Minggu, 05 November 2017

Politikus Zaman “Now”

Politikus Zaman “Now”
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 04 November 2017



                                                           
Namanya Francois-Marie Arouet. Lahir di Paris tahun 1694 dan meninggal di kota yang sama tahun 1778. Sejak muda, reputasinya luar biasa: cerdas, brilian, juga lucu. Tetapi, dia bukan pelawak. Dia justru pemikir paling menonjol dari periode “abad pencerahan” Perancis: pujangga, dramawan, novelis, cerpenis, sejarawan, filsuf. Kritiknya paling tajam terhadap kekuasaan monarki absolut dan kaum aristokrat Perancis. Syair-syair politiknya dianggap berbahaya. Berkali-kali dipenjara dan diasingkan. 

Pada 1716, dia diasingkan ke Tulle, 477 kilometer arah selatan Paris, karena dituduh mengolok-olok Duc d’Orleans. Setahun kemudian (1717), dia dikembalikan ke Paris, tetapi hanya untuk dijebloskan ke penjara Bastille selama setahun. Dia dituduh memfitnah dengan puisi-puisinya. Tahun 1718, setelah keluar penjara, ia mengganti nama yang populer sampai sekarang: Voltaire.

Dengan ketajaman berpikirnya, Voltaire justru menuangkannya secara jenaka dalam bentuk satire. Dalam sastra, satire adalah gaya bahasa sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Voltaire piawai menata kata-kata lucu dan satiris, untuk menggugat tirani, fanatisme, dan kekejaman. Dialah penulis satire yang brilian. Tetapi, dia dituduh memfitnah lewat puisi-puisinya. Tahun 1726, Voltaire dijebloskan lagi ke penjara Bastille setelah mengkritik anggota keluarga bangsawan, Chevalier de Rohan. Bahkan, sebelum dibui, Voltaire dipukuli oleh para bajingan suruhan si bangsawan. Tak lama mendekam di tahanan, dia dibebaskan, asalkan harus meninggalkan Perancis. Voltaire pun diasingkan ke Inggris selama hampir tiga tahun di mana ia bersahabat dengan para pemikir besar Inggris.

Dalam rezim otoritarian atau totaliter, kritik adalah kata yang nyaris sirna di kamus. Tabu dan terlarang. Kebebasan bersuara menjadi barang yang tak terbeli. Pengalaman pahit 32 tahun di bawah rezim Orde Baru membuktikan bahwa suara-suara kritis adalah bayangan “nisan kuburan”. 

Mereka yang bersuara lantang pada pagi hari bisa tiba-tiba menghilang pada malam harinya. Tak tentu rimbanya. Seakan-akan hilang ditelan bumi. Bahkan, jejak langkahnya tidak terlacak. Penguasa sangat powerful. Contoh kelam adalah kasus orang hilang di pengujung rezim Orde Baru (1997-1998). Walaupun sekarang era demokrasi di mana kebebasan mencapai puncaknya, nasib orang-orang yang hilang itu tidak terlacak juga.

Di zaman digital sekarang, kebebasan terkadang melampaui batas. Kebebasan kurang diimbangi dengan rasa tanggung jawab, baik moral maupun sosial. Kebencian, penghinaan, fitnah disampaikan begitu sarkas, yang membuat wajah dunia maya (media sosial) terlihat buram dan kusam. Kasus-kasus penghinaan memang tak sedikit berujung di ranah hukum, karena demokrasi itu berarti tertib hukum. Sebaliknya, demokrasi juga mempunyai roh yang mesti terus dihidupkan terus, yaitu semangat kritik terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan kemanusiaan dan demokrasi. Sebab, kritik adalah bentuk kepedulian publik. Kritik publik terhadap pejabat publik, apalagi yang dipilih lewat cara-cara demokratis, sejatinya adalah upaya partisipatif, konstruktif, dan bagian dari checks and balances. Menurut Dahlgren (Plevriti, 2013-2014), demokrasi yang sehat menuntut ranah publik terjadinya interaksi sehingga membantu individu mengidentifikasi identitas dan kemampuan dalam menjalankan tugas sebagai warga negara.

Di era digital, satire paling mencolok adalah meme-meme (visual dan teks) yang lucu-lucu lewat media sosial. Richard Dawkins yang pertama kali menggunakan istilah itu dalam buku The Sel?fish Gene (1976), merujuk meme pada “unit transmisi budaya, atau unit tiruan dan replikasi”. Umumnya meme merespons kondisi aktual. Paling menarik kegaduhan di panggung politik. Jadi, meme bisa mengimitasi atau memodifikasi terutama menyangkut hal-hal yang aneh. Tokoh-tokoh kontroversial sering menjadi obyek replikasi itu. Meme menjadi satire lucu-lucuan dan jumlahnya berjibun di dunia maya. Rata-rata bernada sindiran dan kritik.
Dan, kritik itu inheren dalam demokrasi. Kritik beda dengan penghinaan. Kritik adalah kecaman atau tanggapan, terkadang disertai pertimbangan baik-buruk, punya tujuan. Penghinaan adalah perbuatan yang menistakan. Penghinaan disampaikan secara sarkas, menjelek-jelekkan, menjatuhkan. Kritik beda, disampaikan dengan sindiran, bergaya humor, dan punya pesan moral. Kritik itu membuka kesadaran dan edukatif.

Dengan satire, politik tidak terlalu panas. Politik tak harus melulu membuat dahi mengernyit. Kritik satiris menjadi oase ketika banyak elite politik selalu menjadi sumber kegaduhan. Memikirkan panggung politik rasanya terlalu sumpek dan melelahkan. Banyak elite politik yang tunamoral, korup, dan tidak amanah. Korupsi yang membelit para elite politik kita adalah bukti nyata. Sudah 15 tahun KPK begitu galak menangkapi pejabat-pejabat korup, tetapi korupsi tak terkikis habis juga. Banyak pejabat yang korup, malah KPK yang dipersalahkan. Cara berpikir yang absurd.

Sejak reformasi, semua pejabat adalah produk demokrasi. Selalu bicara atas nama demokrasi, tetapi ngambek jika dikritik. Selalu bicara hukum, tetapi sering terlihat tidak patuh (bahkan melawan) hukum. Kalau ada penguasa yang main lapor ke polisi karena tak suka dikritik, barangkali mesti disadarkan bahwa sekarang era demokrasi. Sikap antikritik, apalagi sampai menunjukkan arogansi kekuasaan, bukan zamannya lagi.

Sekarang bukan zaman represif lagi. Dipikir-pikir mirip fenomena “kids zaman now“. Istilah itu sebetulnya juga sindiran tentang anak-anak kekinian yang kerap memperlihatkan perilaku tak wajar, aneh, semaunya sendiri, minim etika, kelewatan, kurang peduli pada tata sosial. Kalau pejabat dikritik malah balik ngotot, jangan-jangan inikah tipikal “politikus zaman now“? Ingat, Voltaire, meskipun dijebloskan ke penjara, justru lebih abadi dikenang sejarah. ? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar