Senin, 27 November 2017

Menelisik Reklasifikasi Listrik

Menelisik Reklasifikasi Listrik
Haryo Kuncoro ;  Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta;
Direktur Riset the Socio-Economic & Educational  Business  Institute (SEEBI) Jakarta
                                              KORAN SINDO, 23 November 2017



                                                           
PERUSAHAAN Listrik Negara (PLN) kini tengah bimbang. Di satu sisi, pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target sementara tarif listrik hingga akhir tahun ini tidak mengalami perubahan. Konsekuensinya, PLN kehilangan potensi kenaikan pendapatan sekitar Rp4 triliun sampai Rp5 triliun.

Di sisi lain, PLN sedang menghadapi tekanan finansial. Beban pokok dan bunga pinjaman PLN diproyeksikan terus meningkat. Kondisi ini pula yang menjadi salah satu sorotan menteri keuangan kepada menteri BUMN dan menteri ESDM terkait potensi risiko gagal bayar PLN terhadap semua kewajibannya.

Agaknya kebimbangan di atas menjadi konsekuensi logis dari status PLN sebagai badan usaha milik negara. Fungsi ekonomi mengharuskan PLN untuk mengejar keuntungan maksimum. Pada saat yang bersamaan, PLN yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah, juga harus menjalankan fungsi pelayanan sosial.

Fungsi sosial mengarahkan PLN untuk menjual listrik sesuai dengan ketentuan pemerintah. Kemungkinannya, harga jual listrik bisa jadi lebih rendah dari kalkulasi finansial sehingga PLN rugi. Jika demikian kasusnya, operasionalisasi penyediaan listrik harus memperoleh suntikan pendanaan dari APBN.

Pendanaan dari APBN memang sudah dialokasikan khususnya untuk rumah tangga penerima subsidi. Posisi subsidi listrik tahun ini mencapai Rp90 triliun dan tahun depan naik menjadi Rp93 triliun sampai Rp95 triliun. Dengan sokongan APBN untuk fungsi sosial, PLN sudah semestinya bisa lebih fokus pada fungsi ekonomi.

Dalam perspektif teoretis, fungsi ekonomi bisa dikejar lantaran PLN adalah tipikal monopoli. Produksi listrik dapat dilakukan swasta, tetapi penjualannya tetap harus melalui PLN yang menguasai jaringan transmisi dan distribusi ke semua pelanggan. Perusahaan monopoli pada umumnya memperoleh laba super normal.

Posisi laba maksimum diraih apabila harga jual ditentukan saat penerimaan marginal sama besar dengan biaya marginal. Kerangka konseptual ini tampaknya gagal menjelaskan kinerja PLN. Pertama , harga yang ditetapkan pemerintah untuk golongan nonsubsidi pun masih lebih rendah daripada biaya marginalnya (harga keekonomiannya).

Kedua , penerimaan marginal relatif terbatas. Sekali tenaga listrik diproduksi, maka harus segera didistribusikan untuk dikonsumsi. Tenaga listrik tidak bisa disimpan. Lain halnya produk manufaktur, misalnya, yang bisa dibuat persediaan (inventory ) untuk dijual kembali saat harga bagus.

Dengan kendala ini, kenaikan laba masih bisa diperoleh jika PLN melakukan diferensiasi harga. Harga listrik ditentukan berbeda-beda menurut segmen konsumennya. Sebagai contoh, golongan rumah tangga berdaya 900 VA, tarif listriknya sebesar Rp1.352 per kWh. Sementara daya 1.300 VA dan 2.200 VA, tarifnya Rp1.467 per kWh. 

Diferensiasi harga juga ditempuh berdasarkan beban puncak (peak load ). Tarif listrik saat beban puncak dipatok lebih tinggi daripada di luar waktu beban puncak. Esensinya, PLN hendak meraih surplus konsumen. Faktanya, laba bersih PLN pada semester I/2017 "hanya" Rp2,25 triliun, turun 71,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Artinya, diferensiasi tarif belum optimal mengangkat laba PLN. Belakangan diferensiasi tarif malah akan disederhanakan. Golongan pelanggan listrik berdaya 900 VA, 1.300 VA, dan 2.200 VA akan dihapus dan digabung menjadi tarif tunggal (single price ) pada klasifikasi daya 5.500 VA atau sekalian 13.200 VA.

Penyeragaman tarif dan daya listrik implisit PLN memosisikan diri sebagai perusahaan yang bergerak di pasar persaingan sempurna. Konsekuensinya, berapa pun permintaan tenaga listrik masyarakat bisa dipenuhi PLN. Tampaknya PLN sudah mengalami kapasitas berlebih (overcapacity).

Tesis ini agaknya mendekati kebenaran. Berdasarkan studi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), sistem kelistrikan Jawa-Bali, misalnya, bakal surplus 40% pada 2019. Menurut perhitungan IEEFA, beban puncak Jawa-Bali hanya 49.900 MW, sedangkan total kapasitas terpasang pembangkit mencapai 70.500 MW.

Dengan kelebihan pasokan demikian, PLN bisa menyasar kenaikan laba melalui peningkatan kuantitas penjualan listrik. Namun demikian, kebijakan ini belum tentu berefek langsung pada kenaikan konsumsi listrik sehingga laba PLN tidak otomatis terkerek.

Agar tidak kehilangan lagi potensi kenaikan laba, PLN niscaya akan menaikkan tarif listrik. Logikanya sederhana. Tidak mungkin tarif 5.500 VA atau 13.200 VA diturunkan layaknya tarif listrik 900 VA.

Bagi konsumen, kebijakan ini mengondisikan boros listrik. Semula satu rumah cukup menggunakan daya 1.300 VA, kini harus memakai daya yang lebih tinggi dengan harga yang lebih tinggi pula. Intinya akan banyak kemubaziran.

Ironisnya lagi, kemubaziran penggunaan listrik terjadi di kala rasio elektrifikasi yang baru mencapai 93%. Artinya masih ada sekitar 7% anggota masyarakat lain yang belum memiliki akses terhadap listrik. Bila dikonversi, setidaknya masih ada 2.500 desa yang belum mendapatkan aliran listrik.

Kasus semacam ini mengingatkan kembali saat pemerintah menggelar program konversi energi dari bahan bakar minyak ke bahan bakar gas pada 2004. Program konversi diawali dengan pembagian gratis kompor dan tabung gas. Setelah itu, harga gas naik sejalan dengan pengurangan subsidi.

Alhasil, reklasifikasi pelanggan listrik ujung-ujungnya nanti adalah kenaikan tarif. Surplus konsumen, lagi-lagi, akan tergerus lantaran tidak memiliki substitusinya. Konsumen listrik terutama golongan rumah tangga tidak punya pilihan lain selain pasrah menerima kebijakan tersebut.

Bagi pelanggan golongan bisnis, kenaikan tarif secara "terselubung" ini mendorong alternatif mencari sumber listrik pengganti. Sumber listrik mandiri menjadi solusinya. Industri memilih listrik mandiri karena lebih dapat diandalkan (reliable ) dari risiko pemadaman sepihak PLN meski harganya lebih mahal dari listrik produksi PLN.

Tingginya permintaan listrik di tengah belum stabilnya pasokan PLN tentunya akan mengakibatkan inefisiensi. Bila hal seperti ini terjadi, kinerja perekonomian nasional dipastikan akan terganggu. Indonesia akan kembali terjebak pada pusaran ekonomi berbiaya tinggi yang berdampak pada daya saing.

Dengan konfigurasi problematika di atas, pendekatan perilaku permintaan (demand ) seharusnya menjadi basis dalam meramu kebijakan untuk menanggulangi polemik penyeragaman daya listrik. Prinsipnya, PLN harus memastikan utility  konsumen tidak berkurang, syukur bertambah, saat beralih pada penggunaan daya listrik yang lebih besar.

Dalam skala yang lebih luas, fenomena di atas adalah sebuah potret kecil atas rekayasa perilaku berkonsumsi yang bernuansa top down . Idealnya, kenaikan daya listrik dimulai dari kebutuhan yang tumbuh alami dalam masyarakat alih-alih berasal dari PLN yang terkesan dipaksakan. Bagaimana PLN?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar