DKI
Jakarta dan Anggaran Siluman
Aiman Witjaksono ; Host dan Wartawan Kompas TV
|
KOMPAS,
27 November
2017
MASIH ingat dengan wawancara di TV dengan
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang sangat viral hingga dua tahun
setelahnya, bahkan lebih?
Kala itu, hasil wawancara menjadi viral,
karena ada kegeraman luar biasa, yang akhirnya tersebutlah “bahasa toilet”
dalam wawancara siaran langsung yang saya pandu.
Anggaran
siluman
Setelah satu pekan dibahas di berbagai
media, saya pun mendapat sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena
dianggap tidak segera menghentikan program dengan siaran langsung (live)
tersebut. Meskipun kala itu, saya sudah mengingatkan beberapa kali Pak Ahok.
Dan akhirnya, saya memutuskan menceritakan
detail kejadian yang melatarbelakangi situasi itu. Baru kali ini, saya hendak
blak-blakan tentang apa yang terjadi pada Maret 2015 silam. Simak, ya…
Kala itu, awal bulan Maret 2015, saya
mendapat kepastian untuk mewawancarai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok), setelah sebelumnya Pemimpin Redaksi KompasTV, Ibu Rosianna
Silalahi, memberi kabar ke saya, soal kesediaan Pak Ahok untuk diwawancara.
Apa yang diwawancara? Anggaran DKI Jakarta!
Ya, saya sangat ingin mengupas apa yang
terjadi dengan anggaran yang baru saja diserahkan DPRD DKI Jakarta ke
Gubernur.
Kejadiannya persis sama saat ini, di mana
masyarakat termasuk media, melihat ada kejanggalan dalam anggaran tersebut.
Gubernur Ahok pun waktu itu beberapa kali
sudah memberikan sinyal-sinyal kegeramannya dalam wawancara doorstop alias
wawancara harian media di Balai Kota Jakarta.
Saya pun tertantang untuk menanyakan
blak-blakan soal anggaran yang janggal. Tercapailah wawancara saya EKSKLUSIF
dan pertama kali dengan Gubernur Ahok, pada 17 Maret 2015 di Balai Kota
Jakarta, membahas anggaran Ibu Kota.
Mungkin tidak ada yang tahu, Pak Ahok kala
itu mengajak saya makan malam di ruang kantor Gubernur, sebelum wawancara
berlangsung.
Ngobrol
sebelum wawancara
Di sana kami bersama beberapa staf Gubernur
Ahok, juga dengan sosok yang belakangan baru saya tahu namanya, Sunny
Tanuwidjaja.
Kami di meja makan itu membicarakan
anggaran di DPRD DKI Jakarta yang begitu karut-marut. Pak Ahok sambil makan
malam, bercerita kepada saya, betapa ia kalut dan kecewa dengan hasil
pembahasan anggaran kala itu.
Ia juga sempat menyebut andil sejumlah
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan petinggi di Provinsi DKI Jakarta
yang terlibat dalam pembahasan anggaran DKI Jakarta, yang menurutnya ada Rp
12 triliun dana yang entah berantah alias siluman.
Di akhir makan malam kami, Pak Ahok
mengatakan kepada saya, ”Saya akan buka-bukaan soal anggaran ini, kamu
beruntung bisa wawancara!”
Mulailah sesi wawancara, Live!
Segmen pertama berlangsung lancar, sebagai
prolog dialog berbicara soal kejadian paling akhir di Balai Kota, termasuk
soal anggaran DKI Jakarta yang banyak jadi konsumsi media beberapa hari
terakhir.
Beranjak ke segmen kedua, saya bertanya ke
Pak Ahok lebih detail, soal jumlah, cara alias modus, dan bagaimana bisa ada
uang siluman triliunan rupiah dalam anggaran.
Termasuk pertanyaan “serangan” yang
disampaikan oleh sejumlah pihak DPRD DKI Jakarta kala itu, terkait dengan
foto istri Ahok, Ibu Veronica Tan, yang duduk di kursi rapat Gubernur.
Pada pertanyaan soal inilah, ia tampak
marah besar bukan kepada saya, tetapi pada pihak DPRD, barulah saya ingatkan,
kepadanya soal ini.
Wawancara
berujung sanksi
Mengapa saya tidak menghentikan serta merta
kala itu? Saya menganggap ada hak publik untuk tahu soal kongkalikong
anggaran Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta. Dan saat itu, Gubernur Ahok
berjanji akan mengupas semua kebobrokan pembahasan yang diketahuinya.
Sekali lagi, saya sebagai jurnalis
tertantang untuk membuka hal ini semua. Walaupun akhirnya ada sanksi yang
dikenakan terkait wawancara saya di stasiun KompasTV, tempat saya bekerja.
Meski demikian, saya cukup puas, karena
dari wawancara inilah, pertama kali dibahas dalam soal dana siluman Rp 12
triliun, yang akhirnya jadi diskusi berminggu–minggu di masyarakat dan juga
media.
Belakangan, diketahui sebagiannya
dibelanjakan untuk alat yang bernama uninterruptible power supply (UPS).
Kemudian dipasang khusus di banyak sekolah di DKI Jakarta.
Pada akhirnya, kasus hukum korupsi UPS ini
akhirnya menjerat Pejabat Pemprov DKI, Anggota DPRD, hingga vendor alias
penyedia unit pada proyek ini. Kasusnya ditangani di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Sebagian darinya sudah divonis penjara.
Bagaimana kini?
Anggaran
DKI Jakarta kini
Saya belum berani mengatakan anggaran
siluman. Karena memang belum bisa dibuktikan secara hukum.
Meski saya kembali mewawancarai khusus
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, hari Sabtu dua hari lalu
(25/11/2017). Saya menanyakan kepadanya perihal ini.
Pak Wagub setuju dengan pertanyaan saya,
bahwa ada angka yang mencurigakan dalam anggaran yang baru dibahas oleh DPRD
dan SKPD di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Ia menyebutkan satu hal, Penyertaan Modal
Daerah (PMD) untuk sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dari hasil
penyisiran PMD ini saja, satu hal, bisa menghemat anggaran hingga lebih dari
Rp 2 triliun.
Wagub menginformasikan ini baru dalam
wawancara saya kepadanya, alias belum pernah diungkapkan sebelumnya.
Sandiaga Uno mengingatkan kepada seluruh
masyarakat, bahkan di luar Jakarta sekalipun, untuk terus menyuarakan
kejanggalan dalam anggaran, yang kini bisa bebas dilihat melalui situs:
apbd.jakarta.go.id.
Pfuuuh… memang setiap zaman selalu ada pemburu
keuntungan, dengan jalan yang tak dibenarkan, angkanya bahkan mencapai
triliunan! Padahal sudah dengan cara e-budgeting di zaman now!
Eh, tapi ada yang berbeda, deh. Dahulu
media sosial tidak seperti sekarang. Kalau sekarang, sadisnya enggak ketulungan,
meski sumber datanya tidak semua bisa diandalkan, serta tak jarang salah
sasaran. Bukan nurani, tapi jangan-jangan sekadar emosi berbalut benci.
So..., cari data detail yang valid, dan
tetap suarakan kebenaran, karena mengawal anggaran adalah hak kita, untuk
masa depan peradaban!
Mari! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar