenai suatu gejala sosial tertentu”. Di sekolah,
bagian dari kelompok masyarakat yang menyelenggarakan tugas pendidikan,
bagaimanakah sikap guru terhadap ajaran-ajaran asing yang intoleran, yang
juga berimbas pada pemahaman siswa tentang (calon) pemimpin politik yang
ideal?
Ketika guru sudah abai terhadap
kebinekaan, yang notabene merupakan realitas bangsa Indonesia, maka ajarannya
pun dapat menerbitkan sentimen tertentu terhadap orang yang berbeda suku atau
agama. Dan, bukan hanya dalam ajaran, tetapi dalam ujaran dan berbagai
interaksi lainnya di sekolah, pengaruh dari guru ke siswa pun dapat menyebar,
membuat siswa terbiasa untuk berpikir dan bertindak seperti gurunya-seperti
tulis Seneca tadi: “… teladan jalannya pendek dan efektif”.
Agama memang mulia dan
mengajarkan kebaikan. Akan tetapi, kita tak bisa menutup mata bahwa di
berbagai tempat, kebencian pun dapat ditularkan lewat penafsiran terhadap
ajaran agama yang keliru atau tak berimbang. Pada peringatan Hari Guru ini,
baiklah para guru bersama-sama merenungkan kembali pola pendidikan yang
berwawasan kebinekaan di Tanah Air ini. Keteladanan guru dalam memberikan
ajaran dan perilaku yang toleran akan membuat para siswa menghargai
perbedaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar