Ridwan
Kamil, Seksisme, dan Feminis Galak
Rakhmad Hidayatulloh Permana ; Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya
bermain dengan ikan-ikan air tawar
|
DETIKNEWS,
23 November
2017
Suatu malam saya melihat salah
satu posting-an walikota Bandung, Ridwan Kamil di akun Instagram-nya. Ia
mengunggah foto tiga pria pemimpin daerah. Terdiri dari dirinya, Bima Arya
Walikota Bogor, dan Emil Elistianto Bupati Trenggalek —yang juga suami Arumi Bachsin.
Lalu, di atasnya terpampang foto istri masing-masing dengan senyum paling
manis.
Kemudian di kolom caption
Ridwan Kamil menulis begini: "Di balik kerja para lelaki ini, ada wanita
rajin luluran dan perawatan yang setia menyemangati. Bandung-Bogor-Trenggalek.
*bersyukurlah bukan lelakinya yang rajin luluran."
Tanpa sadar, saya ikut tertawa
membacanya. Saya juga ikut urun mengisi tanggapan di kolom komentar. Sebab
saya pikir, banyolan Ridwan Kamil itu memang lucu.
Tak berselang lama, saya melihat
posting-an yang sama di-posting ulang oleh salah satu akun gerakan feminis
yang saya ikuti di Facebook. Akun tersebut menganggap Ridwan Kamil melakukan
objektifikasi kepada perempuan. Intinya, mereka mengecam posting-an Ridwan
Kamil tadi karena mengandung muatan seksisme.
Seksisme sendiri secara
sederhana bisa diartikan sebagai bentuk diskriminasi buruk kepada seseorang
berdasarkan bias gender. Pada umumnya di Indonesia, seksisme ini memang lebih
sering menyerang mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Saya kembali mengecek
posting-an Ridwan Kamil tadi. Di kolom komentar, tiba-tiba saya melihat
orang-orang yang merundung Ridwan Kamil habis-habisan. Dari yang komentarnya
biasa saja sampai yang paling kasar. Sebagian besar yang marah menyebut
Ridwan Kamil sebagai seksis dan tak becus mengurus kota Bandung.
Tentu, komentar-komentar
tersebut reaksioner belaka. Toh, meskipun kota Bandung belum seutuhnya baik
tapi banyak terobosan yang telah dilakukan oleh Ridwan Kamil.
Saya jadi bingung. Sebab yang
saya tangkap dari posting-an Ridwan Kamil itu tak lebih dari lelucon yang
biasa. Bahkan, di situ Ridwan Kamil seolah-olah ingin memuji para perempuan
yang selalu mendukung kerja para suaminya. Saya merasa tak menemukan ujaran
yang merendahkan perempuan.
Saya pun akhirnya bertanya
kepada Cania, seorang teman perempuan yang memang punya fokus dalam isu
feminis seperti ini. Saya bertanya sembari menyodorkan posting-an Ridwan
Kamil itu.
"Can, menurutmu posting-an
ini seksis nggak?"
"Jelas. Itu sexist
jokes."
"Hah? Di mana bagian
seksisnya?"
Dia pun menggarisbawahi kata
luluran. "Apa salahnya cowok luluran?" katanya. Lalu, ia juga
menjelaskan bahwa kalimat yang masyhur seperti "di balik lelaki sukses,
ada perempuan hebat" itu juga merupakan skema dunia patriarki —dunia
yang selalu menempatkan derajat perempuan di bawah lelaki.
Seketika saya kaget, dan malu
bukan kepalang. Saya baru sadar bahwa saya ternyata hidup dalam kacamata
seorang seksis atau patriarki. Untuk itu, saya menginsafinya. Saya merasa
berdosa kepada seluruh perempuan di muka bumi ini, dan ingin minta maaf.
Namun, Cania membesarkan hati
saya. Ia mengatakan bahwa saya sebetulnya tak perlu menanggung semua
kesalahan tersebut. Karena menurutnya, seksisme kadangkala bukan sesuatu yang
jelas dan mudah diidentifikasi. Seksisme telah menjadi norma yang lazim untuk
diimani oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Cania juga menunjukkan kepada
saya bahwa seksisme tak hanya menyerang perempuan. Lelaki juga bisa jadi
objeknya. Misalkan, dalam sebuah acara biasanya panitia lelaki disuruh untuk
menenteng barang-barang berat, meskipun jika dilihat dari citra fisik si
lelaki lebih "letoy" ketimbang panitia perempuan.
Atau, di dalam sebuah keluarga,
seorang anak lelaki biasanya akan ditanya begini: "Kok kamu nganggur aja
di rumah sih. Cari kerja sana." Sedangkan si anak perempuan tak
mendapatkan pertanyaan yang sama. Beberapa fenomena seperti ini bisa masuk ke
dalam seksisme kepada lelaki. Namun, jarang ada yang memprotesnya karena kita
memang tidak sadar. Seksisme telah menjadi norma yang bercokol kuat.
Jika mau sedikit menelusuri,
seksisme hidup karena diwarisi oleh tradisi turun-menurun. Bahkan, dalam
keluarga seksisme itu menjadi bagian dari didikan orangtua kita. Misalnya,
"Oh, anak lelaki tak boleh menyapu. Itu pekerjaan perempuan." Dalam
beberapa keluarga, keyakinan ini sudah dianggap biasa. Kakek saya yang
seorang lelaki Jawa tulen, menyebut lelaki yang menyapu itu sebagai sebuah
pamali.
Merasa belum puas dengan
kesadaran yang saya temukan, saya pun meminta pendapat beberapa teman
perempuan yang lain. Saya mintai pendapat mereka, apakah posting-an Ridwan
Kamil itu melecehkan perempuan. Mereka semua bingung dan menganggap
posting-an Ridwan Kamil baik-baik saja. Mereka juga maklum, karena Ridwan
Kamil memang sering membuat candaan seperti itu.
Bila diibaratkan, saya dan
beberapa teman yang saya tanyai itu seperti berada dalam sebuah gelas, namun
berpikir berada di luar gelas. Kami tak menyadarinya. Kami hanyalah korban
dari kesadaran palsu. Tak terkecuali Ridwan Kamil. Jadi wajar jika kami
merasa tidak enak bila dituduh melakukan apa yang tidak disadari itu.
Sayangnya, ketidaktahuan itu
tidak selalu diakomodasi dengan edukasi yang ideal. Bahkan, ada beberapa
feminis yang langsung melabrak dengan kasar. Saya menggolongkan mereka ke
dalam kelompok "feminis galak" —apakah ini juga seksis? Hehehe.
Saya pernah berinteraksi dengan mereka, ketika saya mengajukan pendapat
tentang apakah perlu seorang lelaki menjadi feminis. Saya berpendapat itu tidak
perlu, karena untuk menghargai perempuan kamu hanya perlu menjadi manusia.
Melihat perempuan sebagai sparing patner yang setara.
Namun, saya justru diumpati
dengan kasar. Bahkan ada yang bilang, "Kalau semua lelaki di bumi
seperti Rakhmad, mending aku nggak usah nikah aja dan terus menjadi perawan
tua." Saya merasa berdosa mendengar ujaran itu. Seolah-olah pendapat
saya adalah sebuah kejahatan. Meskipun ada kerentanan kesalahan di dalamnya.
Pada praktiknya, saya tak
pernah melakukan pelecehan seksual. Saya juga tak pernah
men-"suit-suiti" perempuan di jalan raya —kecuali suit-suitin
burung sih pernah. Tapi, gambaran saya di mata feminis itu sudah kepalang
buruk. Saya adalah seksis, lelaki patriarkis, atau barangkali juga misoginis.
Maka rasanya wajar jika skema
pandangan seksis itu betah berdiam diri dalam benak saya tanpa disadari.
Karena, ketidaktahuan saya begitu mudahnya dihakimi menjadi sebuah kesalahan
mutlak. Barangkali itu juga yang mungkin menjangkiti Ridwan Kamil. Alih-alih
mendapatkan perhatian, Ridwan Kamil terjebak dalam "kesalahan"
berulang. Juga mungkin berlaku bagi para penggemar Ridwan Kamil. Perundungan
hanya akan membuat mereka resisten dengan ide kesataraan gender.
Ketika saya bertanya, kenapa
ada para feminis galak, sebagian dari mereka menjawab karena perempuan sudah
lama terjajah oleh dominasi para lelaki. Karena ketidakadilan sudah
berlangsung sangat panjang. Saya bersepakat untuk itu. Tapi, apakah caranya
begitu? Tidak dialogis? Lalu, apa bedanya gerakan feminis dengan gerakan
keagamaan radikal?
Ada kelompok radikal yang
selalu merasa bahwa agamanya telah dinista begitu lama, maka dari itu mereka
galak. Apa bedanya gerakan feminis yang mudah menuduh seksis dengan kaum
takfiri yang mudah menyebut orang sebagai kafir? Kita tahu bahwa tentu
gerakan feminis tak pantas memang disamakan dengan kelompok tadi. Oleh
karenanya, gerakan feminis harus membuat caranya menjadi lebih elegan.
Ridwan Kamil boleh jadi memang
seorang "seksis" dan lelaki "patriarkis". Kita perlu
mengkritiknya karena ia adalah simbol kuasa; ia adalah pejabat publik. Namun,
langsung menunjuk hidungnya sebagai "tersangka" dan membabi buta
merundungnya tak akan menjadi solusi.
Alih-alih menerima, mereka yang
gampang dituduh seksis itu justru menjadi resisten. Lagi pula, jika memang
Ridwan Kamil seorang patriarkis dan seksis "tulen", barangkali ia
tak akan pernah mengizinkan Atalia Praratya —istrinya— untuk mengambil gelar
masternya. Ridwan Kamil juga saya kira tak pernah mencaci seorang perempuan
dengan sebutan pesek atau buruk. Sehingga, perlu ada pembedaan treatment
ketika ingin meluruskan pandangan yang keliru. Kita tentu tak ingin seteru
dari masalah yang tak disadari ini semakin meruncing. Kita tak mau
kesenjangan antara lelaki dan perempuan terus melebar.
Barangkali para feminis memang
paling fasih dalam mendaras dalil-dalil feminisme. Mereka mungkin sudah
menyerap semua gagasan feminisme dari era Simone De Beauvoir hingga Julia
Kristeva. Sedangkan saya hanyalah lelaki cupu yang merasa tahu apa itu
feminisme padahal masih terkukung dalam skema dunia patriarki. Tetapi,
menganggap kami selalu bodoh tanpa diberitahu juga bukan hal bijaksana.
Sebab, feminisme hadir bukan
untuk mengganti sistem patriarki dengan sistem matriarki —sistem yang
menempatkan perempuan sebagai yang berkuasa. Karena inti ajaran feminisme
ialah menggerus segala bentuk dominasi, baik dari lelaki atau perempuan.
Feminisme hadir untuk
menghancurkan sistem patriarki, dan mewedarkan keadilan bagi segenap manusia
tanpa sentimen gender. Feminisme hadir untuk membuat hubungan lelaki dan
perempuan menjadi berjalan berbarengan, seperti yang pernah dikatakan oleh
Albert Camus:
"Jangan berjalan di belakangku karena aku tidak akan
memimpinmu. Jangan berjalan di depanku karena aku tidak akan mengikutimu.
Berjalanlah di sisiku sebagai sahabatku." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar