Komunisme
dan Populisme Religio-Politik
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
03 Oktober
2017
Kontroversi hampir sepanjang September 2017
menyangkut PKI atau komunisme mengisyaratkan banyak hal. Secara umum,
kontroversi berkembang eskalatif di kalangan warga dan elite politik yang
tidak kondusif bagi stabilitas politik Indonesia. Misalnya, pengepungan dan
penyerbuan kantor YLBHI Jakarta di tengah malam menjelang Senin (18/9) subuh
oleh massa yang marah karena mereka menduga adanya kegiatan pro-PKI di dalam
kantor.
Lalu ada pula nonton bareng (nobar) film
G30S/PKI di lingkungan TNI, instansi pemerintah lain, dan masyarakat luas.
Bahkan, Presiden Joko Widodo juga ikut nobar pada Jumat (29/9) malam. Namun,
dalam nobar di sebuah gang di Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat, sejumlah anak
kecil sambil menonton berteriak, ”...bunuh PKI, bunuh PKI.”
Kedua kejadian ini mencerminkan kontroversi
tentang PKI dapat mendorong bangkitnya budaya kekerasan di kalangan warga
dewasa atau anak-anak. Bertahannya sikap anti-PKI atau komunisme dan Marxisme
dengan berbagai perkecambahannya di Indonesia boleh jadi sedikit membuat
heran banyak pengkaji aliran ideologi ini. Pasalnya, partai komunis dan
ideologi komunisme mengalami kebangkrutan di banyak negara.
Kebangkrutan komunisme bisa dilihat dalam
krisis Uni Soviet sejak akhir 1980-an yang bubar pada 25 Desember 1991.
Partai Komunis Uni Soviet dibubarkan Presiden Mikhail Gorbachev pada 1991.
Partai Komunis Federasi Rusia yang didirikan pada 1993 tidak berjaya
membangkitkan komunisme. Partai ini menjadi partai medioker saja.
Bagaimana di China? Secara teknis, Republik
Rakyat China (RRC) masih menganut ideologi komunisme dengan Partai Komunis
China sebagai kekuatan politik tunggal. Akan tetapi, RRC menolak disebut
menganut otoritarianisme komunis; sebaliknya menyebut diri ”demokrasi
sentralisme”, berpusat pada partai. Realitasnya prinsip ideologi komunisme
telah ditinggalkan. Seperti di Rusia, di RRC yang terlihat adalah
meningkatnya kapitalisme. Privatisasi dalam sektor ekonomi dan keuangan
menciptakan kepincangan ekonomi di antara kelas-kelas sosial.
Komunisme sebagai ideologi tampak kian
tidak relevan. Namun, sebagai metode perubahan sosial revolusioner boleh jadi
mene- mukan momentumnya. Sebagai metode perubahan sosial yang radikal,
komunisme—berdasarkan prinsip Marxisme—menyeru kaum proletar untuk bangkit
merampas modal dan alat produksi dari kaum borjuis. Hanya dengan revolusi
sosial dapat diciptakan masyarakat tanpa kelas (classless society).
Hal terakhir inilah yang harus diwaspadai
pemerintah dan warga Indonesia. Kemiskinan dan kepincangan ekonomi dan sosial
dapat mendorong ”masyarakat proletar” di Tanah Air bergerak. Pemerintah
sendiri mengakui, sekitar 28 juta warga Indonesia masih terpuruk dalam
kemiskinan. Laju kepincangan ekonomi di Indonesia tercepat di Asia dalam 15
tahun terakhir.
Secara indikatif, rasio gini Indonesia pada
Maret 2017 mencapai 0,393, menjadi salah satu negara terpincang dalam hal
ekonomi di dunia. Memang ada gejala penurunan rasio gini, tetapi tidak
terlalu signifikan. Kesenjangan ekonomi, kemiskinan yang terus
bertahan—seperti diungkap banyak kajian ilmiah—menjadi faktor utama penyebab
bangkitnya ”populisme politik” di banyak negara.
Sulit mendapat kesepakatan tentang
pengertian ”populisme politik”. Namun, secara sederhana dapat dipahami sebagai
paradigma bahwa kekuasaan harus mementingkan rakyat yang tersingkir;
kekuasaan harus tidak dikendalikan segelintir elite politik dan pemilik
modal. Kedua kelompok ini berkolabo- rasi mendapatkan manfaat ekonomi dan
politik dengan mengorbankan rakyat miskin. Populisme politik, seperti di
Eropa dan AS, segera beramalgamasi dengan agama. Percampuran populisme
politik dengan agama memunculkan populisme religio-politik yang meningkatkan
intoleransi, konflik, dan fobia terhadap agama dan umat tertentu.
Sikap anti-PKI dan komunisme di Indonesia
juga memperlihatkan kecenderungan populisme religio-politik. Cukup banyak
kalangan umat Islam Indonesia masih sangat anti-PKI dan antikomunisme.
Seberapa besar ancaman kebangkitan PKI/komunisme? Secara indikatif, SMRC pada
28 September dalam surveinya menemukan hanya 12,6 persen warga percaya
sekarang terjadi kebangkitan PKI. Sekitar 86,8 persen tak percaya.
Meski begitu, kemarahan terhadap komunisme
masih luas; berpangkal pada kenyataan banyaknya kiai atau ulama menjadi
korban keganasan PKI. Tidak hanya itu, komunisme juga dipahami sebagai
anti-Tuhan dan antiagama. Kemarahan dan luka sejarah traumatik cenderung
berpadu dengan populisme politik. Terdapat kalangan politisi atau aspiran
politik melakukan apa yang di- sebut pakar ilmu politik sebagai unholy
alliances dengan pemimpin populisme agama.
Populisme religio-politik tampaknya bakal
terus mewarnai kancah politik Indonesia dalam Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
Untuk mencegah meluasnya kerusakan sosial-politik, sepatutnya elite politik
dan elite agama melakukan antisipasi untuk mereduksinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar