Sabtu, 25 November 2017

Ridwan Kamil, Seksisme, dan Feminis Galak

Ridwan Kamil, Seksisme, dan Feminis Galak
Rakhmad Hidayatulloh Permana ;  Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya bermain dengan ikan-ikan air tawar
                                                DETIKNEWS, 23 November 2017



                                                           
Suatu malam saya melihat salah satu posting-an walikota Bandung, Ridwan Kamil di akun Instagram-nya. Ia mengunggah foto tiga pria pemimpin daerah. Terdiri dari dirinya, Bima Arya Walikota Bogor, dan Emil Elistianto Bupati Trenggalek —yang juga suami Arumi Bachsin. Lalu, di atasnya terpampang foto istri masing-masing dengan senyum paling manis.

Kemudian di kolom caption Ridwan Kamil menulis begini: "Di balik kerja para lelaki ini, ada wanita rajin luluran dan perawatan yang setia menyemangati. Bandung-Bogor-Trenggalek. *bersyukurlah bukan lelakinya yang rajin luluran."

Tanpa sadar, saya ikut tertawa membacanya. Saya juga ikut urun mengisi tanggapan di kolom komentar. Sebab saya pikir, banyolan Ridwan Kamil itu memang lucu.

Tak berselang lama, saya melihat posting-an yang sama di-posting ulang oleh salah satu akun gerakan feminis yang saya ikuti di Facebook. Akun tersebut menganggap Ridwan Kamil melakukan objektifikasi kepada perempuan. Intinya, mereka mengecam posting-an Ridwan Kamil tadi karena mengandung muatan seksisme.

Seksisme sendiri secara sederhana bisa diartikan sebagai bentuk diskriminasi buruk kepada seseorang berdasarkan bias gender. Pada umumnya di Indonesia, seksisme ini memang lebih sering menyerang mereka yang berjenis kelamin perempuan.

Saya kembali mengecek posting-an Ridwan Kamil tadi. Di kolom komentar, tiba-tiba saya melihat orang-orang yang merundung Ridwan Kamil habis-habisan. Dari yang komentarnya biasa saja sampai yang paling kasar. Sebagian besar yang marah menyebut Ridwan Kamil sebagai seksis dan tak becus mengurus kota Bandung.

Tentu, komentar-komentar tersebut reaksioner belaka. Toh, meskipun kota Bandung belum seutuhnya baik tapi banyak terobosan yang telah dilakukan oleh Ridwan Kamil.

Saya jadi bingung. Sebab yang saya tangkap dari posting-an Ridwan Kamil itu tak lebih dari lelucon yang biasa. Bahkan, di situ Ridwan Kamil seolah-olah ingin memuji para perempuan yang selalu mendukung kerja para suaminya. Saya merasa tak menemukan ujaran yang merendahkan perempuan.

Saya pun akhirnya bertanya kepada Cania, seorang teman perempuan yang memang punya fokus dalam isu feminis seperti ini. Saya bertanya sembari menyodorkan posting-an Ridwan Kamil itu.

"Can, menurutmu posting-an ini seksis nggak?"

"Jelas. Itu sexist jokes."

"Hah? Di mana bagian seksisnya?"

Dia pun menggarisbawahi kata luluran. "Apa salahnya cowok luluran?" katanya. Lalu, ia juga menjelaskan bahwa kalimat yang masyhur seperti "di balik lelaki sukses, ada perempuan hebat" itu juga merupakan skema dunia patriarki —dunia yang selalu menempatkan derajat perempuan di bawah lelaki.

Seketika saya kaget, dan malu bukan kepalang. Saya baru sadar bahwa saya ternyata hidup dalam kacamata seorang seksis atau patriarki. Untuk itu, saya menginsafinya. Saya merasa berdosa kepada seluruh perempuan di muka bumi ini, dan ingin minta maaf.

Namun, Cania membesarkan hati saya. Ia mengatakan bahwa saya sebetulnya tak perlu menanggung semua kesalahan tersebut. Karena menurutnya, seksisme kadangkala bukan sesuatu yang jelas dan mudah diidentifikasi. Seksisme telah menjadi norma yang lazim untuk diimani oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.

Cania juga menunjukkan kepada saya bahwa seksisme tak hanya menyerang perempuan. Lelaki juga bisa jadi objeknya. Misalkan, dalam sebuah acara biasanya panitia lelaki disuruh untuk menenteng barang-barang berat, meskipun jika dilihat dari citra fisik si lelaki lebih "letoy" ketimbang panitia perempuan.

Atau, di dalam sebuah keluarga, seorang anak lelaki biasanya akan ditanya begini: "Kok kamu nganggur aja di rumah sih. Cari kerja sana." Sedangkan si anak perempuan tak mendapatkan pertanyaan yang sama. Beberapa fenomena seperti ini bisa masuk ke dalam seksisme kepada lelaki. Namun, jarang ada yang memprotesnya karena kita memang tidak sadar. Seksisme telah menjadi norma yang bercokol kuat.

Jika mau sedikit menelusuri, seksisme hidup karena diwarisi oleh tradisi turun-menurun. Bahkan, dalam keluarga seksisme itu menjadi bagian dari didikan orangtua kita. Misalnya, "Oh, anak lelaki tak boleh menyapu. Itu pekerjaan perempuan." Dalam beberapa keluarga, keyakinan ini sudah dianggap biasa. Kakek saya yang seorang lelaki Jawa tulen, menyebut lelaki yang menyapu itu sebagai sebuah pamali.

Merasa belum puas dengan kesadaran yang saya temukan, saya pun meminta pendapat beberapa teman perempuan yang lain. Saya mintai pendapat mereka, apakah posting-an Ridwan Kamil itu melecehkan perempuan. Mereka semua bingung dan menganggap posting-an Ridwan Kamil baik-baik saja. Mereka juga maklum, karena Ridwan Kamil memang sering membuat candaan seperti itu.

Bila diibaratkan, saya dan beberapa teman yang saya tanyai itu seperti berada dalam sebuah gelas, namun berpikir berada di luar gelas. Kami tak menyadarinya. Kami hanyalah korban dari kesadaran palsu. Tak terkecuali Ridwan Kamil. Jadi wajar jika kami merasa tidak enak bila dituduh melakukan apa yang tidak disadari itu.

Sayangnya, ketidaktahuan itu tidak selalu diakomodasi dengan edukasi yang ideal. Bahkan, ada beberapa feminis yang langsung melabrak dengan kasar. Saya menggolongkan mereka ke dalam kelompok "feminis galak" —apakah ini juga seksis? Hehehe. Saya pernah berinteraksi dengan mereka, ketika saya mengajukan pendapat tentang apakah perlu seorang lelaki menjadi feminis. Saya berpendapat itu tidak perlu, karena untuk menghargai perempuan kamu hanya perlu menjadi manusia. Melihat perempuan sebagai sparing patner yang setara.

Namun, saya justru diumpati dengan kasar. Bahkan ada yang bilang, "Kalau semua lelaki di bumi seperti Rakhmad, mending aku nggak usah nikah aja dan terus menjadi perawan tua." Saya merasa berdosa mendengar ujaran itu. Seolah-olah pendapat saya adalah sebuah kejahatan. Meskipun ada kerentanan kesalahan di dalamnya.

Pada praktiknya, saya tak pernah melakukan pelecehan seksual. Saya juga tak pernah men-"suit-suiti" perempuan di jalan raya —kecuali suit-suitin burung sih pernah. Tapi, gambaran saya di mata feminis itu sudah kepalang buruk. Saya adalah seksis, lelaki patriarkis, atau barangkali juga misoginis.

Maka rasanya wajar jika skema pandangan seksis itu betah berdiam diri dalam benak saya tanpa disadari. Karena, ketidaktahuan saya begitu mudahnya dihakimi menjadi sebuah kesalahan mutlak. Barangkali itu juga yang mungkin menjangkiti Ridwan Kamil. Alih-alih mendapatkan perhatian, Ridwan Kamil terjebak dalam "kesalahan" berulang. Juga mungkin berlaku bagi para penggemar Ridwan Kamil. Perundungan hanya akan membuat mereka resisten dengan ide kesataraan gender.

Ketika saya bertanya, kenapa ada para feminis galak, sebagian dari mereka menjawab karena perempuan sudah lama terjajah oleh dominasi para lelaki. Karena ketidakadilan sudah berlangsung sangat panjang. Saya bersepakat untuk itu. Tapi, apakah caranya begitu? Tidak dialogis? Lalu, apa bedanya gerakan feminis dengan gerakan keagamaan radikal?

Ada kelompok radikal yang selalu merasa bahwa agamanya telah dinista begitu lama, maka dari itu mereka galak. Apa bedanya gerakan feminis yang mudah menuduh seksis dengan kaum takfiri yang mudah menyebut orang sebagai kafir? Kita tahu bahwa tentu gerakan feminis tak pantas memang disamakan dengan kelompok tadi. Oleh karenanya, gerakan feminis harus membuat caranya menjadi lebih elegan.

Ridwan Kamil boleh jadi memang seorang "seksis" dan lelaki "patriarkis". Kita perlu mengkritiknya karena ia adalah simbol kuasa; ia adalah pejabat publik. Namun, langsung menunjuk hidungnya sebagai "tersangka" dan membabi buta merundungnya tak akan menjadi solusi.

Alih-alih menerima, mereka yang gampang dituduh seksis itu justru menjadi resisten. Lagi pula, jika memang Ridwan Kamil seorang patriarkis dan seksis "tulen", barangkali ia tak akan pernah mengizinkan Atalia Praratya —istrinya— untuk mengambil gelar masternya. Ridwan Kamil juga saya kira tak pernah mencaci seorang perempuan dengan sebutan pesek atau buruk. Sehingga, perlu ada pembedaan treatment ketika ingin meluruskan pandangan yang keliru. Kita tentu tak ingin seteru dari masalah yang tak disadari ini semakin meruncing. Kita tak mau kesenjangan antara lelaki dan perempuan terus melebar.

Barangkali para feminis memang paling fasih dalam mendaras dalil-dalil feminisme. Mereka mungkin sudah menyerap semua gagasan feminisme dari era Simone De Beauvoir hingga Julia Kristeva. Sedangkan saya hanyalah lelaki cupu yang merasa tahu apa itu feminisme padahal masih terkukung dalam skema dunia patriarki. Tetapi, menganggap kami selalu bodoh tanpa diberitahu juga bukan hal bijaksana.

Sebab, feminisme hadir bukan untuk mengganti sistem patriarki dengan sistem matriarki —sistem yang menempatkan perempuan sebagai yang berkuasa. Karena inti ajaran feminisme ialah menggerus segala bentuk dominasi, baik dari lelaki atau perempuan.

Feminisme hadir untuk menghancurkan sistem patriarki, dan mewedarkan keadilan bagi segenap manusia tanpa sentimen gender. Feminisme hadir untuk membuat hubungan lelaki dan perempuan menjadi berjalan berbarengan, seperti yang pernah dikatakan oleh Albert Camus:

"Jangan berjalan di belakangku karena aku tidak akan memimpinmu. Jangan berjalan di depanku karena aku tidak akan mengikutimu. Berjalanlah di sisiku sebagai sahabatku."  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar