Jumat, 03 November 2017

Saatnya Genjot Sisi Permintaan

Saatnya Genjot Sisi Permintaan
M Ikhsan Modjo  ;   Technical Advisor pada UNDP
                                                    KOMPAS, 02 November 2017



                                                           
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berumur tiga tahun pada Oktober 2017 ini. Berbagai kebijakan berorientasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pun telah dilakukan oleh pemerintah.

Memasuki dua tahun terakhir pemerintahan Kabinet Kerja, tidak ada salahnya sebuah evaluasi kritis dari berbagai capaian yang ada dilakukan sebagai bahan masukan untuk perbaikan ke depan. Dalam hal ini, penilaian yang dilakukan pada tulisan ini tidak bersifat komprehensif. Ia hanya akan menyorot beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia yang menjadi standar acuan dalam menilai kinerja perekonomian suatu negara.

Indikator makroekonomi

Begitu juga, beberapa indikator statistik yang disampaikan tidak bisa diatribusikan semata kepada kebijakan pemerintah. Ada banyak faktor domestik dan eksternal lain yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh Presiden. Beberapa bahkan juga merupakan warisan atau hasil dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Berikut uraian dan evaluasi dari indikator tersebut.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang sehat, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah. Perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5,1 persen di 2017, atau meningkat rata-rata 5 persen per tahun selama tiga tahun terakhir. Angka ini tergolong tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura (2,5 persen), Malaysia (4,8 persen), atau Thailand (3,5 persen), tetapi lebih rendah ketimbang laju pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai rata-rata 6-7 persen per tahun. Pelemahan ini disebabkan melemahnya tingkat pengeluaran secara umum, terutama pengeluaran pembentukan modal dan konsumsi.

Lantas bagaimana tingkat pertumbuhan ekonomi beberapa tahun ke depan? Perekonomian Indonesia diperkirakan akan tetap tumbuh secara sehat walau peningkatannya terjadi secara perlahan ke angka 5,2 persen pada 2018 dan 5,3 persen di 2019. Peningkatan ini terjadi seiring membaiknya pengeluaran investasi dan pembentukan kapital domestik. Pertumbuhan juga akan tetap terjaga setidaknya di kisaran 5 persen seiring membaiknya fundamental ekonomi makro Indonesia akibat reformasi struktural dan deregulasi kebijakan yang terus dilakukan pemerintah. Hal lain yang bersifat kondusif adalah perbaikan ekonomi di beberapa negara besar, seperti AS dan negara-negara di Uni Eropa yang dapat menunjang perekonomian domestik tumbuh lebih pesat.

Kedua, perbaikan iklim investasi dan pembangunan infrastruktur: Selain implementasi dari beberapa kebijakan deregulasi, perbaikan pengeluaran investasi juga didorong oleh prioritas pada pembangunan infrastruktur yang diterapkan Presiden Jokowi. Investasi yang yang dilakukan pemerintah pada pembangunan infrastruktur berfungsi sebagai pelatuk yang kemudian memiliki efek pengganda (multiplier effect) bagi pengeluaran investasi lain dari pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri.

Pembangunan infrastruktur akan meningkatkan kapasitas potensial perekonomian yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi di masa depan. Namun, dampaknya pada konsumsi masyarakat tak akan terjadi secara instan. Hal ini dikarenakan pembangunan infrastruktur lebih berpengaruh pada sisi penawaran (supply side) ketimbang sisi permintaan (demand side) dari perekonomian. Ia berdampak secara tak langsung dan memiliki jeda waktu sebelum bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Demikian pula, banyak dari pembangunan infrastruktur ini baru saja dimulai atau akan berakhir pembangunannya pada penghujung 2018 dan 2019.

Ketiga, defisit anggaran dan utang pemerintah. Pemerintahan Jokowi diperkirakan akan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2017. Angka tersebut merupakan yang tertinggi selama 17 tahun terakhir. Defisit tertinggi sebelumnya sebesar 3,7 persen dari PDB, tercatat pada APBN 2001. Secara sederhana ini artinya telah terjadi kondisi ”lebih besar pasak daripada tiang” pada keuangan negara.

Membengkaknya defisit APBN sesungguhnya tak mengherankan mengingat besarnya alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur, yang meningkat rata-rata 25 persen per tahun dari Rp 177,9 triliun pada 2014 menjadi Rp 387,3 triliun pada 2017. Di sisi lain, kemampuan pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara cenderung menurun. Penerimaan negara meningkat sangat pelan bahkan cenderung stagnan. Rasio pajak terhadap PDB dalam tiga tahun terakhir menurun.

Solusi bagi pembengkakan defisit yang diambil pemerintahan Jokowi adalah membiayai dengan utang. Sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi, utang negara meningkat Rp 1,261 triliun dari Rp 2,604 triliun akhir 2014 menjadi Rp 3,867 triliun pada September 2017, meningkat hampir 34,8 persen. Dalam 2-3 tahun ke depan pembesaran jumlah utang agaknya tak terelakkan seiring masih lemahnya kemampuan penerimaan negara dan belum optimalnya upaya penggalian alternatif pembiayaan pembangunan oleh pemerintah.

Keempat, inflasi dan nilai tukar. Tingkat inflasi yang mengukur seberapa cepat harga-harga meningkat cenderung mengalami penurunan selama tiga tahun Presiden Jokowi memerintah. Pada tahun pertama di 2014 inflasi mencapai puncaknya selama delapan tahun sebesar 8,36 persen akibat tingginya harga minyak mentah global. Inflasi kemudian turun drastis ke angka 3,35 persen pada 2015 dan 3,02 persen pada 2016. Pada 2017, inflasi diperkirakan kembali turun di bawah angka 3,00 persen.

Selain faktor harga minyak dan komoditas global, melemahnya inflasi domestik juga diakibatkan oleh masih lemahnya pertumbuhan kredit dan tingkat permintaan konsumsi dalam negeri. Stimulus moneter melalui penurunan suku bunga dasar yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dalam beberapa waktu terakhir, serta peningkatan konsumsi pemerintah, akan sedikit meningkatkan inflasi pada dua tahun ke depan. Namun, peningkatan inflasi ini tidak akan terjadi secara drastis dan masih di bawah kisaran 1 persen atau di atas 3,5 persen sebagaimana ditargetkan oleh BI.

Pekerjaan rumah

Sebagaimana halnya inflasi, nilai tukar rupiah cenderung melemah selama tiga tahun pemerintahan Jokowi. Dari sebelumnya berada di rentang Rp 10.000-Rp 12.000 per dollar AS pada 2010-2014, nilai tukar rupiah kini berada di kisaran Rp 13.500 dollar AS selama 2017. Rupiah bahkan pernah mencapai angka Rp 14.693 per dollar AS pada akhir 2015—nilai tukar rupiah terendah sejak krisis moneter pada 1997-1998.

Penyebab utama dari melemahnya nilai tukar rupiah adalah peningkatan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang telah terjadi selama tiga kali sejak Desember 2016. Hal ini membuat investasi di AS menjadi lebih menguntungkan bagi investor, yang menukarkan rupiahnya dengan dollar AS dan membuat jatuhnya nilai tukar uang dalam negeri. Nilai tukar rupiah diperkirakan akan mengalami pelemahan lebih lanjut dalam dua tahun ke depan seiring akan adanya peningkatan suku bunga lanjutan oleh Bank Sentral AS pada akhir tahun ini dan di 2018. Peningkatan suku bunga Bank Sentral AS bahkan diperkirakan akan terjadi sebanyak tiga kali pada 2018 untuk mengimbangi pemanasan mesin perekonomian AS. Di satu sisi, pelemahan rupiah akan meningkatkan harga barang impor, di sisi lain ia juga meningkatkan penerimaan dalam negeri dalam dollar AS, seperti sektor pariwisata dan ekspor komoditas.

Kelima, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang belum beranjak dari kisaran 5 persen, kemampuan ekonomi menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan juga belum optimal. Angka pengangguran terbuka nasional memang terus menurun ke angka 5,33 persen dari angkatan kerja di 2017. Namun, elastisitas pertumbuhan terhadap pembukaan lapangan kerja baru produktif hanya mencapai kisaran 200.000-an, jauh dari kebutuhan nasional dan pertumbuhan demografi yang butuh ketersediaan 1 juta lapangan kerja produktif.

Pertumbuhan ekonomi yang tersendat di angka 5 persen juga mengakibatkan penurunan angka kemiskinan yang jauh dari harapan. Angka kemiskinan nasional saat ini masih berada di angka 10,64 persen atau 27,77 juta jiwa penduduk Indonesia berada pada kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin bahkan sempat meningkat sedikit 6.900 orang antara September 2016-Maret 2017 akibat implementasi kebijakan yang terlambat. Ujung dari penyerapan angkatan kerja dan pengurangan kemiskinan yang melambat ini adalah belum idealnya penurunan angka ketimpangan atau tingkat distribusi pendapatan masyarakat. Angka ketimpangan masih tergolong tinggi dengan rasio gini sebesar 0,393 pada 2017, atau turun sedikit dari puncaknya sebesar 0,414 di semester II-2014. Masih tingginya angka ketimpangan serta vitalitas pertumbuhan konsumsi yang rendah juga adalah alasan dari daya beli masyarakat yang tertekan.

Sebagai kesimpulan dari uraian di atas, Presiden Jokowi telah mampu mengelola biduk perekonomian Indonesia selama tiga tahun pemerintahannya dengan baik, ditandai oleh fundamental perekonomian yang cukup kuat. Fokus Presiden pada pembangunan infrastruktur telah mampu menggairahkan kembali investasi dan pembentukan modal yang sebelumnya terhambat akibat defisit infrastruktur yang besar. Terobosan pada supply side economy Jokowi melalui pembangunan infrastruktur secara masif juga membuka ruang dan potensi pertumbuhan lebih besar beberapa tahun ke depan.

Namun, memasuki dua tahun terakhir masa jabatan Jokowi-Kalla, pemerintah perlu mewaspadai berbagai tren ekonomi nasional dan global yang muncul: porsi belanja infrastruktur pemerintah yang besar serta tingkat penerimaan negara yang tak kunjung membaik akan kian menekan anggaran negara dan meningkatkan jumlah utang yang dibutuhkan. Dari sisi global, kenaikan bunga Bank Sentral AS dapat mendepresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut dan meningkatkan defisit neraca pembayaran dengan terhadangnya arus investasi.

Dalam jangka pendek, imbas dari tren itu adalah stagnannya pertumbuhan konsumsi dan daya beli masyarakat. Satu hal yang disebabkan ramifikasi dari agresivitas upaya peningkatan perpajakan dan belanja infrastruktur yang berakibat netral bahkan cenderung negatif terhadap sisi permintaan dari perekonomian. Dampak turunan lebih lanjutnya adalah kian melemahnya upaya penciptaan lapangan kerja produktif, pengurangan kemiskinan, dan pemerataan ketimpangan pendapatan. Minimnya lapangan kerja produktif, kemiskinan serta ketimpangan akan menjadi bom waktu sosial yang letupan sesungguhnya sudah mulai dirasakan. Karena itu, menjadi imperatif bagi Jokowi untuk mulai mengalihkan fokusnya pada manajemen sisi permintaan dari perekonomian pada masa dua tahun ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar