Revisi
Perppu Ormas
Danang Aziz Akbarona ; Peneliti Institute For
Social, Law,
and Humanities Studies
(ISLAH)
|
KORAN
SINDO, 04 November 2017
PERPPU No 2/2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) telah disahkan menjadi undang-undang dalam
Rapat Paripurna DPR RI 24 Oktober 2017. Betapapun sebagian pihak merasa
kecewa terhadap pengesahan perppu ini, masih ada ruang yang dimungkinkan
untuk menggugat perppu, yaitu melalui judicial review (JR) ke Mahkamah
Konstitusi.
Sejumlah elemen masyarakat
menyatakan siap untuk melakukan JR ke MK, bahkan salah satu ormas Islam
terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, turut mengonfirmasi rencana untuk JR
tersebut. Muhammadiyah memang sejak awal bersikap kritis dan mengemukakan
ketidaksetujuannya terhadap Perppu. Bleid ini dinilai tidak memenuhi unsur
kegentingan yang memaksa, sebaliknya berbahaya bagi masa depan demokrasi dan
eksistensi negara hukum.
Terima
tapi dengan Revisi
Sesuai ketentuan UUD 1945
jo UU No 12/2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa perppu harus mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. DPR sendiri
hanya memiliki dua pilihan, yaitu memberikan persetujuan (menerima) atau
tidak memberikan persetujuan (menolak) (Vide: Pasal 52). Uniknya pada saat
pengesahan perppu yang lalu terdapat tiga fraksi (Demokrat, PKB, dan PPP)
yang menerima dengan syarat: Perppu harus segera direvisi begitu disahkan
menjadi undang-undang. Bahkan, salah satu fraksi mengancam jika tidak ada
jaminan revisi maka fraksi tersebut tegas akan menolak. Hasil lobi akhirnya
menegaskan 7 fraksi dan pemerintah menerima perppu dengan kompromi akan
dilakukan revisi segera setelah perppu disahkan.
Sikap ini tentu saja
merupakan anomali dan kerancuan tersendiri dalam pengesahan perppu di DPR
kemarin. Dengan sikap itu, publik bisa menangkap kesan bahwa sejatinya
fraksi-fraksi dan pemerintah juga menganggap perppu bermasalah, hanya ‘tak
kuasa’ untuk menolaknya dengan berbagai dalih dan kepentingan politik
masing-masing. Normalnya, kalau dinilai bermasalah, ya ditolak saja (atau sebaliknya tegas
menyetujui perppu).
Apa pun dalilnya, publik
tidak perlu terlalu fokus pada anomali tersebut. Saat ini yang penting adalah
selain menempuh JR ke MK publik perlu memastikan perppu yang kini telah jadi
undang-undang itu direvisi segera. Biarlah polemik revisi atas perppu itu
dikaji para ahli hukum tata negara, yang penting bagi publik pasal-pasal yang
mengancam demokrasi dan hak-hak sipil, termasuk eksistensi negara hukum
terkoreksi segera.
Pasal
yang Mengancam
Secara umum terdapat dua
kekhawatiran (atau ancaman) atas terbitnya Perppu 2/2017. Pertama, ancaman
terhadap demokrasi (hak berserikat dan berkumpul, termasuk kritisisme
masyarakat). Kedua, ancaman terhadap supremasi hukum atau due process of law.
Perppu menganulir UU 17/
2013 terkait proses pembubaran ormas yang ditempuh melalui pengadilan.
Menurut UU 17/ 2013, pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum
setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
mengenai pembubaran ormas berbadan hukum, dan terhadap putusan pengadilan
negeri tersebut dapat diajukan upaya hukum kasasi. Sementara itu, perppu
memberikan kewenangan mutlak kepada pemerintah untuk memberikan sanksi
pembubaran ormas pelanggar aturan tanpa melalui proses peradilan.
Semua orang mafhum
pentingnya proses peradilan dalam pencabutan hak konstitusional warga negara.
Hal ini dimaksudkan untuk menjamin due process of law atau jaminan keadilan
bagi warga negara yang dituduh melanggar hukum. Inilah konsekuensi dari
pilihan kita sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (machstaat)
(Vide: UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3).
Hal ini untuk menjamin
kesetaraan hubungan antara negara yang diperankan oleh apparatus dan warganya
sehingga mereka (representasi negara) tidak bisa berlaku sewenang-wenang
terhadap warga negara.
Berbeda dengan UU 17/ 2013
yang memberikan ruang persuasif dialogis bagi ormas yang dinilai bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 melalui peringatan bertahap dan pembinaan,
Perppu memangkas ruang itu sehingga langsung pada proses pencabutan status
badan hukum (pembubaran). Hal ini bertolak belakang dengan semangat kita
untuk semakin matang dalam berdemokrasi. Demokrasi yang matang ditandai
dengan semakin terbukanya pintu dialog sehingga perbedaan sikap dan pandangan
dapat didiskusikan dengan kepala dingin.
Pasal-pasal perppu
menghapus prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi di atas, sehingga wajar
jika banyak tuduhan bahwa ini semua bukan soal ‘kegentingan yang memaksa’,
tapi soal ketidakmauan atau sekurang-kurangnya ketidaksabaran Pemerintah
menanggung konsekuensi UU 17/2013. Dus, semangat perppu semakin menjauhkan
kita (set back) dari cita-cita reformasi yang melawan sistem otoriter
(sewenang-wenang).
Reformasi menghendaki satu
sistem demokrasi yang menekankan proses dialogis untuk mencapai konsensus
dalam bernegara. Maka, tidak heran jika para aktivis reformasi dan aktivis
hak asasi manusia turut mengecam keras keluarnya perppu ini.
Pasal
Karet dan Kriminalisasi Massal
Tidak sekadar mengancam
eksistensi negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, perppu juga mengandung
pasal-pasal karet dan ambigu yang membuka peluang kesewenang-wenangan akibat
tafsir yang sangat mungkin dimonopoli oleh penguasa. Padahal, salah satu
konsep dalam asas legalitas jelas mengatakan bahwa hukum haruslah lex
stricta, yaitu hukum tertulis harus dimaknai secara rigid, tidak boleh
diperluas sehingga merugikan subjek pelaku perbuatan tersebut.
Perppu mengintrodusir
pasal larangan bagi ormas untuk menganut, mengembangkan serta menyebarkan
ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila (Vide: Pasal 59 Ayat (4)
Huruf c). Problemnya, perppu memberi kewenangan mutlak kepada pemerintah (cq
Mendagri dan Menkumham) untuk menafsirkan dan menentukan pelanggar Pancasila,
baik dengan pertimbangan atau tidak dari instansi lain (Vide: Pasal 61). Hal
ini dikhawatirkan mengembalikan langgam ”tafsir tunggal” atas Pancasila yang
menjadikannya kembali sebagai alat kekuasaan. Di sinilah letak ”karetnya”
pasal larangan tersebut. Tidak ada yang bisa memastikan dan mengimbangi
(counter check) tuduhan atas ormas yang dinilai melanggar larangan oleh
pemerintah. Negara bisa secara sepihak menuduh satu ormas bertentangan dengan
Pancasila, lalu secara sepihak juga membubarkannya. Tidakkah ini merupakan
langgam otoriter yang pernah berlaku di masa lalu? Lalu, siapa yang menjamin
tuduhan pemerintah itu bukan untuk menyasar kelompok tertentu, kelompok
kritis, atau kelompok yang berseberangan dengan penguasa/rezim?
Konklusi
Itulah di antara
pasal-pasal yang mengancam keberlangsungan sistem demokrasi dan negara hukum
yang kita anut. Kebebasan memang perlu ditata tapi tidak lantas semena-mena
tanpa mengindahkan prinsip-prinsip due process of law. Ini juga bukan soal
proradikalisme dan anti Pancasila, tapi cara pemerintah membubarkan ormas itu
yang perlu kita koreksi bersama agar sesuai dengan hukum (by law) sehingga
transparan dan akuntabel.
Kita ingin menghadirkan
proses pembinaan ormas yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan
mengedepankan proses dialogis dalam bernegara sehingga demokrasi makin kuat
dan tidak membuka peluang kembalinya otoritarianisme. Akhirnya kita akan menagih
dan mengawasi janji wakil rakyat dan pemerintah untuk merevisi UU Pengesahan
Perppu Ormas ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar