Martabat
Guru
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan;
Pengajar di Universitas
Multimedia Nusantara
|
KOMPAS,
25 November
2017
Tak ada masa yang begitu
memprihatinkan dibandingkan situasi guru zaman sekarang. Banyak citra buruk
telah mencoreng profesi guru, seperti perilaku kekerasan yang viral di media,
tindak ketidakjujuran, inkompetensi profesional dan pedagogis, serta
kesejahteraan hidup para guru. Mengembalikan martabat guru semestinya jadi
prioritas kebijakan pendidikan.
Citra guru buruk bukan
semata-mata terjadi karena kelemahan internal dalam diri guru. Guru zaman now
menghadapi persoalan kompleks yang berasal dari dalam dan dari luar.
Dua tantangan
Persoalan yang berasal dari
dalam adalah tantangan profesionalisme guru. Kata kunci di sini adalah
integritas pendidik. Bagaimana guru sendiri mencerminkan bahwa profesinya
adalah sebuah panggilan hidup yang bermartabat? Marak dan viralnya kasus
kekerasan oleh guru yang terjadi di lingkungan sekolah maupun di luar
kompleks sekolah, banalitas ketidakjujuran dalam melaksanakan kinerja
profesionalnya, hanyalah beberapa fakta yang dapat kita sebutkan.
Yang dari luar adalah tuntutan
negara, masyarakat, dan kemajuan zaman. Tuntutan negara mengambil bentuk
dalam pelbagai macam peraturan yang memasung kreativitas guru. Tuntutan
masyarakat bisa berupa harapan, cita-cita, dan keinginan orangtua akan
kehadiran guru yang sungguh dapat menjadi mitra bagi pembentukan karakter
anak-anak mereka. Sementara tuntutan kemajuan lingkungan sosial dan budaya
sebuah masyarakat tecermin dari semakin canggihnya kemajuan di bidang
teknologi informasi dan komunikasi, yang dengan sendirinya tentu saja
menuntut guru untuk selalu memperbarui pengetahuan dan keterampilannya agar
tidak tersingkir dari cepatnya kemajuan zaman.
Pasungan regulasi dan supervisi
yang mengobyekkan guru sebagai obyek evaluasi dan penilaian melalui sistem
penyeliaan yang sistematis, teknis, dan mekanis meredusir pekerjaan guru pada
kegiatan administratif. Kinerja guru menjadi semacam kegiatan proses produksi
ala pabrik yang harus dikontrol standar kualitasnya oleh pihak luar. Tuntutan
pekerjaan administratif yang harus dilakukan oleh guru begitu banyaknya
sehingga guru tidak memiliki waktu lagi untuk mengembangkan dirinya secara
profesional, atau bahkan untuk fokus pada pekerjaan utamanya, yaitu mendidik
dan mengajar siswa.
Tuntutan dan harapan masyarakat
tidak dapat diabaikan oleh guru. Adanya tuntutan yang tinggi dari masyarakat
terhadap kinerja seorang guru sesungguhnya menunjukkan bahwa profesi ini
masih dianggap sebagai profesi yang bermartabat dan mulia. Alhasil, adanya
kekerasan yang dilakukan oleh guru akan melukai hati masyarakat, terutama
orangtua.
Orangtua mengharapkan bahwa guru
bisa hadir bagi anak-anak mereka sebagai pengganti diri mereka yang tidak
bisa selalu bersama anak dalam proses pendidikan. Orangtua masih banyak
menaruh kepercayaannya pada pekerjaan guru untuk mendidik dan membentuk
karakter anak-anak mereka.
Kemajuan teknologi yang begitu
cepat menuntut guru untuk selalu mau belajar dan memperbarui pengetahuan dan
keterampilannya agar ia dapat mengikuti derap dan dinamika kehidupan peserta
didik. Peserta didik yang merupakan generasi milenial ini sejak kecil sudah
merasakan bahwa peralatan teknologi telah menjadi bagian dari hidupnya, bukan
lagi sekadar alat untuk komunikasi.
Sayangnya, para guru kita masih
cenderung untuk mengagungkan apa yang ia rasakan sebagai hal yang baik di
masa lampau. Sebagian besar para guru belum atau bahkan tidak berani keluar
dari zona nyamannya untuk mencari jalan-jalan alternatif dalam mendidik agar
apa yang dilakukan di kelas menjadi semakin efektif dan bermakna, bukan hanya
bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi peserta didik.
Kemuliaan profesi
Martabat guru memang terbentuk
dari kemuliaan profesi guru. Tidak ada profesi yang langsung begitu
memperoleh penghargaan dan rasa hormat dari publik dengan begitu cepat selain
guru. Ketika seseorang menjadi guru, ia memiliki kekuasaan dan kewenangan
yang tidak membedakan pangkat, derajat, dan martabatnya.
Seorang presiden, menteri,
jenderal berbintang lima yang paham akan makna martabat guru pasti akan
datang ke sekolah ketika seorang guru memanggilnya, tidak peduli apakah itu
guru novis yang baru lulus kemarin sore, atau guru senior yang telah mengajar
puluhan tahun. Untuk berjumpa langsung dan dapat berbicara dengan seorang
menteri, profesi lain membutuhkan waktu bertahun-tahun. Hal ini tidak berlaku
bagi seorang guru. Begitu ia menyandang profesi sebagai seorang guru, ia
memiliki kekuasaan dan kewenangan mendidik yang sangat luar biasa.
Sayangnya, kekuatan
kemartabatan profesi guru ini sering kali tidak dipahami oleh guru sebagai
modal awal bagi pembentukan profesionalisme dirinya. Bahwa, kekuatan
kemartabatan itu selalu harus diikuti dengan belajar dan menimba pengetahuan
dan keterampilan secara terus- menerus. Hanya dengan begitu kemartabatan yang
telah disematkan masyarakat kepada guru sungguh menjadi bentuk kemartabatan
yang dimiliki oleh guru sebagai pribadi.
Langkah memulihkan martabat
Mengembalikan martabat guru
tidak bisa hanya dilakukan satu pihak, apakah itu dari guru saja atau dari
masyarakat dan negara, melainkan membutuhkan kolaborasi dan kerja sama yang
baik antara sekolah, keluarga, dan masyarakat yang menjadi trisentra
pendidikan seperti digagas Ki Hajar Dewantara. Untuk itu, ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan oleh masing-masing pihak agar profesi guru dapat
menemukan kembali kemartabatannya sehingga menjadi profesi yang sungguh mulia
dan berharga bagi masyarakat.
Pertama, dari sisi guru
sendiri, ia perlu memiliki keterbukaan baik dalam hal wawasan dan pemikiran
sehingga ia semakin dapat memahami esensi profesionalismenya sebagai sebuah
proses pembentukan kemartabatan guru yang akan berlangsung sepanjang hayat.
Setiap guru perlu memiliki
sikap untuk senantiasa berani memperbaiki diri, mengevaluasi kekurangan, dan
kelemahannya dengan memperkuatnya melalui berbagai macam bentuk kegiatan yang
mengembangkan profesionalismenya. Sebutlah seperti mengikuti
kegiatan-kegiatan pengembangan, pelatihan, dan pengayaan individu melalui
bacaan dan refleksi rutin.
Kekuasaan dan otoritas yang dimiliki oleh guru bukanlah berasal dari diri
individu pribadi guru, melainkan karena status profesionalnya sebagai guru.
Karena itu, guru perlu terus-menerus mengintegrasikan status profesionalnya
ini dengan pembentukan diri secara terus-menerus.
Kedua, dari sisi kebijakan dan
regulasi, pemerintah perlu memangkas berbagai macam regulasi dan birokrasi
yang membatasi kreasi dan inovasi guru dengan membuat kebijakan yang lebih
dinamis, ramah, dan membantu pengembangan profesional guru secara natural.
Berbagai peraturan rumit, seperti akreditasi, sertifikasi, uji kompetensi
guru, dan pekerjaan-pekerjaan administratif guru perlu ditinjau dan ditata
ulang. Dengan demikian, hanya aturan yang fundamental yang membantu
pembentukan kemartabatan guru sajalah yang dituntutkan oleh pemerintah
terhadap guru.
Ketiga, melawan zaman kita
tidak bisa. Yang bisa dilakukan guru adalah mengintegrasikan kemajuan zaman
itu dalam reksa profesionalnya sebagai pendidik sehingga ia tidak tergerus
oleh kemajuan zaman dan semakin ditinggalkan oleh para muridnya. Guru perlu
menanggapi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai tantangan bagi
pengukuhan kemartabatan profesinya sebagai pendidik. Di zaman yang semuanya
serba teknologi seperti sekarang, martabat profesi guru akan semakin kuat
karena hanya gurulah satu-satunya profesi yang sangat efektif membentuk karakter
melalui perjumpaan-perjumpaan yang unik, khas, dan menginspirasi yang tidak
bisa dilakukan oleh perangkat teknologi.
Mengembalikan martabat guru
menjadi langkah awal untuk menumbuhkan rasa percaya diri guru sebagai
pendidik bangsa, merealisasikan harapan masyarakat dalam merealisasikan
harapan dalam diri putra-putrinya di masa depan. Masalahnya, sanggupkah guru
mulai dari dirinya sendiri untuk mengembalikan martabat profesinya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar