China
dan Kode Tata Berperilaku
di
Laut China Selatan
Aleksius Jemadu ; Guru Besar Politik Internasional Universitas
Pelita Harapan
|
KOMPAS,
30 November
2017
Kesediaan China untuk memulai perundingan
kode tata berperilaku (COC) di Laut China Selatan dalam Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN di Manila baru-baru ini disambut dengan gembira bercampur
waswas.
Gembira, karena memberikan harapan
terciptanya peredaan ketegangan menuju stabilitas dan perdamaian regional
yang didambakan semua pihak. Pada saat sama muncul juga pertanyaan mengapa
China berubah menjadi sangat akomodatif dan bagaimana ASEAN khususnya
Indonesia harus menyikapi perubahan sikap tersebut?
“Status
quo” baru
Dalam analisis politik internasional
perubahan sikap suatu negara menyangkut kepentingan strategis selalu terkait
dengan kepentingan lebih luas dari negara tersebut. Perubahan sikap itu tidak
serta-merta terjadi, tetapi telah dirancang secara matang.
Ada sejumlah faktor yang mendorong
perubahan sikap itu. Pertama, China telah melakukan reklamasi masif di
pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Selatan (LCS). Selain itu, juga
sudah dibangun fasilitas sipil dan militer yang canggih tanpa bisa dihalangi
siapa pun. Artinya, secara de facto China telah mengontrol wilayah perairan
itu dan akan mempertahankannya dengan kekuatan yang dimilikinya.
Kesediaan China untuk membahas COC
pasca-KTT ASEAN di Manila harus diartikan untuk mengamankan kontrol de facto
tersebut. Artinya, apa pun dapat dirundingkan asalkan tidak mempersoalkan
keabsahan reklamasi yang sudah dilakukan serta semua fasilitas militer yang
ada di dalamnya.
Jadi, perundingan harus menggunakan asumsi
penerimaan semua pihak terhadap status quo baru. Jika ini yang dimaksud
China, maka arah pembicaraan COC sudah jelas, yaitu legitimasi terhadap
kontrol de facto China atas LCS. Bagi Beijing penerimaan status quo ini
sangat penting karena dapat menetralisasi dampak dari keputusan Mahkamah
Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/ PCA) yang menggugurkan
klaim China atas wilayah di LCS.
Dengan demikian, Beijing bisa melepaskan
diri dari kewajiban untuk tunduk pada ketentuan hukum internasional yang
diamanatkan keputusan PCA itu.
Kedua, di tengah keengganan Amerika Serikat
(AS) di bawah Presiden Donald Trump untuk memainkan peranan kepemimpinan
secara global, China dengan senang hati mengisi kekosongan yang terjadi dan
karena itu sangat memerlukan dukungan ASEAN demi mendapatkan legitimasi yang
lebih kuat.
Apalagi Presiden Trump sempat menawarkan
diri sebagai mediator dalam konflik di LCS yang langsung ditolak oleh
Beijing. Jauh lebih mudah lagi untuk langsung berhadapan dengan negara-negara
ASEAN sambil mengandalkan kontrol de facto atas LCS tanpa campur tangan AS.
Ketiga, Beijing sudah memperhitungkan bahwa
ada tiga sumber daya tawar (bargaining power) yang dimilikinya untuk
menghadapi negara-negara ASEAN. Pertama, sebagaimana Jepang dan Korea Selatan
yang merupakan saingannya di Asia Tenggara, secara perlahan, tetapi pasti
China sudah menguasai perdagangan, investasi, dan pinjaman luar negeri di
kawasan ini. Dalam hal perdagangan tidak diragukan lagi bahwa semua negara
ASEAN memerlukan pasar China yang selalu menciptakan permintaan (demand) bagi
produk-produk ekspor mereka apakah sumber daya alam atau produk industri
lain. Negara-negara ASEAN tak siap menghadapi risiko ditutupnya akses pasar
ke China dan bahkan mereka bersaing untuk memperebutkannya.
Ketiga, Beijing pun tidak bermaksud
mengganggu atau membatasi kebebasan navigasi perdagangan yang selama ini
sudah berjalan di sekitar perairan LCS. Yang ditolaknya adalah pelayaran
dengan misi tertentu, seperti kepentingan intelijen, spionase atau misi
nonperdagangan lainnya. Sudah dapat diduga bahwa dari perspektif kepentingan
Beijing pembicaraan substansi COC yang mendukung keamanan jalur perdagangan
sangat sesuai dengan kemauan Beijing karena hal itu juga membawa manfaat
untuk perdagangan dan investasinya di Asia Tenggara.
Sikap
Indonesia
Dalam hal investasi dan keuangan China pun
telah membuka jalan bagi dominasinya melalui deklarasi Inisiatif Sabuk dan
Jalan (Belt and Road Initiative /BRI) dengan janji investasi miliaran dollar
AS di Asia Tenggara dan pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank
(AIIB) di mana Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya ikut menjadi
anggota.
Bagaimana Indonesia harus menyikapi hal
ini? Indonesia harus bertolak dari kepentingan nasionalnya. Pertama, harus
ditegaskan bahwa kita bukanlah claimant di LTS, artinya Indonesia bukan
negara yang terlibat dalam konflik teritorial di LCS. Beijing juga tidak
mempersoalkan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna.
Kedua, Indonesia perlu menyimak secara
kritis perbedaan pendefinisian makna COC antara Beijing dan negara-negara
claimant lainnya. Bagi Beijing, COC yang akan dirundingkan tidak akan
menyentuh substansi sengketa wilayah dan hanya akan mengatur perilaku semua
pihak untuk mengendalikan diri dan membangun saling percaya (mutual trust).
Penafsiran seperti ini tidak menimbulkan
beban atau ancaman apa pun bagi Beijing. Bagi claimant yang lain
ekspektasinya adalah justru menyelesaikan sengketa wilayah yang ada secara
damai dan menuju penyelesaian yang adil dan diterima semua pihak. Beijing
pasti menolak interpretasi seperti ini.
Ketiga, sebagai pemimpin tradisional ASEAN,
Indonesia berkepentingan agar Beijing tetap memperhitungkan peran ASEAN dalam
menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah ini. Namun, Jakarta juga tidak
perlu memberi kesan bahwa Indonesia terlalu jauh mendesak Beijing untuk
menuruti kemauan ASEAN karena hal ini bisa ditanggapi secara negatif oleh
Beijing yang bisa menyimpulkan bahwa Indonesia terlalu jauh mencampuri urusan
negara-negara yang mengklaim wilayah di LCS.
Karena itu, kebijakan Indonesia harus tetap
terukur dan realistis dan harus bertolak dari kepentingan nasional Indonesia
sendiri tanpa terlalu jauh berusaha meraih apa yang bukan dalam kapasitas
kita untuk meraihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar