Buang
Pikiran Rasis
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
02 November
2017
Diferensiasi ras manusia yang
kodrati bukan untuk dilecehkan. Pelecehan terhadap ciri fisik manusia adalah
pandangan rasis. Rupanya pandangan seperti itu terus berkembang hingga
sekarang. Padahal, zaman sudah digital dan supercanggih. Generasinya pun
sudah milenial yang superkreatif. Maka, ketika mendengar kabar ada seorang
bocah siswa SD Negeri 16 Pekayon, Jakarta Timur, berinisial JS mengalami
perundungan (di-bully) dengan cara dipanggil “mirip Ahok” karena bermata
sipit, inilah cara pandang manusia tribal yang tersekat-sekat dengan ciri
fisik, ras, kesukuan, dan sektarian.
Runyamnya lagi pelaku
perundungan itu adalah temannya sendiri sesama bocah. Mereka adalah
tunas-tunas muda bangsa ini. Kalau sejak dini di dalam pikiran mereka tumbuh
cara pandang yang diskriminatif, apa kata dunia kelak?
Tetapi, apa yang terjadi pada
anak-anak itu sesungguhnya representasi pikiran umum yang terjadi sekarang
ini. Anak-anak sangat imitatif terhadap cara pandang orang dewasa. Kalau mau
ditarik lebih jauh, kasus perundungan di atas adalah satu titik dari dampak
ruang publik (politik) selama ini. Kepala Polres Jakarta Timur Komisaris
Besar Andry Wibowo saja mengimbau agar orangtua hingga elite politik memberi
contoh baik terhadap anak-anak.
Di ruang publik memang banyak
contoh buruk yang ditonton langsung anak-anak kita. Bayangkan, di era
keterbukaan dengan teknologi dan cara berkomunikasi yang canggih, informasi
bohong (hoaks) pun “dipercaya”, terlebih mereka yang punya motif politik.
Panggung politik lebih
mempertontonkan rivalitas sengit di antara elite politik. Demokrasi bukan
lagi pertarungan sportif yang siap menang-siap kalah, melainkan saling
menjatuhkan. Beda kubu politik langsung saling hujat, hingga menyangkut SARA
(suku, agama, ras, dan antargolongan). Jauh dari demokrasi agonistik yang
sangat menekankan pada dimensi pluralisme.
Dua contoh klasik, Pilpres 2014
dan Pilkada DKI Jakarta 2017, adalah wajah demokrasi yang garang. Rivalitas
elite berujung pada polarisasi sosial akut yang berlangsung hingga hari ini.
Panggung politik (orang dewasa) banyak mempertontonkan dagelan politik hingga
sikap-sikap rasis dan sektarian. Maka, ibarat peribahasa, “kalau guru kencing
berdiri, maka murid akan kencing berlari”. Semoga hal ini tidak terjadi pada
pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.
Dan, kasus perundungan yang
dialami bocah SD itu seperti pukulan telak ketika pekan lalu kita
memperingati Hari Sumpah Pemuda. Spirit Sumpah Pemuda yang diucapkan pada 28
Oktober 1928 adalah menemukan kesamaan di antara perbedaan. Sumpah Pemuda
adalah tonggak peradaban bangsa. Para pemuda zaman pergerakan mampu
mendirikan bangunan “Indonesia” dari pilar-pilar keragaman pulau, suku,
agama, ras, ideologi politik, organisasi pergerakan. Mereka menemukan
“Indonesia” sebagai identitas nasional sekaligus ruang hidup bersama.
Kalau sekarang, justru ada
gejala yang hendak memberaikan ruang hidup bersama itu. Inilah ancaman
bangsa. Karena itu, kita harus melindungi anak-anak-korban maupun pelaku
perundungan-dari pikiran-pikiran rasis yang diskriminatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar