Pertaruhan
Politik Golkar
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 25 November 2017
PARTAI Golkar untuk
kesekian kalinya mengalami turbulensi. Hal ini terkait dengan kepercayaan
publik kepada Partai Golkar di tengah kasus hukum yang menjerat Setya
Novanto.
Kini Novanto berstatus
tersangka dan berada dalam tahanan KPK. Ada dua pertanyaan mendasar, bagaimanakah
Golkar menyikapi krisis yang disebabkan ketua umumnya dan seperti apa prospek
Golkar ke depan di tengah agenda-agenda politik nasional yang
berhimpitan.
Sikap Golkar
Merespons krisis yang
dialami Ketua Umum Partai Golkar, telah digelar rapat pleno tertutup Dewan
Pengurus Pusat di Jakarta, Selasa (21/11). Ada beberapa keputusan yang
dihasilkan di rapat pleno tersebut, antara lain menerima Sekretaris Jenderal
Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum.
Selain itu, nasib Setya
Novanto sebagai Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR menunggu hasil praperadilan
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yang menarik adalah alasan keputusan
tersebut disandarkan pada suasana batin Novanto, para kader, dan
konstituennya.
Konsekuensi dari keputusan
rapat pleno tersebut, jika praperadilan mengabulkan gugatan Novanto maka
posisi pelaksana tugas akan berakhir. Sebaliknya, jika gugatan Novanto
ditolak, pelaksana tugas ketua umum bersama ketua harian akan menggelar rapat
pleno guna menentukan langkah selanjutnya yakni meminta Novanto mengundurkan
diri dari posisi ketua umum. Seandainya Novanto menolak mengundurkan diri
maka akan disiapkan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).
Langkah Golkar lewat rapat
pleno tersebut bisa dimaknai dalam dua konteks. Pertama , ini merupakan
strategi manajemen konflik internal dan eksternal yang dilakukan oleh kubu
Novanto. Langkah menunda penggantian Novanto, baik sebagai Ketua Umum Golkar
maupun sebagai Ketua DPR RI sangat tidak mengesankan dalam bacaan manajemen
reputasi politik.
Argumen disandarkan pada
logika menghormati proses hukum, yakni menunda pergantian posisi dua jabatan
strategis yang melekat pada Novanto tersebut dengan menunggu putusan
praperadilan. Sebagaimana kita ketahui, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
mengagendakan sidang perdana praperadilan Novanto pada 30 November 2017.
Artinya, kemungkinan besar putusan praperadilan akan dijatuhkan pada 7
Desember 2017.
Hal ini tentu
mengindikasikan langkah defensif yang dilakukan Golkar untuk all out mempertahankan posisi Novanto. Ini memang
bukan langkah progresif karena harapan publik begitu kuat agar Golkar
memelopori proses menjaga "marwah" dan integritas partai di era
demokrasi yang semakin terbuka seperti saat ini.
Novanto tak lagi efektif
menjadi nakhoda Partai Golkar, dan sangat berisiko menjadi pewajahan buruk
bagi manajemen reputasi politik Golkar dengan status hukum yang kini
disandangnya, termasuk hiruk-pikuk yang menjadi konteks riuh rendahnya opini
publik sekitar kasus e-KTP yang menderanya.
Jika pun urusan Golkar
dianggap urusan internal, dan mekanisme penggantian ketua umum menjadi domain
internal mereka, mengapa hal yang sama juga diambil Golkar untuk posisi
Novanto di DPR-RI?
Posisi sebagai Ketua DPR
bukan semata urusan partai Golkar, ada kepentingan publik yang harus
diperhatikan oleh Golkar. Ketua DPR merupakan posisi sangat penting dan
menjadi bentuk komitmen Golkar pada bangsa ini. Golkar surplus politisi
senior berpengalaman. Dalam kondisi seperti sekarang, seharusnya Golkar mau dan
mampu menarik Novanto dari posisinya sebagai Ketua DPR-RI dan menggantikan
dengan kader Golkar lainnya yang lebih mumpuni.
UU MD3 sudah sangat jelas
mengatur, jika pimpinan DPR berhalangan melaksanakan tugasnya selama tiga
bulan berturut-turut, melanggar sumpah jabatan, dan melanggar kode etik, bisa
diberhentikan dari posisinya. Dengan dua surat dari Novanto yang beredar luas
di media untuk "mengamankan" posisinya di Golkar maupun di DPR,
menjadi pesan nyata bahwa meski berada dalam tahanan KPK, posisi Novanto
masih kuat mengendalikan DPP Golkar saat ini.
Kedua , menunda pergantian
posisi Novanto juga bisa dibaca sebagai strategi "membeli waktu"
(buying time ), untuk melakukan komunikasi politik dengan ragam faksi yang
ada di internal maupun eksternal Golkar.
Dalam situasi seperti ini,
polarisasi kekuatan di elite Golkar akan menggeliat, terlebih faksi-faksi
yang bertarung sejak lama sesungguhnya belum benar-benar tuntas saat
rekonsiliasi beberapa waktu lalu yang berakhir dengan keterpilihan Novanto sebagai
Ketua Umum Golkar.
Proses menjaga tidak
terjadinya "ledakan besar" dalam relasi kuasa antarelite jika
terjadi perebutan Golkar-1 inilah yang saat ini dikedepankan Golkar lewat
putusan pleno tersebut. Oleh karenanya, semua faksi masih menahan diri, melihat
situasi untuk mengembangkan strategi sendiri-sendiri. Situasi Golkar hari ini
masih menunjukkan gejala negosiasi ZOPA (zone of possible agreement), sebelum
situasi darurat terjadi jika praperadilan Novanto ditolak.
Prospek Golkar
Prospek Golkar ke depan
akan sangat ditentukan oleh cara Golkar mengatasi masalah. Sebagai organisasi
maka strategi mengatasi krisis harusnya mengedepankan mekanisme
keorganisasian dibanding selera dan kepentingan perseorangan atau kelompok
kecil. Apalagi selama ini Golkar bukanlah partai yang figure sentris. Oleh
karenanya, solusi yang diambil Golkar harusnya mengembangkan pola
penstrukturan adaptif.
Dalam terminologi Anthony
Giddens sebagaimana dikutip oleh West
dan Turner dalam buku Introducing Communication Theory (2008), penstrukturan adaptif ialah
bagaimana institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan
ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi
sebagai perilaku para anggotanya.
Artinya, jika Golkar ingin
menguatkan pelembagaan politik partainya sebagai entitas publik modern maka
harus ada kepatuhan pada aturan organisasi yang telah dikonsensikan bersama,
misalnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Golkar.
Jika yang terjadi sebaliknya, misalnya kepentingan pribadi di atas
organisasi, maka proses-proses keorganisasian hanya akan sekadar memberi
legitimasi atau justifikasi seseorang atau sekelompok orang saja.
Dalam jangka pendek, Golkar
butuh eksistensi yang kuat di tengah konstelasi tahun politik yang sangat
padat. Pada 2018 ada 171 daerah yang menggelar pilkada serentak. Di antara
daerah-daerah yang berpilkada tersebut, terdapat banyak battlegrounds nasional, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan lain-lain.
Jika elite Golkar
berlarut-larut dalam penyelesaian krisis yang dialaminya saat ini maka akan
punya efek domino negatif pada masa depan elektabilitas Golkar, terutama saat
dihadapkan pada agenda kontestasi elektoral. Pengalaman saat
berlarut-larutnya penyelesaian konflik elite di tubuh Golkar jelang pilkada
serentak 2015 berdampak pada rontoknya Golkar di banyak daerah.
Dari 264 daerah yang
berpilkada, Golkar hanya menang di sekitar 57 daerah. Jika krisis saat ini
tidak cepat diatasi maka berpotensi menimbulkan konflik elite di internal dan
bisa meredupkan pamor Golkar, baik di pilkada serentak 2018 maupun di pemilu
legislatif dan pilpres 2019. Sebuah pertaruhan besar bagi masa depan Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar