Politikus
Zaman “Now”
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
04 November
2017
Namanya Francois-Marie
Arouet. Lahir di Paris tahun 1694 dan meninggal di kota yang sama tahun 1778.
Sejak muda, reputasinya luar biasa: cerdas, brilian, juga lucu. Tetapi, dia
bukan pelawak. Dia justru pemikir paling menonjol dari periode “abad
pencerahan” Perancis: pujangga, dramawan, novelis, cerpenis, sejarawan,
filsuf. Kritiknya paling tajam terhadap kekuasaan monarki absolut dan kaum
aristokrat Perancis. Syair-syair politiknya dianggap berbahaya. Berkali-kali
dipenjara dan diasingkan.
Pada 1716, dia diasingkan ke Tulle, 477 kilometer
arah selatan Paris, karena dituduh mengolok-olok Duc d’Orleans. Setahun
kemudian (1717), dia dikembalikan ke Paris, tetapi hanya untuk dijebloskan ke
penjara Bastille selama setahun. Dia dituduh memfitnah dengan puisi-puisinya.
Tahun 1718, setelah keluar penjara, ia mengganti nama yang populer sampai
sekarang: Voltaire.
Dengan ketajaman
berpikirnya, Voltaire justru menuangkannya secara jenaka dalam bentuk satire.
Dalam sastra, satire adalah gaya bahasa sindiran terhadap suatu keadaan atau
seseorang. Voltaire piawai menata kata-kata lucu dan satiris, untuk menggugat
tirani, fanatisme, dan kekejaman. Dialah penulis satire yang brilian. Tetapi,
dia dituduh memfitnah lewat puisi-puisinya. Tahun 1726, Voltaire dijebloskan
lagi ke penjara Bastille setelah mengkritik anggota keluarga bangsawan,
Chevalier de Rohan. Bahkan, sebelum dibui, Voltaire dipukuli oleh para
bajingan suruhan si bangsawan. Tak lama mendekam di tahanan, dia dibebaskan,
asalkan harus meninggalkan Perancis. Voltaire pun diasingkan ke Inggris
selama hampir tiga tahun di mana ia bersahabat dengan para pemikir besar
Inggris.
Dalam rezim otoritarian
atau totaliter, kritik adalah kata yang nyaris sirna di kamus. Tabu dan
terlarang. Kebebasan bersuara menjadi barang yang tak terbeli. Pengalaman
pahit 32 tahun di bawah rezim Orde Baru membuktikan bahwa suara-suara kritis
adalah bayangan “nisan kuburan”.
Mereka yang bersuara lantang pada pagi hari
bisa tiba-tiba menghilang pada malam harinya. Tak tentu rimbanya. Seakan-akan
hilang ditelan bumi. Bahkan, jejak langkahnya tidak terlacak. Penguasa
sangat powerful.
Contoh kelam adalah kasus orang hilang di pengujung rezim Orde Baru
(1997-1998). Walaupun sekarang era demokrasi di mana kebebasan mencapai
puncaknya, nasib orang-orang yang hilang itu tidak terlacak juga.
Di zaman digital sekarang,
kebebasan terkadang melampaui batas. Kebebasan kurang diimbangi dengan rasa
tanggung jawab, baik moral maupun sosial. Kebencian, penghinaan, fitnah
disampaikan begitu sarkas, yang membuat wajah dunia maya (media sosial)
terlihat buram dan kusam. Kasus-kasus penghinaan memang tak sedikit berujung
di ranah hukum, karena demokrasi itu berarti tertib hukum. Sebaliknya,
demokrasi juga mempunyai roh yang mesti terus dihidupkan terus, yaitu
semangat kritik terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan kemanusiaan dan
demokrasi. Sebab, kritik adalah bentuk kepedulian publik. Kritik publik
terhadap pejabat publik, apalagi yang dipilih lewat cara-cara demokratis,
sejatinya adalah upaya partisipatif, konstruktif, dan bagian dari checks and balances.
Menurut Dahlgren (Plevriti, 2013-2014), demokrasi yang sehat menuntut ranah
publik terjadinya interaksi sehingga membantu individu mengidentifikasi
identitas dan kemampuan dalam menjalankan tugas sebagai warga negara.
Di era digital, satire
paling mencolok adalah meme-meme (visual
dan teks) yang lucu-lucu lewat media sosial. Richard Dawkins yang pertama
kali menggunakan istilah itu dalam buku The
Sel?fish Gene (1976), merujuk meme pada “unit
transmisi budaya, atau unit tiruan dan replikasi”. Umumnya meme merespons
kondisi aktual. Paling menarik kegaduhan di panggung politik. Jadi, meme bisa
mengimitasi atau memodifikasi terutama menyangkut hal-hal yang aneh.
Tokoh-tokoh kontroversial sering menjadi obyek replikasi itu. Meme menjadi satire
lucu-lucuan dan jumlahnya berjibun di dunia maya. Rata-rata bernada sindiran
dan kritik.
Dan, kritik itu inheren
dalam demokrasi. Kritik beda dengan penghinaan. Kritik adalah kecaman atau
tanggapan, terkadang disertai pertimbangan baik-buruk, punya tujuan.
Penghinaan adalah perbuatan yang menistakan. Penghinaan disampaikan secara
sarkas, menjelek-jelekkan, menjatuhkan. Kritik beda, disampaikan dengan
sindiran, bergaya humor, dan punya pesan moral. Kritik itu membuka kesadaran
dan edukatif.
Dengan satire, politik
tidak terlalu panas. Politik tak harus melulu membuat dahi mengernyit. Kritik
satiris menjadi oase ketika banyak elite politik selalu menjadi sumber
kegaduhan. Memikirkan panggung politik rasanya terlalu sumpek dan melelahkan.
Banyak elite politik yang tunamoral, korup, dan tidak amanah. Korupsi yang
membelit para elite politik kita adalah bukti nyata. Sudah 15 tahun KPK
begitu galak menangkapi pejabat-pejabat korup, tetapi korupsi tak terkikis
habis juga. Banyak pejabat yang korup, malah KPK yang dipersalahkan. Cara
berpikir yang absurd.
Sejak reformasi, semua
pejabat adalah produk demokrasi. Selalu bicara atas nama demokrasi,
tetapi ngambek jika
dikritik. Selalu bicara hukum, tetapi sering terlihat tidak patuh (bahkan
melawan) hukum. Kalau ada penguasa yang main lapor ke polisi karena tak suka
dikritik, barangkali mesti disadarkan bahwa sekarang era demokrasi. Sikap
antikritik, apalagi sampai menunjukkan arogansi kekuasaan, bukan zamannya
lagi.
Sekarang bukan zaman represif lagi. Dipikir-pikir mirip
fenomena “kids zaman now“. Istilah itu
sebetulnya juga sindiran tentang anak-anak kekinian yang kerap memperlihatkan
perilaku tak wajar, aneh, semaunya sendiri, minim etika, kelewatan, kurang
peduli pada tata sosial. Kalau pejabat dikritik malah balik ngotot, jangan-jangan
inikah tipikal “politikus zaman now“?
Ingat, Voltaire, meskipun dijebloskan ke penjara, justru lebih abadi dikenang
sejarah. ? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar