Labirin
Tahun Politik Jokowi
Ali Rif'an ; Direktur Riset Monitor Indonesia
|
DETIKNEWS,
28 November
2017
Labirin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) diartikan sebagai "tempat yang penuh dengan jalan dan lorong yang
berliku-liku dan simpang siur" atau "sesuatu yang sangat rumit dan
berbelit-belit." Kondisi itulah yang dialami Presiden Joko Widodo
(Jokowi) disisa dua tahun pemerintahannya. Tahun depan bangsa Indonesia
memasuki tahun politik. Sebanyak 171 daerah akan menghelat pilkada secara
serentak. Di saat bersamaan, genderang tahapan Pemilihan Legislatif 2019 dan
Pemilihan Presiden 2019 mulai ditabuh.
Ini artinya, ada dua peristiwa politik
dengan bobot resonansi tinggi akan berlangsung pada sisa dua tahun
kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tahun politik akan menyita
sebagian besar energi politik elite pemerintahan. Pertama, Jokowi merupakan
presiden yang menjabat periode pertama. Meski belum secara resmi deklarasi pencalonan
pada Pilpres 2019, namun riak-riak konsolidasi ke arah sana makin benderang.
Artinya, hampir bisa dipastikan Jokowi akan kembali berlaga memperebutkan
singgasana RI-1.
Besar kemungkinan konsentrasi Jokowi
sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan akan terganggu. Energi
Jokowi akan terkuras dalam arena konsolidasi politik melihat posisinya belum
aman dalam urusan "tiket pencapresan". Berbega kasus misalnya
dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu merupakan ketua umum Partai
Demokrat. Ini belum soal elektabilitas Jokowi yang kini masih di bawah
kisaran 50 persen. Secara elektoral, tingkat keterpilihan dengan angka
tersebut bukanlah posisi "aman". Konfigurasi peta politik ini tentu
sedikit banyak akan menguras energi Jokowi.
Kedua, di antara 171 daerah yang menggelar
hajatan demokrasi, tidak sedikit di antaranya kandidat incumbent. Seperti
halnya Jokowi, besar kemungkinan konsentrasi mereka akan terbelah. Kondisi
itu tentu tidak menguntungkan Jokowi dalam upaya mempercepat segala agenda
pembangunan. Pasalnya, tanpa bersinergi dengan pemerintah daerah, target
akselerasi pembangunan sulit terealisasi.
Ketiga, sebagian besar pembantu presiden
merupakan pentolan orang-orang parpol, bahkan jumlahnya lebih dari 50 persen.
Sudah menjadi tradisi, para menteri kerap menjadi juru kampanye parpol dalam
setiap momentum pilkada ataupun pileg. Mereka dianggap mampu menjadi
"magnet elektoral" bagi publik sehingga diharapkan dapat membantu
mendulang lumbung suara partai. Itulah sejumlah tantangan penting yang perlu
kita ingatkan bersama.
Memang harus diakui kepuasan publik
terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama tiga tahun mengalami kenaikan.
Survei SMRC September 2017 lalu mengungkapkan, sebesar 68 persen publik puas
dengan kinerja Presiden Jokowi. Jika dibandingkan tingkat kepuasan publik
atas kinerja Presiden ke-6 SBY dengan Jokowi pada periode masa kepemimpinan
yang sama, kepuasan terhadap Jokowi lebih tinggi.
Tantangan
Ekonomi
Meski begitu, selama tiga tahun memimpin,
Jokowi juga tak bisa lepas dari catatan kekurangan, salah satunya persoalan
ekonomi. Meskipun kinerja sektor ekonomi terbilang ada kenaikan, namun
kenaikannya masih minim. Survei CSIS menyebut kepuasan bidang ekonomi hanya
56,9%. Bila dibandingkan dengan kinerja ekonomi pemerintahan sebelumnya,
angka yang diperoleh Jokowi relatif masih rendah.
Padahal sudah menjadi pengetahuan bersama
bahwa saat hajatan politik digelar, suasana penuh ketidakpastian kerap
menyelimuti. Suasana ketidakpastian akibat menyembulnya beragam polarisasi
politik jelas sangat tidak kondusif untuk sektor perekonomian. Pasalnya,
perekonomian yang sehat dan bergairah mensyaratkan adanya kepastian iklim
usaha.
Apalagi tahun 2018 sebagaimana tertuang
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, pemerintah punya target
pertumbuhan ekonomi di angka 5,4 persen. Kondisi ini mengisyaratkan bila
suasana tahun politik tidak mampu terkelola dengan baik, target pertumbuhan
ekonomi tersebut bukanlah target yang mudah dicapai.
Sebaliknya, turbulensi ekonomi yang pada
gilirannya dapat berdampak pada krisis kepercayaan publik terhadap
kepemimpinan Jokowi bisa saja terjadi. Secara politik, hal itu jelas sangat
merugikan Jokowi karena bukan tidak mungkin kegagalan dalam sektor ekonomi
akan menjadi "batu sandungan" dalam meneruskan estafet kepemimpinan
di periode berikutnya.
Perkuat
Soliditas
Sebagai pemegang kendali di republik ini,
Presiden Jokowi mesti pintar-pintar mengatur strategi dalam menghadapi tahun
politik. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan kinerja di tahun politik
adalah dengan memperkuat soliditas di semua sektor pemerintahan.
Soliditas dan kekompakan itu perlu dimulai
dari para pembantu presiden. Kegaduhan politik akibat manuver sejumlah
pembantu presiden belakangan mesti dihindari. Presiden Jokowi perlu memberi
peringatan tegas kepada segenap pembantunya supaya menciptakan iklim kondusif
mesti tahun politik tengah berlangsung.
Di sisi lain, upaya Presiden Jokowi
membangun sinergi dengan pemerintahan daerah juga perlu diperkuat. Sebab,
meski kepala daerah secara struktur merupakan perpanjangan tangan pemerintah
pusat, namun faktanya kini dianggap terlalu otonom untuk bisa mendukung
agenda pemerintah pusat. Selama ini para kepala daerah lebih cenderung
menjalankan agendanya masing-masing.
Dua tahun menjelang sisa pemerintahan
Jokowi, penyatuan visi antara pemerintah pusat, para menteri dan kepala
daerah, perlu kembali dilakukan. Selain sebagai upaya menggenjot target
kinerja masing-masing sektor, Presiden Jokowi perlu mereview kembali komitmen
segenap menteri dan kepala daerah untuk mensukseskan agenda-agenda
pemerintahan pusat. Sebab, komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan
soliditas. Tanpa itu, soliditas untuk menggonjot kinerja di tahun politik
akan sulit terealisasi. ●
|
BalasHapushttps://sttsaptataruna.ac.id/forum/t/355