Rebutan
Supremasi Saudi-Iran
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif
Institute for Democracy Education
|
KOMPAS,
27 November
2017
Pertarungan Arab Saudi-Iran memperebutkan
supremasi kawasan bereskalasi menuju situasi berbahaya. Sidang darurat Liga
Arab di Kairo, Mesir, merekomendasikan membawa isu ini ke DK PBB.
Sebelumnya, Saudi telah bermanuver di
Yaman, Qatar, Palestina, dan Lebanon untuk menekan Iran. Hubungan Saudi-Iran
memang tak harmonis sejak Revolusi Islam Iran 1979. Rivalitas kian intens
pasca-kejatuhan Presiden Saddam Hussein (2003), Arab Spring di Suriah (2011).
Puncaknya, awal 2016 Saudi memutuskan hubungan diplomatik setelah Iran
memprotes eksekusi mati ulama terkemuka Syiah Saudi, Sheikh Nimr Baqir
al-Nimr.
Eskalasi ketegangan Saudi-Iran berkelindan
dengan kiprah Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), yang ingin
menciptakan Saudi menjadi negara modern dan pemain utama di kawasan.
Perang
Yaman
Maret 2015, dua bulan setelah menjadi
menteri pertahanan, MBS menghimpun sejumlah negara Arab berperang di Yaman
untuk memulihkan kekuasaan Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi yang dikudeta
oleh milisi Syiah Houthi dukungan Iran.
Hingga kini tak ada tanda-tanda Houthi akan
menyerah. Bahkan, pada 4 November lalu, Houthi menembakkan rudal balistik ke
arah bandara Raja Khalid di ibu kota Saudi, Riyadh.
Perang itu telah mencoreng reputasi Saudi
di mata internasional akibat serangan serampangan pesawat tempur Saudi
terhadap infrastruktur di negara termiskin di Jazirah Arab itu.
Dengan tembakan rudal balistik Houthi,
Saudi bermanuver di Lebanon. Setelah bertemu MBS, PM Lebanon Saad al-Hariri
mengundurkan diri. Terkesan kuat pengunduran Hariri dipaksa oleh Saudi, yang
sangat berpengaruh di Lebanon melalui kekuatan ekonomi. MBS kecewa kepada
Hariri karena tak mampu mendepak Hezbollah pro-Iran dari panggung politik
Lebanon.
Pemerintahan Hariri adalah pemerintahan
koalisi banyak partai. Hezbollah adalah salah satu pemain utama. Konstitusi
Lebanon membagi kekuasaan menurut garis agama. Golongan Kristen mendapatkan
posisi presiden, Syiah sebagai ketua parlemen, dan Sunni mengendalikan
jabatan perdana menteri. Hariri, yang eksistensi politiknya sangat bergantung
pada Saudi, sulit menolak permintaan MBS.
Terlebih sekitar 400.000 orang Lebanon
bekerja di negara-negara Arab Teluk, yang setiap tahun mengirim remiten ke
Lebanon 7-8 miliar dollar AS. Jumlah ini signifikan untuk menggerakkan
ekonomi Lebanon yang berpenduduk 4,5 juta jiwa.
MBS memang menekan Hariri untuk melucuti
pengaruh Iran di Lebanon. Namun, manuver Saudi ini tidak didukung sekutu
Barat karena khawatir Lebanon akan kembali perang saudara.
Saudi juga bermanuver di Palestina. Awal
Oktober lalu, Saudi-bersama Mesir dan Uni Emirat Arab-mensponsori
rekonsiliasi Hamas dengan Fatah. Saudi ingin mengeliminasi pengaruh Iran di
tubuh Palestina. Sejauh ini, Iran mendukung Hamas, padahal Saudi ingin segera
berdamai dengan Israel.
Untuk memutuskan tangan Iran di Palestina,
pertengahan September lalu MBS diam-diam berkunjung ke Israel. Di sana ia
bertemu PM Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat Israel. MBS telah memiliki
konsep perdamaian Israel-Palestina sehingga ada kemungkinan kesepakatan damai
dalam waktu dekat.
Pertengahan Oktober lalu MBS juga
mengundang Presiden Palestina Mahmoud Abbas ke Riyadh. Pada hari itu juga
hadir Mohammad Dahlan. Dahlan adalah musuh besar Abbas di tubuh Fatah. Besar
kemungkinan kehadiran Dahlan untuk menekan Abbas agar menerima proposal
perdamaian Israel-Palestina. Kalau tidak, Saudi akan mengangkat Dahlan
sebagai penggantinya.
Nyatanya, sepulang dari Riyadh, Abbas
langsung membersihkan orang-orang Dahlan. Terkait rencana penutupan kantor
PLO, Otoritas Palestina mengancam membekukan komunikasi dengan AS sehingga
upaya AS memediasi perundingan Palestina-Israel terancam berhenti.
Kalau toh konsep perdamaian direalisasikan,
Iran akan memperoleh keuntungan dan Saudi akan terisolasi. Bahkan, posisi MBS
di dalam negeri terancam. Masalahnya, dalam konsep perdamaian itu, Palestina
dirugikan. Jerusalem Timur akan jatuh ke tangan Israel. Palestina hanya
mendapat bantuan finansial dan pembebasan tahanan Palestina dari
penjara-penjara Israel. Maka, posisi Iran menentang perdamaian akan mendapat
dukungan luas dunia Arab dan Islam.
Krisis
Qatar
Krisis Qatar yang pecah 5 Juni adalah
bagian dari upaya MBS menekan Iran. Krisis dipicu oleh tuduhan kubu Saudi
bahwa Qatar mendukung terorisme dan menjalin hubungan dengan Iran. Untuk
menyelesaikan krisis ini, kubu Saudi menuntut Qatar memenuhi 13 tuntutan,
termasuk memutuskan hubungan dengan Iran. Doha menolak.
Menanggapi blokade atas Qatar, Iran
bergerak cepat. Blokade dan sanksi ekonomi-politik agar Qatar menjauhi Iran
justru mendorong Qatar memperkuat
hubungan dengan negara itu.
Beberapa hal ingin dicapai MBS dalam semua
gebrakan di atas. Pertama, ia ingin mengalihkan perhatian dari turbulensi
politik di Saudi akibat pembersihan orang-orang penting di negara itu. Kedua,
ia ingin menyelamatkan Saudi dari ancaman Iran. Ketiga, MBS ingin membentuk
tatanan baru Timur Tengah di mana Saudi memainkan peran hegemonik setelah
peran AS memudar.
Untuk semua ini MBS mengubah model
pengambilan keputusan pemerintahan berbasis konsensus keluarga menjadi one
man show yang sangat otoriter. Ini akan mengasingkan sebagian besar pangeran
yang jumlahnya mencapai 7.000 orang.
Transformasi sosial, ekonomi, dan budaya
yang dilancarkan MBS guna menyesuaikan dengan perubahan zaman perlu
diapresiasi. Namun, diperlukan waktu dan proses panjang dengan kebijakan
regional yang kondusif.
Konsensus keluarga tak menginginkan konflik
dengan Iran, negara kuat yang pemerintahnya didukung rakyat. Namun, MBS malah
mengambil jalan keras, bahkan terus memproduksi retorika anti-Iran.
Seharusnya MBS konsentrasi pada reformasi
dalam negeri dan menciptakan lingkungan regional yang kondusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar