Senin, 27 November 2017

Kesempatan

Kesempatan
Samuel Mulia ;  Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
                                                    KOMPAS, 26 November 2017



                                                           
“Berbuat baiklah selagi masih diberi kesempatan”. Demikian pesan seorang warga net di sebuah media sosial. Seperti biasa, pesan semacam itu saya dapati setelah menghabiskan dua jam di dunia maya sambil menyantap sarapan yang habis hanya dalam waktu 10 menit.

Lumrah

Nah, bagaimana jika sekarang saya bertanya kepada Anda sekalian sebuah pertanyaan seperti ini. “Selagi ada kesempatan berbuat kebaikan, apakah Anda memanfaatkannya?” Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, saya akan menjawab ya dengan tegas dan lantang.

Akan tetapi, jawaban ya yang tegas dan lantang itu sungguh mudah diucapkan. Masalahnya saya sering kali tidak peka akan datangnya kesempatan untuk berbuat baik itu. Kepekaan saya itu menjadi tumpul karena acap kali berpikir bahwa berbuat ketidakbaikan itu sangat manusiawi dan lama-kelamaan menjadi lumrah untuk dilakukan.

Jika dulu tidak pernah kaya, sekarang menjadi kaya melalui perselingkuhan atau korupsi yang membuat kualitas hidup menjadi meningkat, lama-kelamaan perselingkuhan dan korupsi itu menjadi lumrah meski hal itu menyakiti orang lain dan menghidupi dirinya sendiri dan orang lain dengan uang haram. Lama-kelamaan haram pun terasa menjadi tidak haram.

Lumrah itu melahirkan hal yang manipulatif, lumrah memampukan saya berpikir bahwa hal yang tidak baik dilakukan akan selalu memiliki sisi atau alasan baik untuk dilakukan. Bagaimana kalau dengan berselingkuh saya bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain yang selama pernikahannya ia tidak merasa bahagia? Tidakkah bisa dikatakan kalau saya telah berbuat kebaikan dengan memberi kebahagiaan kepada seseorang yang menderita?

Jika saya seorang koruptor, kemudian dengan hasil yang menurut orang lain tidak baik itu, yang kata orang lain hanya menguntungkan diri sendiri itu, saya bisa berbuat kebaikan dengan menyumbangkan dana untuk menolong orang sakit, membangun rumah ibadah, menyekolahkan beberapa anak-anak tidak mampu? Apakah saya bisa dikatakan tidak peka akan sebuah kesempatan untuk berbuat baik di tengah perbuatan yang kata orang lain kotor itu?

Kemudian saya mengingatingat lagi pesan yang disampaikan seorang warga net di atas. Berbuat baiklah selagi diberi kesempatan. Kemudian tak lama setelah itu, lahir dua pertanyaan. Pertama, di manakah kesempatan berbuat baik itu tersedia. Kedua, siapa yang sesungguhnya memberikan saya kesempatan untuk berbuat baik?

24 jam, 1 minggu, 365 hari

Beberapa waktu lalu, saya membaca berita, seorang gadis tunarungu dan tunawicara dibunuh dan sebelum dibunuh ia diperkosa dan barang-barangnya pun dicuri, termasuk uang Rp 4 juta.

Jika itu terjadi pada adik atau kakak saya, saya akan membalas dengan cara apa pun selain secara hukum pelaku akan dipenjara. Kesempatan berbuat baik tersedia untuk kakak atau adik saya yang tewas mengenaskan seperti itu melalui balas dendam itu. Dan sebuah situasi yang menyakitkan yang memberikan kesempatan kepada diri saya untuk berbuat baik.

Akan ada yang akan mengatakan balas dendam yang akan saya lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Karena apa pun kejadian yang menyakitkan, hukum adalah satu-satunya jalur yang tepat untuk ditempuh. Mungkin ada yang akan berpikir lumrahlah ia melakukan balas dendam itu lha wong saudaranya dibantai seperti itu.

Itu adalah reaksi saya kalau seandainya kejadian kejam itu menimpa saya. Bagaimana reaksi ayah si korban yang saya baca dalam berita di media sosial itu? Dalam berita itu ayahnya hanya menjelaskan kondisi anaknya ketika masih hidup, tak satu pun ada penjelasan reaksinya, terutama untuk membalas dendam terhadap kejadian yang menimpa putrinya.

Maka, jika ada dua pertanyaan yang terlintas di kepala saya, di mana kesempatan berbuat baik tersedia dan siapakah yang akan memberi kesempatan melakukan perbuatan baik itu kepada saya? Maka, kesempatan berbuat baik itu tersedia 24 jam satu hari, 7 hari dalam seminggu, dan 365 hari dalam satu tahun.

Kesempatan berbuat baik adalah dalam bentuk saat mobil saya ditabrak, saya boleh bertanya baik-baik mengapa sampai tertabrak tanpa melabrak dan melakukan kekerasan. Ketika seseorang menulis pesan di media sosial, maka kesempatan berbuat baik adalah saya membaca dengan saksama pesan itu sebelum memberi komentar yang penuh emosional dan mendatangkan perselisihan.

Ketika saya tahu jalur hanya untuk satu arah, maka kesempatan berbuat baik selagi ada itu yaa.mengikuti satu arah itu dan ketika polisi menegur karena saya melanggar, saya tak perlu mencari alasan, bahkan memukul petugas.

Bukankah pada akhirnya setiap kejadian di dalam hidup ini adalah sebuah tempat tersedia kesempatan saya untuk berbuat baik? Bukankah pada akhirnya saya sendirilah yang menjadi orang satu-satunya yang memberi kesempatan pada diri sendiri untuk berbuat baik melalui kejadian yang aneka ragam bentuknya bahkan yang tersulit dan terkejam sekalipun? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar