Senin, 13 November 2017

Sukses

Sukses
Samuel Mulia ;  Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
                                                    KOMPAS, 12 November 2017



                                                           
Belakangan perasaan iri hati saya kambuh lagi. Perasaan iri terhadap kesuksesan orang lain dalam membangun usahanya. Bahkan ketika masa sulit seperti sekarang ini, mereka tetap masih bertahan dengan gegap gempita.

Beberapa klien saya dan seorang sahabat saya yang bekerja di hotel berbintang lima mengakui bahwa angka pendapatan mereka tahun ini jauh lebih baik daripada tahun lalu.

Tokek

Saya tak memungkiri bahwa setelah membaca surat kabar belakangan ini, beberapa perusahaan besar pun terimbas untuk menutup usahanya. Saya makin keder. Perusahaan raksasa saja bisa tumbang, bagaimana yang seukuran semut seperti usaha yang saya miliki bisa bertahan?

Semenjak iri hati dan rasa khawatir itu timbul dalam waktu yang bersamaan, maka saya mulai memanjatkan doa meminta bantuan Yang Mahakuasa untuk turut campur agar usaha saya jangan sampai gulung tikar. Mengapa baru sekarang meminta bantuannya? Karena selama ini kekhawatirannya masih bisa ditanggung sendiri.

Hidup saya selama ini yaaa. seperti itu. Kalau lagi perlu berdoa, ya saya berdoa. Kalau merasa mampu tanpa doa, yaa… saya tak berdoa. Kadang kalau sedang dalam keadaan waras, saya ini berpikir bahwa kehidupan spiritual yang saya jalani itu mirip seperti aksesori semata. Hanya sebagai pelengkap. Kadang dipakai, kadang tidak. Bergantung pada “baju” yang dikenakan.

Contohnya seperti ini. Kalau lagi di rumah ibadah ada yang nyelak mengambil tempat duduk, saya bisa memaafkan meski dongkolnya setengah mati. Kalau mendengar khotbah pendeta yang membosankan, saya bisa bertahan duduk meski sambil mengucek mata supaya tak ketiduran.

Tetapi coba, kalau ada yang menyelak di dalam kehidupan sehari-hari atau mendengar seminar dengan pembicaranya yang mendatangkan rasa bosan, Anda saya yakini tahu, apa yang akan saya lakukan.

Saya mungkin seperti seseorang yang sedang mengendarai sepeda motor yang kalaupun melakukan kesalahan, bisa lebih galak dari korbannya, dan tidak akan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Padahal, saya ini diajarkan kalau salah harus dengan berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.

Ajaran itu kalau sudah ada di rimba kota besar macam Jakarta ini, langsung hilang dari ingatan. Hajar saja dulu, mengancam saja dulu. Nah. nanti kalau sedang celaka dan sakit keras, maka baru mulai untuk minta ampun. Siklus itu terus berjalan seperti itu. Hajar, ampun, hajar, ampun. Bisa dikatakan mirip tokeklah.

Tabur “seimprit”, tuai segunung

“Makanyaaaa. hidup tuh yang bener. Mau sukses di dalam usaha itu hidup elo tuh juga mesti bener, bro….” Demikian nasihat yang disuarakan oleh seorang teman yang sekarang menjadi pendeta. Sejujurnya tak pernah terlintas di kepala kalau perbuatan saya dalam kehidupan sehari-hari itu dapat memengaruhi kesuksesan dan keberuntungan usaha yang saya jalani.

Saya selalu berpikir saya ini belum beruntung dalam usaha yang saya jalani karena tak punya bakat menjadi pengusaha, tak punya bakat menjadi pedagang. Seperti acap kali saya tuliskan, saya ini juga tidak pandai berhitung.

Saya berpikir bahwa kesuksesan sebuah usaha itu semata-mata karena aktivitas duniawi. Mengatur keuangan yang benar, modal yang cukup, strategi pemasaran yang jitu, jeli melihat peluang, dan memiliki para profesional yang bekerja secara profesional.

Tak sekalipun terlintas dalam benak saya bahwa perselingkuhan saya, kemunafikan dalam berbagai bentuk yang saya lakukan, kecerdikan dan kejelian saya menipu, ketidakhormatan saya kepada orangtua, kejelian saya melihat peluang untuk menipu, kesombongan saya yang dibungkus seperti serigala berbulu domba itu akan memengaruhi sebuah kesuksesan usaha.

Bahkan saya ini berpikir, kalau Tuhan itu tahu pasti kalau saya ini hanya manusia yang lemah dan sering jatuh dan jatuh dalam kesalahan yang sama, meski ada yang membuat pepatah jangan jatuh dalam kesalahan yang sama.

Dan, Tuhan itu pasti memaafkan kalau saya ini hanya manusia yang lemah, yang sering jatuh dan jatuh dalam rayuan dunia. Oleh karena itu, saya tak merasa bersalah menjadi manusia yang sangat kikir untuk bisa menjadi sukses dan kaya raya.

Membuang sangat sedikit untuk mendapatkan hasil yang sangat banyak. Jadi, bukan mengikuti konsep tabur tuai. Kalau menabur sedikit yaa… tuai sedikit. Saya maunya menaburnya seiprit dapatnya segunung. Mengapa saya berpikir begitu?

Karena dalam kehidupan sehari-hari, kok, kayaknya yang berselingkuh di mana-mana, yang menipu dan yang menabur seiprit-iprit tetap sukses dan tambah kaya raya. Jadi saya merasa bahwa kombinasi menjadi manusia seiprit dan strategi pemasaran serta perhitungan keuangan yang akurat, yang akan mengantar saya menuju puncak gunung.

“Woee. bisa diem enggak. Daripada elo ngabisin waktu buat nyindir melulu, mending elo bebenah diri kayak bebenah rumah aja, gih. Yang kotor dibersihin, yang gak guna dibuang. Siapa tahu abis berbenah diri usaha elo beneran bisa sukses seperti nasihat temen elo yang pendeta itu.” Demikian nasihat nurani bawel yang tiba-tiba nimbrung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar