Rekomendasi
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia (2)
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional
|
KORAN
SINDO, 01 November 2017
PADA tulisan minggu lalu saya
membahas bahwa semangat terdepan dari politik luar negeri Indonesia pada saat
merdeka adalah membangun solidaritas dengan negara-negara berkembang lainnya
untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Pada tahun-tahun selanjutnya kita
juga memimpin untuk terjadi persatuan untuk tidak berada di dalam tekanan
blok manapun, baik itu blok negara Kapitalis dan maupun blok Negara Komunis.
Inisitatif dan kepemimpinan Indonesia banyak dikenal karena Indonesia
mengedapankan solidaritas negara-negara senasib sebagai salah satu strategi
untuk meninggikan daya tawar terhadap negara-negara besar.
Persoalannya, strategi untuk
memperkuat solidaritas demi memperkuat daya gentar terhadap negara besar
menjadi kurang relevansinya pada masa sekarang. Saat ini setiap negara
mengambil langkah yang pragmatis.
Paska perang dingin, ideologi
pasar saat ini hampir diterima oleh semua hampir negara di dunia. Tidak
peduli negara kecil atau besar saat ini masuk dalam lingkar kerjasama ekonomi
dunia.
Negara-negara mengesampingkan
perbedaan ideologis dan juga sejarah masa lalu demi kerjasama perdagangan
baik multilateral maupun bilateral. Konflik dan ketegangan tetap ada di
antara negara-negara yang saling bekerja sama tetapi pertumbuhan ekonomi
menjadi salah satu faktor yang menentukan kebijakan politik luar negeri yang
akan diambil.
Dalam konteks tersebut
bagaimana kita dapat memperkuat daya tawar ketika gagasan solidaritas di
antara negara-negara yang belum maju tidak lagi menarik? Sebaliknya,
negara-negara tersebut justru terbelah dan masuk dalam satu aliansi kerjasama
perdagangan tertentu untuk mengamankan posisi mereka. Contoh adalah kompetisi
antara The Trans-Pacific Partnership (TPP) yang dimotori AS dan Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang dimotori oleh ASEAN dan
kemudian didukung oleh Tiongkok.
Motivasi untuk semakin membuat
kompetitif produk-produk dalam negeri masing-masing negara adalah motor yang
menggerakkan kerjasama.
Kerjasama-kerjasama tersebut
berorientasi pada memacu daya saing, prinsip ketergantungan pada Jaringan Rantai
Produksi atau Jaringan Rantai Komoditas, di mana proses produksi, distribusi
dan konsumsi tidak lagi terletak di satu negara tetapi menyebar di banyak
negara. Negara-negara yang lebih maju revolusi teknologi, logistik dan
transportasinya kemudian menggandeng negara-negara yang emerging alias
berkembang untuk memperkuat daya jual produk dan juga daya beli konsumen.
Kini berkembang, misalnya,
program kerjasama bilateral termasuk untuk mengolah produk primer tertentu
menjadi produk lanjutan yang lebih bergengsi untuk kemudian dijual ke negara
ketiga. Australia mendekati Indonesia dan para desainer fashion-nya untuk
tujuan ini demi meningkatkan daya jual wool melalui Jakarta Fashion Week,
demikian pula Indonesia mendekati produsen makanan dan kosmetik di sejumlah
negara demi meningkatkan daya jual minyak sawit mentah.
Tantangannya sebenarnya masih
mirip dengan situasi tahun 1960-an, di mana negara-negara maju lebih
menguasai dan mendominasi kerja-kerja yang mengandung nilai tambah (value
added) lebih tinggi seperti teknologi informasi, perangkat lunak, artificial
intelligent, hak paten, hak intelektual dan lain sebagainya dalam rantai
produksi.
Sementara itu, negara
berkembang dan kecil lebih tergantung dari pekerjaan kasar dan manual di
sektor-sektor manufaktur, sumber daya mineral, jasa dan pelayanan yang
umumnya menguasai kerja-kerja manual yang sifatnya padat karya. Harga produk
hasil produksi padat karya, sayangnya, tidak sebanding dengan harga produk
yang dihasilkan negara-negara maju.
Program-program start-up yang
dikembangkan di negara-negara maju bahkan kini mengejar untuk membeli ide-ide
inovatif dari anak-anak bangsa di negara berkembang. Jadi meskipun pengerjaan
produknya tetap dikerjakan di negara berkembang, harga paten dan kepemilikan big
data tentang konsumen di negara-negara berkembang justru berada di
negara-negara maju.
Jadi ada suatu pertanyaan
mendasar tentang masa depan perekonomian Indonesia. Apakah kita terserap saja
menjadi pengikut sistem pasar yang ada?
Mengerahkan segenap tenaga dan
aturan main di Tanah Air dengan impian mengejar posisi teratas sebagai
pengumpul laba dari rantai produksi yang telah kita kuasai dan “membiarkan”
negara lain yang kalah kompetisi menerima “recehan” yang tersisa dari
pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Tiongkok adalah salah satu
contoh di mana dulunya ia masuk dalam kategori negara berkembang dan kini
sudah dapat berdiri sama kuat dalam aspek ekonomi, sebanding dengan
negara-negara Eropa dan AS. Namun dari contoh tersebut juga kita dapat
melihat bahwa posisi sebagai negara yang kuat tidak selamanya permanen.
Struktur ekonomi pasar tidaklah statis; antara yang menang dan yang kalah
tetap tidak menghapuskan ketidakadilan yang berkembang dalam suatu sistem
ekonomi.
Negara sebesar Tiongkok pun
bisa merasakan kesenjangan sosial yang membesar di dalam negerinya. Studi
tentang Tiongkok sejak 2007 hingga sekarang menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di Tiongkok belum bisa menyelesaikan masalah kesenjangan
sosial bagi rumah tangga miskin di Tiongkok yang tidak bisa menjangkau
pendidikan, rumah dan kesehatan yang memadai, bahkan terhambat mobilitasnya
mendapatkan pekerjaan yang layak.
Menurut Piketty, Li Yang &
Zucman dalam laporannya untuk National Bureau of Economic Research (2017)
bahkan menemukan bahwa tingkat kesenjangan ekonomi Tiongkok di tahun 1978
lebih rendah dibandingkan tahun 2015 karena jumlah orang kaya yang
penghasilannya menyerap 10% pendapatan di Tiongkok meningkat dari 27% ke 41% sementara 50% penduduk di lini bawah
Tiongkok menurun pendapatannya dari 27% pendapatan nasional ke 15% pendapatan
nasional.
Bandingkan kemudian kebijakan
politik luar negeri Tiongkok dalam menggenjot pertumbuhan ekonominya, salah
satunya dengan memperketat kontrol negara atas perekonomian dan aktor-aktor
ekonominya dan aktivisme warganya. Sesuatu yang tidak cocok dengan Indonesia
yang sangat pluralis dan mengedapankan demokrasi dan HAM.
Oleh sebab itu, saya
berpendapat bahwa memperbaiki kerjasama ekonomi yang lebih adil dan sistem
ekonomi pasar global yang lebih manusiawi dengan berbasis HAM dan kelestarian
lingkungan adalah kebijakan politik luar negeri yang harus dikembangkan.
Indonesia perlu membangun
solidaritas dari negara-negara yang berada di lapisan bawah jaringan rantai
produksi untuk bisa memiliki daya tawar yang lebih kuat dengan negara-negara
maju yang memonopoli sebagian besar keuntungan. Kondisi yang dihadapi negara
berkembang tersebut adalah “potensi” untuk mengembalikan kembali kepemimpinan
Indonesia dalam menciptakan keadilan di dunia.
Indonesia semestinya tidak
melihat negara-negara tersebut sebagai saingan atau kompetitor tetapi mitra
untuk dapat maju bersama. Alternatif tersebut terutama juga untuk mengimbangi
strategi negara lain yang mendominasi seperti One Belt One Road (OBOR) dari Tiongkok.
Strategi OBOR adalah kebijakan
politik luar negeri unilateral Tiongkok terhadap 60 negara lain yang masuk
dalam radar OBOR. Betul bahwa melalui OBOR sejumlah inisatif perdagangan,
pembangunan dan bahkan bantuan keuangan diberikan namun sejatinya OBOR tetap
adalah strategi unilateral dan bukan multilateral.
Ketika Indonesia setuju pada
OBOR, harus hati-hati akan implikasinya pada unilateralisme Tiongkok. India
adalah salah satu negara yang memandang OBOR sebagai ancaman sehingga
mendorongnya untuk mengembangkan strategi atau doktrin “Act East Policy”
(Pant & Passi, 2015). Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar
dalam Raisina Dialogue 2015 (dialog inisiatif India yang mengedepankan
geoekonomi dan geopolitik India) mengatakan bahwa konektivitas harus
meredakan persaingan nasional, tidak menambah ketegangan regional.
Jika kita mencari dunia
multipolar, cara yang tepat untuk memulai adalah dengan menciptakan Asia
multipolar. Tidak ada yang dapat mendorong lebih jauh selain konsultasi terbuka
terhadap masa depan konektivitas.
Alternatif untuk membangun
kerjasama yang lebih partisipatif di antara negara-negara berkembang inilah
yang belum nampak sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga
Presiden Joko Widodo. Keterlibatan politik luar negeri kita masih terbatas dalam
konteks historis dan tradisional seperti kepemimpinan di Gerakan Non Blok,
ASEAN, PBB tetapi inisiatif untuk membuat tatanan kerjasama ekonomi dan
sosial-politik yang lebih adil, manusiawi (termasuk berpihak pada HAM dan
kelestarian lingkungan hidup) belum terasa padahal dalam konteks tersebut
Indonesia termasuk yang terdepan di kawasan, bahkan di tingkat global, dan
memiliki potensi besar untuk tampil sebagai pemimpin. Memang selalu ada konsekuensi sebagai
pemimpin, tetapi juga ada manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar