Kamis, 30 November 2017

Apakah Masih Mikir, Ya?

Apakah Masih Mikir, Ya?
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 30 November 2017



                                                           
Negeri kita ini benar-benar menderita. Bukannya makin menjadi negeri yang maju dengan pencapaian-pencapaian di milenium baru, justru makin terperosok. Sebab, banyak pengelola negeri ini punya komitmen dan integritas yang rendah. Korupsi yang menjadi musuh terbesar negeri ini pascareformasi justru malah makin menyatu dalam aliran darah bangsa. Satu koruptor ditangkap, banyak lagi yang bergentayangan. Negeri ini jalan di tempat. Terlalu banyak energi dibuang sia-sia.

Hati kembali miris. Lagi-lagi KPK menggelar operasi tangkap tangan, Selasa (28/11). Ada 10 pejabat yang ditangkap, terdiri dari 7 orang di Jambi dan 3 orang di Jakarta. Rabu (29/11), KPK menggelandang mereka ke kantor KPK di Kuningan, Jakarta. Dalam jumpa pers, Rabu, KPK menggelar barang bukti OTT itu berupa uang yang jumlahnya mencapai Rp 4,7 miliar. Uang tunai itu bahkan diperlihatkan begitu koper-koper penyimpannya dibuka.

Korupsi tersebut diduga untuk pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi. Sampai semalam KPK menetapkan empat pejabat, yaitu Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Jambi Erwan Malik, Asisten III Pemprov Jambi Saifuddin, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Arfan, dan anggota DPRD Jambi Supriyono. Padahal, Jambi adalah provinsi yang dipimpin anak muda. Gubernur Zumi Zola, berumur 37 tahun, diharapkan membawa harapan baru di Jambi. Ia harus menjadi “panglima” memimpin perang melawan korupsi di Jambi. Sebab, perilaku korupsi adalah perilaku kuno, bukan perilaku modern yang transparan.

Kalau mengikuti pernyataan yang disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, bahwa uang suap itu ditujukan agar anggota DPRD bersedia hadir untuk pengesahan RAPBD Provinsi Jambi, sungguh-sungguh aneh. Sudah korupsi melukai hati rakyat, ketidakhadiran anggota dewan pun sangat mengkhianati rakyat. Mereka adalah wakil rakyat, yang menjadi perpanjangan suara rakyat. Tetapi, begitulah banyak yang terjadi pada diri wakil rakyat kita. Mereka lebih banyak mewakili apa yang ada di kepala mereka. Suara-suara rakyat sampai serak pun hilang terbawa angin. Demokrasi yang dibajak.

Pejabat eksekutif dan legislatif selalu menjadi cerita klasik tentang praktik kongkalikong berujung korupsi. Entah di daerah atau di pusat, banyak di antara mereka berkelakuan sama saja. Bahkan, banyak yang sampai membuat kampanye antikorupsi, tetapi terlibat korupsi juga. Tahun 2017 saja, tujuh kepala daerah ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Sulit menjelaskan fenomena seperti itu di Indonesia hari ini.

Padahal, baru saja kasus megakorupsi KTP elektronik menyentuh “nama besar” Setya Novanto, Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Untuk itu pun bukan main sulitnya menjerat politikus yang terkenal licin, kuat, dan sakti itu. KPK sampai harus menggelar “dua ronde”. Pada ronde pertama, Novanto mampu memukul telak KPK lewat praperadilan. Pada ronde kedua, drama politiknya luar biasa, sampai menghilang dan hanya bisa dihentikan dalam insiden tabrakan tiang lampu jalan. Kini Novanto juga mengajukan praperadilan yang sidangnya mulai digelar Kamis ini. Semoga hukum tetap tegak.

Kata Karl Kraus (1874-1936), penulis dan jurnalis Austria, “Korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi membahayakan moral individu, tetapi korupsi membahayakan moral seluruh negara.” Tetapi, apakah mereka masih mikir, ya? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar