Kesempatan
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS,
26 November
2017
“Berbuat baiklah selagi masih diberi
kesempatan”. Demikian pesan seorang warga net di sebuah media sosial. Seperti
biasa, pesan semacam itu saya dapati setelah menghabiskan dua jam di dunia
maya sambil menyantap sarapan yang habis hanya dalam waktu 10 menit.
Lumrah
Nah, bagaimana jika sekarang saya bertanya
kepada Anda sekalian sebuah pertanyaan seperti ini. “Selagi ada kesempatan
berbuat kebaikan, apakah Anda memanfaatkannya?” Jika pertanyaan itu diajukan
kepada saya, saya akan menjawab ya dengan tegas dan lantang.
Akan tetapi, jawaban ya yang tegas dan
lantang itu sungguh mudah diucapkan. Masalahnya saya sering kali tidak peka
akan datangnya kesempatan untuk berbuat baik itu. Kepekaan saya itu menjadi
tumpul karena acap kali berpikir bahwa berbuat ketidakbaikan itu sangat
manusiawi dan lama-kelamaan menjadi lumrah untuk dilakukan.
Jika dulu tidak pernah kaya, sekarang
menjadi kaya melalui perselingkuhan atau korupsi yang membuat kualitas hidup
menjadi meningkat, lama-kelamaan perselingkuhan dan korupsi itu menjadi
lumrah meski hal itu menyakiti orang lain dan menghidupi dirinya sendiri dan
orang lain dengan uang haram. Lama-kelamaan haram pun terasa menjadi tidak
haram.
Lumrah itu melahirkan hal yang manipulatif,
lumrah memampukan saya berpikir bahwa hal yang tidak baik dilakukan akan
selalu memiliki sisi atau alasan baik untuk dilakukan. Bagaimana kalau dengan
berselingkuh saya bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain yang selama
pernikahannya ia tidak merasa bahagia? Tidakkah bisa dikatakan kalau saya
telah berbuat kebaikan dengan memberi kebahagiaan kepada seseorang yang
menderita?
Jika saya seorang koruptor, kemudian dengan
hasil yang menurut orang lain tidak baik itu, yang kata orang lain hanya
menguntungkan diri sendiri itu, saya bisa berbuat kebaikan dengan
menyumbangkan dana untuk menolong orang sakit, membangun rumah ibadah, menyekolahkan
beberapa anak-anak tidak mampu? Apakah saya bisa dikatakan tidak peka akan
sebuah kesempatan untuk berbuat baik di tengah perbuatan yang kata orang lain
kotor itu?
Kemudian saya mengingatingat lagi pesan
yang disampaikan seorang warga net di atas. Berbuat baiklah selagi diberi
kesempatan. Kemudian tak lama setelah itu, lahir dua pertanyaan. Pertama, di
manakah kesempatan berbuat baik itu tersedia. Kedua, siapa yang sesungguhnya
memberikan saya kesempatan untuk berbuat baik?
24 jam, 1 minggu, 365 hari
Beberapa waktu lalu, saya membaca berita,
seorang gadis tunarungu dan tunawicara dibunuh dan sebelum dibunuh ia
diperkosa dan barang-barangnya pun dicuri, termasuk uang Rp 4 juta.
Jika itu terjadi pada adik atau kakak saya,
saya akan membalas dengan cara apa pun selain secara hukum pelaku akan
dipenjara. Kesempatan berbuat baik tersedia untuk kakak atau adik saya yang
tewas mengenaskan seperti itu melalui balas dendam itu. Dan sebuah situasi
yang menyakitkan yang memberikan kesempatan kepada diri saya untuk berbuat
baik.
Akan ada yang akan mengatakan balas dendam
yang akan saya lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Karena apa pun
kejadian yang menyakitkan, hukum adalah satu-satunya jalur yang tepat untuk
ditempuh. Mungkin ada yang akan berpikir lumrahlah ia melakukan balas dendam
itu lha wong saudaranya dibantai seperti itu.
Itu adalah reaksi saya kalau seandainya
kejadian kejam itu menimpa saya. Bagaimana reaksi ayah si korban yang saya
baca dalam berita di media sosial itu? Dalam berita itu ayahnya hanya
menjelaskan kondisi anaknya ketika masih hidup, tak satu pun ada penjelasan
reaksinya, terutama untuk membalas dendam terhadap kejadian yang menimpa
putrinya.
Maka, jika ada dua pertanyaan yang
terlintas di kepala saya, di mana kesempatan berbuat baik tersedia dan
siapakah yang akan memberi kesempatan melakukan perbuatan baik itu kepada
saya? Maka, kesempatan berbuat baik itu tersedia 24 jam satu hari, 7 hari
dalam seminggu, dan 365 hari dalam satu tahun.
Kesempatan berbuat baik adalah dalam bentuk
saat mobil saya ditabrak, saya boleh bertanya baik-baik mengapa sampai
tertabrak tanpa melabrak dan melakukan kekerasan. Ketika seseorang menulis
pesan di media sosial, maka kesempatan berbuat baik adalah saya membaca
dengan saksama pesan itu sebelum memberi komentar yang penuh emosional dan
mendatangkan perselisihan.
Ketika saya tahu jalur hanya untuk satu
arah, maka kesempatan berbuat baik selagi ada itu yaa.mengikuti satu arah itu
dan ketika polisi menegur karena saya melanggar, saya tak perlu mencari
alasan, bahkan memukul petugas.
Bukankah pada akhirnya setiap kejadian di
dalam hidup ini adalah sebuah tempat tersedia kesempatan saya untuk berbuat
baik? Bukankah pada akhirnya saya sendirilah yang menjadi orang satu-satunya
yang memberi kesempatan pada diri sendiri untuk berbuat baik melalui kejadian
yang aneka ragam bentuknya bahkan yang tersulit dan terkejam sekalipun? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar