Menelisik
Reklasifikasi Listrik
Haryo Kuncoro ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta;
Direktur Riset the
Socio-Economic & Educational
Business Institute (SEEBI)
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 23 November 2017
PERUSAHAAN Listrik Negara (PLN)
kini tengah bimbang. Di satu sisi, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai
dengan target sementara tarif listrik hingga akhir tahun ini tidak mengalami
perubahan. Konsekuensinya, PLN kehilangan potensi kenaikan pendapatan sekitar
Rp4 triliun sampai Rp5 triliun.
Di sisi lain, PLN sedang
menghadapi tekanan finansial. Beban pokok dan bunga pinjaman PLN
diproyeksikan terus meningkat. Kondisi ini pula yang menjadi salah satu
sorotan menteri keuangan kepada menteri BUMN dan menteri ESDM terkait potensi
risiko gagal bayar PLN terhadap semua kewajibannya.
Agaknya kebimbangan di atas
menjadi konsekuensi logis dari status PLN sebagai badan usaha milik negara.
Fungsi ekonomi mengharuskan PLN untuk mengejar keuntungan maksimum. Pada saat
yang bersamaan, PLN yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah, juga harus
menjalankan fungsi pelayanan sosial.
Fungsi sosial mengarahkan PLN
untuk menjual listrik sesuai dengan ketentuan pemerintah. Kemungkinannya,
harga jual listrik bisa jadi lebih rendah dari kalkulasi finansial sehingga
PLN rugi. Jika demikian kasusnya, operasionalisasi penyediaan listrik harus
memperoleh suntikan pendanaan dari APBN.
Pendanaan dari APBN memang
sudah dialokasikan khususnya untuk rumah tangga penerima subsidi. Posisi
subsidi listrik tahun ini mencapai Rp90 triliun dan tahun depan naik menjadi
Rp93 triliun sampai Rp95 triliun. Dengan sokongan APBN untuk fungsi sosial,
PLN sudah semestinya bisa lebih fokus pada fungsi ekonomi.
Dalam perspektif teoretis, fungsi
ekonomi bisa dikejar lantaran PLN adalah tipikal monopoli. Produksi listrik
dapat dilakukan swasta, tetapi penjualannya tetap harus melalui PLN yang
menguasai jaringan transmisi dan distribusi ke semua pelanggan. Perusahaan
monopoli pada umumnya memperoleh laba super normal.
Posisi laba maksimum diraih
apabila harga jual ditentukan saat penerimaan marginal sama besar dengan
biaya marginal. Kerangka konseptual ini tampaknya gagal menjelaskan kinerja
PLN. Pertama , harga yang ditetapkan pemerintah untuk golongan nonsubsidi pun
masih lebih rendah daripada biaya marginalnya (harga keekonomiannya).
Kedua , penerimaan marginal
relatif terbatas. Sekali tenaga listrik diproduksi, maka harus segera
didistribusikan untuk dikonsumsi. Tenaga listrik tidak bisa disimpan. Lain
halnya produk manufaktur, misalnya, yang bisa dibuat persediaan (inventory )
untuk dijual kembali saat harga bagus.
Dengan kendala ini, kenaikan
laba masih bisa diperoleh jika PLN melakukan diferensiasi harga. Harga
listrik ditentukan berbeda-beda menurut segmen konsumennya. Sebagai contoh,
golongan rumah tangga berdaya 900 VA, tarif listriknya sebesar Rp1.352 per
kWh. Sementara daya 1.300 VA dan 2.200 VA, tarifnya Rp1.467 per kWh.
Diferensiasi harga juga
ditempuh berdasarkan beban puncak (peak load ). Tarif listrik saat beban
puncak dipatok lebih tinggi daripada di luar waktu beban puncak. Esensinya,
PLN hendak meraih surplus konsumen. Faktanya, laba bersih PLN pada semester
I/2017 "hanya" Rp2,25 triliun, turun 71,6% dibandingkan periode
yang sama tahun lalu.
Artinya, diferensiasi tarif
belum optimal mengangkat laba PLN. Belakangan diferensiasi tarif malah akan
disederhanakan. Golongan pelanggan listrik berdaya 900 VA, 1.300 VA, dan
2.200 VA akan dihapus dan digabung menjadi tarif tunggal (single price ) pada
klasifikasi daya 5.500 VA atau sekalian 13.200 VA.
Penyeragaman tarif dan daya
listrik implisit PLN memosisikan diri sebagai perusahaan yang bergerak di
pasar persaingan sempurna. Konsekuensinya, berapa pun permintaan tenaga
listrik masyarakat bisa dipenuhi PLN. Tampaknya PLN sudah mengalami kapasitas
berlebih (overcapacity).
Tesis ini agaknya mendekati
kebenaran. Berdasarkan studi Institute for Energy Economics and Financial
Analysis (IEEFA), sistem kelistrikan Jawa-Bali, misalnya, bakal surplus 40%
pada 2019. Menurut perhitungan IEEFA, beban puncak Jawa-Bali hanya 49.900 MW,
sedangkan total kapasitas terpasang pembangkit mencapai 70.500 MW.
Dengan kelebihan pasokan
demikian, PLN bisa menyasar kenaikan laba melalui peningkatan kuantitas
penjualan listrik. Namun demikian, kebijakan ini belum tentu berefek langsung
pada kenaikan konsumsi listrik sehingga laba PLN tidak otomatis terkerek.
Agar tidak kehilangan lagi
potensi kenaikan laba, PLN niscaya akan menaikkan tarif listrik. Logikanya
sederhana. Tidak mungkin tarif 5.500 VA atau 13.200 VA diturunkan layaknya
tarif listrik 900 VA.
Bagi konsumen, kebijakan ini
mengondisikan boros listrik. Semula satu rumah cukup menggunakan daya 1.300
VA, kini harus memakai daya yang lebih tinggi dengan harga yang lebih tinggi
pula. Intinya akan banyak kemubaziran.
Ironisnya lagi, kemubaziran
penggunaan listrik terjadi di kala rasio elektrifikasi yang baru mencapai
93%. Artinya masih ada sekitar 7% anggota masyarakat lain yang belum memiliki
akses terhadap listrik. Bila dikonversi, setidaknya masih ada 2.500 desa yang
belum mendapatkan aliran listrik.
Kasus semacam ini mengingatkan
kembali saat pemerintah menggelar program konversi energi dari bahan bakar
minyak ke bahan bakar gas pada 2004. Program konversi diawali dengan
pembagian gratis kompor dan tabung gas. Setelah itu, harga gas naik sejalan
dengan pengurangan subsidi.
Alhasil, reklasifikasi
pelanggan listrik ujung-ujungnya nanti adalah kenaikan tarif. Surplus
konsumen, lagi-lagi, akan tergerus lantaran tidak memiliki substitusinya.
Konsumen listrik terutama golongan rumah tangga tidak punya pilihan lain
selain pasrah menerima kebijakan tersebut.
Bagi pelanggan golongan bisnis,
kenaikan tarif secara "terselubung" ini mendorong alternatif
mencari sumber listrik pengganti. Sumber listrik mandiri menjadi solusinya.
Industri memilih listrik mandiri karena lebih dapat diandalkan (reliable )
dari risiko pemadaman sepihak PLN meski harganya lebih mahal dari listrik
produksi PLN.
Tingginya permintaan listrik di
tengah belum stabilnya pasokan PLN tentunya akan mengakibatkan inefisiensi.
Bila hal seperti ini terjadi, kinerja perekonomian nasional dipastikan akan
terganggu. Indonesia akan kembali terjebak pada pusaran ekonomi berbiaya
tinggi yang berdampak pada daya saing.
Dengan konfigurasi problematika
di atas, pendekatan perilaku permintaan (demand ) seharusnya menjadi basis
dalam meramu kebijakan untuk menanggulangi polemik penyeragaman daya listrik.
Prinsipnya, PLN harus memastikan utility
konsumen tidak berkurang, syukur bertambah, saat beralih pada
penggunaan daya listrik yang lebih besar.
Dalam skala yang lebih luas,
fenomena di atas adalah sebuah potret kecil atas rekayasa perilaku
berkonsumsi yang bernuansa top down . Idealnya, kenaikan daya listrik dimulai
dari kebutuhan yang tumbuh alami dalam masyarakat alih-alih berasal dari PLN
yang terkesan dipaksakan. Bagaimana PLN? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar