Saatnya
Genjot Sisi Permintaan
M Ikhsan Modjo ; Technical Advisor pada
UNDP
|
KOMPAS,
02 November
2017
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla berumur tiga tahun pada Oktober 2017 ini. Berbagai kebijakan
berorientasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pun telah
dilakukan oleh pemerintah.
Memasuki dua tahun terakhir
pemerintahan Kabinet Kerja, tidak ada salahnya sebuah evaluasi kritis dari
berbagai capaian yang ada dilakukan sebagai bahan masukan untuk perbaikan ke
depan. Dalam hal ini, penilaian yang dilakukan pada tulisan ini tidak
bersifat komprehensif. Ia hanya akan menyorot beberapa indikator kunci
perekonomian Indonesia yang menjadi standar acuan dalam menilai kinerja
perekonomian suatu negara.
Indikator makroekonomi
Begitu juga, beberapa indikator
statistik yang disampaikan tidak bisa diatribusikan semata kepada kebijakan
pemerintah. Ada banyak faktor domestik dan eksternal lain yang tidak
sepenuhnya bisa dikendalikan oleh Presiden. Beberapa bahkan juga merupakan
warisan atau hasil dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Berikut uraian dan
evaluasi dari indikator tersebut.
Pertama, pertumbuhan ekonomi
yang sehat, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah. Perekonomian Indonesia
diperkirakan tumbuh 5,1 persen di 2017, atau meningkat rata-rata 5 persen per
tahun selama tiga tahun terakhir. Angka ini tergolong tinggi dibandingkan
negara-negara tetangga di ASEAN, seperti Singapura (2,5 persen), Malaysia
(4,8 persen), atau Thailand (3,5 persen), tetapi lebih rendah ketimbang laju
pertumbuhan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai rata-rata 6-7 persen per
tahun. Pelemahan ini disebabkan melemahnya tingkat pengeluaran secara umum,
terutama pengeluaran pembentukan modal dan konsumsi.
Lantas bagaimana tingkat
pertumbuhan ekonomi beberapa tahun ke depan? Perekonomian Indonesia
diperkirakan akan tetap tumbuh secara sehat walau peningkatannya terjadi
secara perlahan ke angka 5,2 persen pada 2018 dan 5,3 persen di 2019. Peningkatan
ini terjadi seiring membaiknya pengeluaran investasi dan pembentukan kapital
domestik. Pertumbuhan juga akan tetap terjaga setidaknya di kisaran 5 persen
seiring membaiknya fundamental ekonomi makro Indonesia akibat reformasi
struktural dan deregulasi kebijakan yang terus dilakukan pemerintah. Hal lain
yang bersifat kondusif adalah perbaikan ekonomi di beberapa negara besar,
seperti AS dan negara-negara di Uni Eropa yang dapat menunjang perekonomian
domestik tumbuh lebih pesat.
Kedua, perbaikan iklim
investasi dan pembangunan infrastruktur: Selain implementasi dari beberapa
kebijakan deregulasi, perbaikan pengeluaran investasi juga didorong oleh
prioritas pada pembangunan infrastruktur yang diterapkan Presiden Jokowi.
Investasi yang yang dilakukan pemerintah pada pembangunan infrastruktur
berfungsi sebagai pelatuk yang kemudian memiliki efek pengganda (multiplier effect) bagi pengeluaran
investasi lain dari pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri.
Pembangunan infrastruktur akan
meningkatkan kapasitas potensial perekonomian yang akan mendorong pertumbuhan
ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi di masa depan. Namun, dampaknya pada
konsumsi masyarakat tak akan terjadi secara instan. Hal ini dikarenakan
pembangunan infrastruktur lebih berpengaruh pada sisi penawaran (supply side) ketimbang sisi permintaan
(demand side) dari perekonomian. Ia
berdampak secara tak langsung dan memiliki jeda waktu sebelum bisa dirasakan
manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Demikian pula, banyak dari
pembangunan infrastruktur ini baru saja dimulai atau akan berakhir
pembangunannya pada penghujung 2018 dan 2019.
Ketiga, defisit anggaran dan
utang pemerintah. Pemerintahan Jokowi diperkirakan akan mencatat defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 2,9 persen dari Produk
Domestik Bruto (PDB) pada 2017. Angka tersebut merupakan yang tertinggi
selama 17 tahun terakhir. Defisit tertinggi sebelumnya sebesar 3,7 persen
dari PDB, tercatat pada APBN 2001. Secara sederhana ini artinya telah terjadi
kondisi ”lebih besar pasak daripada tiang” pada keuangan negara.
Membengkaknya defisit APBN
sesungguhnya tak mengherankan mengingat besarnya alokasi anggaran untuk
pembangunan infrastruktur, yang meningkat rata-rata 25 persen per tahun dari
Rp 177,9 triliun pada 2014 menjadi Rp 387,3 triliun pada 2017. Di sisi lain,
kemampuan pemerintah untuk menggenjot penerimaan negara cenderung menurun.
Penerimaan negara meningkat sangat pelan bahkan cenderung stagnan. Rasio
pajak terhadap PDB dalam tiga tahun terakhir menurun.
Solusi bagi pembengkakan
defisit yang diambil pemerintahan Jokowi adalah membiayai dengan utang.
Sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi, utang negara meningkat Rp 1,261
triliun dari Rp 2,604 triliun akhir 2014 menjadi Rp 3,867 triliun pada
September 2017, meningkat hampir 34,8 persen. Dalam 2-3 tahun ke depan
pembesaran jumlah utang agaknya tak terelakkan seiring masih lemahnya
kemampuan penerimaan negara dan belum optimalnya upaya penggalian alternatif
pembiayaan pembangunan oleh pemerintah.
Keempat, inflasi dan nilai
tukar. Tingkat inflasi yang mengukur seberapa cepat harga-harga meningkat
cenderung mengalami penurunan selama tiga tahun Presiden Jokowi memerintah.
Pada tahun pertama di 2014 inflasi mencapai puncaknya selama delapan tahun
sebesar 8,36 persen akibat tingginya harga minyak mentah global. Inflasi
kemudian turun drastis ke angka 3,35 persen pada 2015 dan 3,02 persen pada
2016. Pada 2017, inflasi diperkirakan kembali turun di bawah angka 3,00
persen.
Selain faktor harga minyak dan
komoditas global, melemahnya inflasi domestik juga diakibatkan oleh masih
lemahnya pertumbuhan kredit dan tingkat permintaan konsumsi dalam negeri.
Stimulus moneter melalui penurunan suku bunga dasar yang dilakukan Bank
Indonesia (BI) dalam beberapa waktu terakhir, serta peningkatan konsumsi
pemerintah, akan sedikit meningkatkan inflasi pada dua tahun ke depan. Namun,
peningkatan inflasi ini tidak akan terjadi secara drastis dan masih di bawah
kisaran 1 persen atau di atas 3,5 persen sebagaimana ditargetkan oleh BI.
Pekerjaan rumah
Sebagaimana halnya inflasi,
nilai tukar rupiah cenderung melemah selama tiga tahun pemerintahan Jokowi.
Dari sebelumnya berada di rentang Rp 10.000-Rp 12.000 per dollar AS pada
2010-2014, nilai tukar rupiah kini berada di kisaran Rp 13.500 dollar AS
selama 2017. Rupiah bahkan pernah mencapai angka Rp 14.693 per dollar AS pada
akhir 2015—nilai tukar rupiah terendah sejak krisis moneter pada 1997-1998.
Penyebab utama dari melemahnya
nilai tukar rupiah adalah peningkatan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed)
yang telah terjadi selama tiga kali sejak Desember 2016. Hal ini membuat
investasi di AS menjadi lebih menguntungkan bagi investor, yang menukarkan
rupiahnya dengan dollar AS dan membuat jatuhnya nilai tukar uang dalam
negeri. Nilai tukar rupiah diperkirakan akan mengalami pelemahan lebih lanjut
dalam dua tahun ke depan seiring akan adanya peningkatan suku bunga lanjutan
oleh Bank Sentral AS pada akhir tahun ini dan di 2018. Peningkatan suku bunga
Bank Sentral AS bahkan diperkirakan akan terjadi sebanyak tiga kali pada 2018
untuk mengimbangi pemanasan mesin perekonomian AS. Di satu sisi, pelemahan
rupiah akan meningkatkan harga barang impor, di sisi lain ia juga
meningkatkan penerimaan dalam negeri dalam dollar AS, seperti sektor
pariwisata dan ekspor komoditas.
Kelima, pengangguran,
kemiskinan, dan ketimpangan. Sebagai konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi
yang belum beranjak dari kisaran 5 persen, kemampuan ekonomi menyerap tenaga
kerja dan mengurangi kemiskinan juga belum optimal. Angka pengangguran
terbuka nasional memang terus menurun ke angka 5,33 persen dari angkatan
kerja di 2017. Namun, elastisitas pertumbuhan terhadap pembukaan lapangan
kerja baru produktif hanya mencapai kisaran 200.000-an, jauh dari kebutuhan
nasional dan pertumbuhan demografi yang butuh ketersediaan 1 juta lapangan
kerja produktif.
Pertumbuhan ekonomi yang
tersendat di angka 5 persen juga mengakibatkan penurunan angka kemiskinan
yang jauh dari harapan. Angka kemiskinan nasional saat ini masih berada di
angka 10,64 persen atau 27,77 juta jiwa penduduk Indonesia berada pada
kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin bahkan sempat meningkat sedikit
6.900 orang antara September 2016-Maret 2017 akibat implementasi kebijakan
yang terlambat. Ujung dari penyerapan angkatan kerja dan pengurangan
kemiskinan yang melambat ini adalah belum idealnya penurunan angka
ketimpangan atau tingkat distribusi pendapatan masyarakat. Angka ketimpangan
masih tergolong tinggi dengan rasio gini sebesar 0,393 pada 2017, atau turun
sedikit dari puncaknya sebesar 0,414 di semester II-2014. Masih tingginya
angka ketimpangan serta vitalitas pertumbuhan konsumsi yang rendah juga
adalah alasan dari daya beli masyarakat yang tertekan.
Sebagai kesimpulan dari uraian
di atas, Presiden Jokowi telah mampu mengelola biduk perekonomian Indonesia
selama tiga tahun pemerintahannya dengan baik, ditandai oleh fundamental
perekonomian yang cukup kuat. Fokus Presiden pada pembangunan infrastruktur
telah mampu menggairahkan kembali investasi dan pembentukan modal yang
sebelumnya terhambat akibat defisit infrastruktur yang besar. Terobosan pada
supply side economy Jokowi melalui pembangunan infrastruktur secara masif
juga membuka ruang dan potensi pertumbuhan lebih besar beberapa tahun ke
depan.
Namun, memasuki dua tahun
terakhir masa jabatan Jokowi-Kalla, pemerintah perlu mewaspadai berbagai tren
ekonomi nasional dan global yang muncul: porsi belanja infrastruktur
pemerintah yang besar serta tingkat penerimaan negara yang tak kunjung
membaik akan kian menekan anggaran negara dan meningkatkan jumlah utang yang
dibutuhkan. Dari sisi global, kenaikan bunga Bank Sentral AS dapat
mendepresiasi nilai tukar rupiah lebih lanjut dan meningkatkan defisit neraca
pembayaran dengan terhadangnya arus investasi.
Dalam jangka pendek, imbas dari
tren itu adalah stagnannya pertumbuhan konsumsi dan daya beli masyarakat.
Satu hal yang disebabkan ramifikasi dari agresivitas upaya peningkatan
perpajakan dan belanja infrastruktur yang berakibat netral bahkan cenderung
negatif terhadap sisi permintaan dari perekonomian. Dampak turunan lebih
lanjutnya adalah kian melemahnya upaya penciptaan lapangan kerja produktif,
pengurangan kemiskinan, dan pemerataan ketimpangan pendapatan. Minimnya
lapangan kerja produktif, kemiskinan serta ketimpangan akan menjadi bom waktu
sosial yang letupan sesungguhnya sudah mulai dirasakan. Karena itu, menjadi
imperatif bagi Jokowi untuk mulai mengalihkan fokusnya pada manajemen sisi
permintaan dari perekonomian pada masa dua tahun ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar