Praperadilan,
Apa yang Kau Cari
Luhut MP Pangaribuan ; Dosen Fakultas Hukum UI dan Ketua Umum Peradi
|
KOMPAS,
30 November
2017
Banyak pihak yang menduga praperadilan
telah menjadi alat baru untuk
melindungi koruptor. Bahkan, praperadilan ini telah menjadi tren, terutama di
kalangan political exposure person (“orang kuat”).
Beberapa di antaranya memang dimenangkan.
Akan tetapi, secara kuantitatif sesungguhnya tidak lebih banyak. Sebab,
akhirnya perkara sampai juga di pengadilan, kasus dugaan korupsinya diputus
dan dihukum. Sekali lagi, karena menyangkut “orang kuat”, publikasinya memang
lebih luas sehingga kesannya praperadilan telah menjadi hukum yang tidak
layak dipertahankan.
Apakah betul begitu dan bagaimanakah
sesungguhnya hukum tentang praperadilan itu?
Praperadilan harus tetap dipertahankan.
Karena praperadilan ini menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia, dengan
perjuangan sungguh-sungguh di DPR. Karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dijuluki sebagai
“karya agung”.
Dengan praperadilan ini, salah satu
fundamental rights telah menjadi bagian hukum acara pidana Indonesia
sekalipun kemudian pujian ini redup karena harapan terhadap lembaga baru
praperadilan ini belum sesuai dengan kenyataan. Banyak yang kecewa karena
lebih sering kandas di tangan hakim.
Sesuai namanya, praperadilan adalah
pemeriksaan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Jadi, dalam pemeriksaan hakim
di pengadilan, yang menjadi obyek praperadilan ialah “cara” bagaimanakah penyidik dan atau
jaksa melakukan pemeriksaan terhadap
seseorang yang menjadi tersangka. Apakah telah melanggar hak-hak terperiksa
dan tersangka yang sifatnya asasi?
Konkretnya praperadilan intinya untuk
memeriksa kebenaran (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang
yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menambahkan satu obyek
lagi yang dapat diperiksa dalam praperadilan ini, yaitu (c) penetapan status
seseorang menjadi tersangka.
Jadi, dari ketiga hal yang menjadi obyek
praperadilan ini, tidak satu pun yang menyangkut pokok perkara. Artinya bukan
menyangkut apakah seseorang bersalah atau tidak atas suatu sangkaan seperti
korupsi.
Belum
final
Oleh karena tidak menyangkut pokok perkara,
apabila permohonan praperadilan dikabulkan hakim, bukan berarti perkara telah
final. Konkretnya, penyidik akan tetap bisa saja menerbitkan surat perintah
penyidikan baru; yang sudah umum dikenal dengan singkatan “sprindik”.
KUHAP sendiri juga mengakuinya dengan
klausul jika di penyidikan suatu perkara sudah pernah dipraperadilankan,
dalam tingkat penuntutan jika diajukan lagi praperadilan harus periksa (Pasal
82 Ayat (1)e KUHAP). Mahkamah Agung juga sudah mengonfirmasi hal ini dengan
menyatakan “. tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan ybs
sebagai tersangka lagi .” (Peraturan Mahkamah Agung/Perma No 4 Tahun 2016).
Menyedihkan ketika seorang guru besar hukum
pidana pada satu acara TV saat membahas putusan praperadilan Setya Novanto
mengatakan bahwa terhadap putusan praperadilan berlaku asas ne bis in idem.
Artinya, terhadap kasus yang sama tidak bisa diadili dua kali.
Dengan begitu dimaksudkan perkara Setya
Novanto tidak bisa disidik lagi karena sudah menang di praperadilan pertama.
Asas ne bis in idem (double jeopardy) ini belum relevan ketika pokok
perkaranya belum diadili. Dalam pemeriksaan perkara praperadilan Setya
Novanto, pokok perkara memang belum diperiksa. Seandainya pun dalam
pemeriksaan praperadilan yang kedua Setya Novanto nanti dimenangkan lagi,
perkara pokok belum final.
Hak
asasi tersangka
Praperadilan yang diatur dalam KUHAP merupakan lembaga baru dalam hukum acara
pidana di Indonesia. Praperadilan ini merupakan “transplantasi” dari hukum
common law. Konkretnya praperadilan ini dulu diusulkan oleh antara lain
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution supaya
dimasukkan dalam KUHAP.
Ini adalah salah satu cara untuk melindungi
hak-hak terperiksa dan atau tersangka. Dengan masukan seorang lawyer asing
Greg Churchill konsep habeas corpus
yang ada dalam hukum Amerika kemudian dimasukkan dan menjadi bagian dari
hukum acara pidana Indonesia yang diatur dalam KUHAP dengan istilah
praperadilan.
Habeas corpus diterjemahkan dengan
praperadilan. Tujuannya untuk melindungi kesewenang- wenangan dalam
penyidikan khususnya yang berhubungan dengan penetapan upaya paksa seperti
penahanan dan penetapan sebagai tersangka dan lain sebagainya.
Supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan,
digeser dari berdasarkan diskresi ke judicial scrutiny, tunduk pada pengujian
hakim. Artinya hakim sudah harus campur tangan jika ada keberatan atas
penerapan upaya paksa itu. Karena itu, kalau menang berhak atas kerugian
materiil, saat ini maksimum Rp 100 juta dan rehabilitasi (Peraturan
Pemerintah No 92 Tahun 2015).
Dalam pemeriksaan, hakim memastikan bahwa tidak ada kesewenang-wenangan
penyidik atau jaksa. Dengan kata lain, apakah klausul “keadaan yang
mengkhawatirkan” dasar penahanan dan atau “bukti permulaan yang cukup” atau
probable cause dasar menetapkan sebagai tersangka sudah benar adanya atau
tidak. Inilah yang diperiksa hakim, bukan yang lain.
Karena bukan pokok perkara yang diperiksa,
maka putusannya pun harus cepat, yaitu hanya dalam tempo tiga hari hakim yang
ditunjuk sudah harus menetapkan hari sidang. Selambat-lambatnya tujuh hari
hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Putusan hakim dalam praperadilan
tetap bukan soal kesalahan atas kasus, melainkan tentang cara memeriksa itu,
bagaimanapun kalimatnya, apakah ada pelanggaran.
Jika tidak ada pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) dalam cara memeriksa sesuai sifat hakikat ketentuan
praperadilan itu, semestinya praperadilan tidak perlu dilakukan. Seperti
pernah diungkapkan oleh seorang kepala Kejaksaan Tinggi di Jawa Timur, 100
putusan praperadilan dimenangkan, maka seratus sprindik akan dikeluarkan.
Pernyataan ini terasa berlebihan, tetapi
memang begitulah norma ketentuan praperadilan saat ini. Dalam Revisi KUHAP
(RKUHAP) dicoba menggantinya dengan “hakim komisaris” untuk lebih baik,
tetapi belum diundangkan sampai sekarang.
Kalau ada pelanggaran HAM, ajukanlah praperadilan. Kalau mencari
kemenangan atas pokok perkara, bukan mengajukan praperadilan. Kalau begitu
apa yang dicari jika tidak ada pelanggaran HAM, tetapi praperadilan tetap
diajukan? Ebit G Ade: tanyakan pada rumput yang bergoyang dan itulah pertanyaannya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar