Penataan
PTS
Elfindri ; Profesor Ekonomi SDM
Unand; Koordinator Kopertis 2008-2010
|
KOMPAS,
02 November
2017
Wacana penataan internal
manajemen perguruan tinggi melalui penggabungan perguruan tinggi swasta
merupakan tahap awal pembinaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi. Namun, menggabungkan tak akan mangkus dari segi falsafah
berdirinya setiap PTS dulu kalanya.
Tak ada kata pasti berapa
banyak jumlah perguruan tinggi (PT) yang ideal dalam sebuah negara. Dari
jumlah yang ada saat ini, capaian angka partisipasi murni (APM) PT masih 31
persen, jauh dari yang sudah dicapai negara sekelas Korea Selatan dan Jepang
di atas 60 persen.
Perguruan tinggi swasta (PTS)
memang jadi sorotan penting mengingat keberadaannya mengusik logika dari
berbagai sudut pandang. Persebaran lokasi keberadaannya tidak merata antar-
pulau-pulau utama. Di Jawa banyak jumlahnya, sementara luar Jawa jarang, yang
jadi salah satu pemicu migrasi calon mahasiswa dari luar Jawa ke Jawa.
Keberadaan jurusan yang
tersedia dengan yang dibutuhkan juga belum seimbang. Penyelenggaraan bidang
keilmuan yang bergelar (S-1) banyak, sementara penyelenggara pendidikan
kepoliteknikan terbatas dan dapat dihitung dengan jari. Capaian akreditasi
baik (B dan A) masih terbatas, dan yang banyak itu tidak terakreditasi atau
akreditasi C. Jauh lebih penting lagi adalah jaminan ”mutu” untuk sebanyak 70
persen anak muda yang menggantungkan cita-cita masa depannya.
Jumlah PTS melebihi angka 4.043
dan PTN sebanyak 370. Ini telah membuat wacana semakin menggelinding agar PTS
dikurangi. Wakil Presiden Jusuf Kalla termasuk yang memandang bahwa
penggabungan antarinstitusi PTS sangat diperlukan agar lebih efisien dari
sisi pandang bisnis. Namun, implementasinya tidak mudah.
Masa depan mahasiswa
Boleh saja beberapa PTS
digabungkan, tetapi mesti didasari atas berbagai pemenuhan kepentingan.
Kepentingan masa depan mahasiswa dapat dalam bentuk perbaikan efisiensi eksternal, yang dilihat dari
keterpakaian para alumnus dengan masa tunggu waktu yang lebih pendek masuk ke
pasar kerja.
Memperpendek masa tunggu waktu
kerja berupa pengembangan kemandirian bekerja jauh lebih perlu. Apa pun
kondisi eksternal pasar kerja dan ekonomi di daerah-daerah, PTS mesti segera
melakukan koreksi diri. Dimensi keperluan pasar kerja apa yang berubah
berimplikasi pada penyesuaian kurikulum dan metode pembelajaran apa yang
seharusnya diperoleh mahasiswa selama perkuliahan.
Orientasi keilmuan akan
melahirkan manusia-manusia yang cerdik, pintar, dan cepat dalam mengambil
keputusan. PTS sewaktu awal berdiri umumnya mengajukan pembukaan jurusan
berorientasi keilmuan, banyak peminat, mudah dikelola, sedikit biaya
laboratorium. Padahal, dilema yang dirasakan adalah untuk menguatkan keilmuan
sangat bergantung pada penyediaan dosen yang telah menempuh jenjang
pendidikan lanjutan minimal S-2, dan tentunya bermutu dan profesional.
Menyediakan dosen memerlukan
investasi yang tidak sedikit dan tidak mudah, jangka panjang, serta menjadi
kendala utama selama ini. PTS mengakal-akalinya dalam menyediakan dosen.
Akhirnya dosen tidak tersedia secara memadai. Kepercayaan masyarakat semakin
kurang, dan berbagai jurusan ditinggalkan oleh masyarakat.
Sementara untuk memenuhi
jurusan yang orientasinya memenuhi keterampilan, peserta didik memerlukan
dosen dan laboratorium yang mahal. Pendiriannya terkendala dan pengelolaannya
menjadi tidak layak.
Menggabungkan PTS-PTS tidaklah
sesuatu yang mungkin karena pendirinya berbeda-beda dalam tujuan. Pengalaman
di Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X, banyak PTS yang
berorientasi bisnis, ada yang berorientasi sejarah, ada yang berorientasi
penyediaan ruang belajar murni sosial keagamaan. Aset mereka berbeda satu
sama lainnya. Alhasil, proses auditnya akan kompleks. Karena itu, Kemristek
dan Dikti mesti menyiapkan skenario dan konsepsi yang jelas dan matang untuk
menata kembali PTS ini.
Pematangan konsep
Empat hal yang dapat
dikondisikan agar PTS yang ada sekarang eksistensinya tidak merugikan peserta
didik. Pertama, PTS didorong untuk memastikan dan mengoreksi kembali misi
keberadaannya. Tidak salah misi untuk menyediakan pendidikan yang mengarah
pada vokasi dibandingkan bertahan pada misi untuk menyediakan pendidikan
keilmuan, tetapi mesti dirumuskan oleh kalangan internal PTS secara jelas.
Proses pembinaan dapat dilakukan selama selang lima tahun ke depan melalui
fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan Kopertis setempat. Mereka
ditempatkan di Kopertis-kopertis untuk memperbesar fungsi pembinaan Kopertis
yang dirasa mandul selama ini.
Kedua, Kemristek dan Dikti
dapat menyusun terlebih dahulu stereotip PTS yang akan menjadi binaan di
kemudian hari. Idealnya PTS-PTS yang sulit berkembang selama ini sebaiknya
mendaftar kembali untuk ikut program francechise, mirip yang dikembangkan
Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia. Di sana pembentukan MARA Institute,
tempat di mana mahasiswa bisa belajar program vokasi.
Ketiga, untuk mewujudkannya,
sejumlah envelope pendanaan dapat disediakan secara kompetitif. Pendanaan
yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan program new vocational
development project (NVDP). Tawaran ini ditujukan kepada PTS-PTS di
daerah-daerah sambil disediakan pendampingan manajemen dan tenaga ahli.
Keempat, mengakomodasi
pembukaan program yang sangat diperlukan di daerah-daerah. Seperti pesan
Presiden Joko Widodo, mengapa jurusan di ekonomi hanya tiga (manajemen, ilmu
ekonomi, dan akuntansi), padahal e-dagang jadi kebutuhan, dan tidak satu pun
yang menyelenggarakan program studi (prodi) itu. Pendiriannya tentu dengan
memedomani daftar program studi dan jurusan yang langka dan diperlukan.
Sebaliknya, juga memastikan penutupan prodi-prodi yang menjadi beban yayasan
selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar