Dramatisasi
Revisi UU Ormas
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK
(2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 04 November 2017
DI dalam politik kerap terjadi
hal yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi dramatis karena sengaja
didramatisasi. Contohnya, soal agenda perubahan kembali atau revisi
undang-undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang baru disahkan
dalam Sidang Paripurna DPR pekan lalu. Seperti diketahui, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2/2017 tentang Ormas disahkan
dalam Sidang Paripurna DPR menjadi UU melalui pro dan kontra yang tajam.
Dari semua fraksi ada yang
menyatakan menerima, ada yang menyatakan tidak menerima, dan ada yang
menyatakan menerima dengan catatan harus segera direvisi setelah nanti
menjadi undang-undang. Dramatisasinya terletak pada dua hal.
Pertama, sebenarnya kategori
sikap akhir dalam legislative review terhadap sebuah perppu hanya dua, yakni
menyetujui atau tidak menyetujui. Kedua, titik berat kewenangan dalam membuat
dan mengubah UU itu menurut UUD 1945 yang berlaku sekarang terletak di DPR
sehingga upaya merevisi UU tidak perlu secara dramatis didesak-desakkan
kepada presiden.
Tidak ada kategori menerima
perppu dengan catatan karena yang ada hanya menyetujui atau tidak menyetujui.
Menurut Pasal 52 Ayat (3) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan DPR hanya mempunyai dua pilihan untuk menyikapi perppu
yang diajukan oleh pemerintah, yakni memberi persetujuan atau tidak memberi
persetujuan. Itu saja, tidak ada alternatif menyetujui atau tidak menyetujui
dengan catatan.
Jika DPR menyetujui, baik
dengan suara bulat maupun melalui voting maka perppu tersebut disahkan
menjadi UU. Sebaliknya, jika DPR tidak menyetujui maka perppu tersebut harus
dicabut melalui prosedur tertentu.
Sikap menyetujui dengan catatan
bahwa UU itu nanti harus direvisi menjadi dramatis dan seperti mengada-ada.
Sebab, jika perppu yang sudah dijadikan UU itu nanti akan direvisi, ya
tinggal direvisi saja sesuai dengan prosedur yang memang sudah disediakan
oleh UU tanpa perlu didramatisasi dengan menjadikan perubahan kembali sebagai
syarat untuk menyetujuinya.
Menyatakan menyetujui perppu
dengan catatan harus segera direvisi sebenarnya tidak mengikat untuk
dilaksanakan. Sebaliknya seandainya pun DPR menyetujui utuh tanpa embel-embel
apa pun, masih boleh juga kalau lembaga legislatif mau melakukan revisi.
Jadi, kalau mau melakukan
revisi atas UU yang berasal dari perppu, tidak perlu berdrama menyetujui
perppu dengan catatan anu. Kita sudah mempunyai contoh yang masih segar
tentang ini.
Pada 2014 lalu DPR dan
pemerintah menyetujui UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
yang diundangkan tanggal 30 September 2014 dengan UU No 22/2014. Tetapi hanya
3 hari setelah diundangkan, tepatnya 2 Oktober 2014, UU tersebut dicabut oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diganti dengan Perppu No 1/2014.
Setelah melalui perdebatan,
perppu tersebut disahkan menjadi UU No 1/2015 yang diundangkan pada tanggal 2
Februari 2015, tetapi tak lama sesudah itu UU No. 1/2015 direvisi lagi dengan
UU No. 8/2015 yang diundangkan pada 18 Maret 2015. Bahkan, sesudah itu masih
diubah lagi dengan UU No. 10/2016 yang diundangkan tanggal 1 Juli 2016.
Lihatlah, dalam waktu kurang
dari 6 bulan saja (30 September s/d 18 Maret) sudah terjadi penggantian atau
revisi UU dan perppu sampai empat kali dan setahun sesudah itu (1 Juli 2016)
masih diubah lagi. Tidak ada ribut-ribut dan dramatisasi waktu itu, semua
berjalan biasa-biasa saja.
Aneh pula ada partai politik
yang mendesak presiden agar segera melakukan revisi atas UU Ormas dengan
ancaman “petisi politik” dan dengan penekanan, Pemerintah harus memenuhi
janji untuk melakukan revisi. Ini tampak sebagai dramatisasi yang juga
berlebihan karena dua hal.
Pertama, dalam catatan kita
pemerintah tidak pernah berjanji akan melakukan revisi atas UU Ormas,
melainkan hanya mempersilakan dan setuju saja jika parpol-parpol di DPR akan
melakukan revisi. Siapa pun tahu bahwa menyatakan “silakan, kalau mau
direvisi,” tentu bukanlah janji, melainkan mempersilakan saja.
Kedua, UUD 1945 hasil perubahan
yang berlaku sekarang ini meletakkan titik berat pembuatan dan perubahan UU
di tangan DPR, bukan di tangan presiden seperti dulu. Sebelum UUD 1945
diamendemen, kekuasaan membuat UU itu memang ada di tangan presiden dengan
persetujuan DPR seperti bunyi Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan,
“Presiden mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
Tetapi setelah perubahan UUD
1945, ketentuan tersebut diubah melalui Pasal 20 Ayat (1) yang berbunyi,
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Pasal 5
UUD 1945 bunyinya juga berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat”. Setiap rancangan undang-undang memang harus dibahas
bersama oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Alhasil, ada tiga catatan
penting dalam hal ini. Pertama, sebuah perppu hanya bisa disetujui atau tidak
disetujui tanpa catatan apa pun. Kedua, kalau mau melakukan revisi atas UU
bisa dilakukan kapan saja tanpa harus dinyatakan sebagai syarat pada saat pemberian persetujuan atasnya.
Ketiga, titik berat kekuasaan membentuk UU sekarang terletak di DPR sehingga
kurang pas jika DPR atau parpol malah meminta-minta kepada pemerintah untuk
melakukan revisi atas UU.
Parpol yang mau membuat atau
merevisi UU seharusnya langsung menggunakan rumahnya di DPR untuk
berinisiatif membuat naskah akademik dan rancangan UU untuk melakukan revisi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar