Menjaga
Imunitas Bangsa
Mulyono ; Jenderal TNI, Kepala Staf Angkatan Darat
|
DETIKNEWS,
01 November
2017
Beberapa waktu yang lalu, kita
baru saja memperingati 89 tahun Sumpah Pemuda. Petikan baris pertama lirik
lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa gubahan L. Manik menyeruak kembali dalam
telinga dan benak kita, serta rasanya masih selalu relevan dengan keadaan
bangsa dan negara Indonesia pada segala zaman. Pada masa perjuangan, semangat
yang terkandung dalam lagu itu benar-benar telah menjadi kekuatan bangsa yang
dahsyat, yang mampu melahirkan sebuah negara dan bangsa yang merdeka bernama
Indonesia hanya dalam waktu 17 tahun, setelah ratusan tahun sebelumnya
perlawanan secara sporadis dan sektoral tidak mampu mewujudkannya.
Tidaklah berlebihan jika pada
peringatan ke-89 hari Sumpah Pemuda 2017 ini diusung tema "Pemuda
Indonesia Berani Bersatu", karena peristiwa yang terjadi pada tahun 1928
itu sangat sarat dengan makna keberanian pemuda-pemudi Indonesia dari seluruh
penjuru negeri untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan biaya demi
membangun persatuan mewujudkan Indonesia yang merdeka.
Pada masa kini, kehidupan
sosial masyarakat kita sedang mengalami berbagai persoalan yang sangat
potensial mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa seperti maraknya aksi
terorisme, berkembangnya radikalisme, anarkisme, intoleransi, penyalahgunaan
narkoba, pornografi dan seks bebas. Yang tidak kalah bahayanya adalah tren
semakin sulit dibendungnya penyebaran hoax melalui media teknologi informasi
yang sangat potensial mempengaruhi cara berpikir, bersikap dan bertindak
masyarakat.
Banyak yang menilai bahwa semua
itu merupakan akibat dari semakin lunturnya pemahaman terhadap nilai-nilai
Pancasila dari dalam jiwa masyarakat Indonesia. Dengan dalih demokrasi,
Pancasila terkesan semakin dijauhkan dari kehidupan masyarakat dengan tidak
diajarkannya lagi secara intensif di sekolah-sekolah. Akibatnya, saat ini
kita merasakan betapa lemahnya karakter bangsa yang seolah-olah kehilangan
identitas dan integritasnya.
Jika kita kembali menengok
sejarah kejayaan Nusantara masa lalu, dalam Kitab Sutasoma, Mpu Tantular
bercerita tentang dirinya yang beragama Buddha hidup dengan aman dan damai di
tengah rakyat Kerajaan Majapahit yang mayoritas beragama Hindu. Demikian juga
dengan rakyat yang menganut kepercayaan lain. Raja Hayam Wuruk dan Patih
Gajah Mada memang mendorong terpeliharanya sikap saling menghargai perbedaan
untuk menciptakan kedamaian di lingkungan kerajaan sekaligus sebagai kekuatan
yang menyatukan Kerajaan Majapahit dalam mewujudkan cita-citanya menyatukan
seluruh kerajaan di wilayah Nusantara.
Namun dalam perkembangannya,
kerajaan Majapahit justru melemah karena perang saudara dan konflik internal.
Konflik semacam inilah yang memudahkan masuknya Bangsa Eropa menguasai
kerajaan-kerajaan di Nusantara, selain karena pertahanannya yang lemah.
Penjajahan yang berlangsung
selama kurang lebih 350 tahun di Indonesia menorehkan luka dan trauma yang
sangat dalam. Penjajahan tidak hanya merampas wilayah dan kekayaan alam namun
juga nyawa orang-orang tercinta. Perlawanan mengusir penjajah yang dipimpin
oleh para bangsawan dan tokoh agama yang dilancarkan secara kedaerahan selama
ratusan tahun tidak kunjung berhasil. Selain kemampuan militer yang tidak
berimbang, perjuangan kedaerahan juga mudah dipatahkan dengan politik adu domba
dan pecah belah yang kita kenal dengan politik devide et empera.
Lahirnya Boedi Oetomo pada
tahun 1908 yang digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan didirikan oleh Dr
Soetomo menjadi awal tumbuhnya kesadaran untuk bersatu sebagai bangsa
Indonesia dalam menghadapi penjajah. Kesadaran tersebut kemudian dibulatkan
dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Mulai saat
itulah, perjuangan kemerdekaan dilancarkan secara nasional dan dalam front
politik atau diplomasi dan front militer. Pasca momentum bersejarah tersebut,
hanya dalam kurun waktu 17 tahun, dengan persatuan dan kesatuan seluruh
bangsa, kemerdekaan dapat diraih pada tahun 1945.
Berbeda dengan beberapa negara
di Asia yang memperoleh kemerdekaannya dengan mudah, kemerdekaan Indonesia
tidaklah cuma-cuma. Kemerdekaan ini diraih di atas tetesan darah, linangan
air mata dan pengorbanan harta benda yang tidak terhitung jumlahnya. Banyak
rakyat yang merelakan tanah dan bangunannya sebagai pemusatan kekuatan
melawan penjajah. Bahkan rakyat yang tidak mampu pun rela menyumbangkan hasil
panennya untuk mendukung perjuangan. Semangat rela berkorban jiwa dan raga
juga ditunjukkan tanpa gentar dan ragu saat para pejuang yang hanya
bersenjatakan bambu runcing harus berhadapan dengan tentara penjajah yang
memiliki persenjataan modern.
Walaupun hanya membutuhkan 17
tahun pasca Sumpah Pemuda 1928 sampai dengan diproklamasikannya Kemerdekaan
Indonesia, ternyata masa tersebut bukanlah masa yang mudah bagi para pejuang
yang menghadapi penjajah diberbagai front. Tidak hanya desingan peluru di
medan pertempuran yang mengancam nyawa, pertempuran di meja diplomasi pun
tidak kalah risikonya. Para pemuda yang berjuang di forum diplomasi seperti
Sukarno, Hatta, Syahrir dan Amir Sjarifuddin harus rela menjalani penahanan
dan pengasingan di beberapa kota bahkan pulau yang sangat terpencil untuk
membatasi aktivitas politiknya. Namun dengan semangat pantang menyerah,
hari-hari yang berat tersebut dilalui oleh para pemimpin kita tersebut.
Perjuangan meraih kemerdekaan
bukan hanya perjuangan orang Jawa saja, bukan hanya perjuangan kaum lelaki
saja atau perjuangan orang Islam saja, tetapi perjuangan seluruh rakyat
Indonesia. Inilah makna kebersamaan dan gotong royong yang sesungguhnya.
Semua komponen bangsa berjuang bahu membahu mengangkat senjata maupun di meja
diplomasi. Sebagian lainnya berkiprah menyiapkan logistik, mendirikan dapur
umum dan rumah sakit lapangan. Tidak ada satu pun yang ingin berpangku tangan
karena semua ingin menjadi bagian dari perjuangan tersebut.
Pasca diproklamasikannya
kemerdekaan, perjuangan bangsa ini bukan berarti telah usai. Mempertahankan
dan mengisi kemerdekaan tidaklah lebih ringan daripada merebutnya. Ujian demi
ujian terus dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Pemberontakan, separatisme dan
radikalisme datang silih berganti. Namun karena tekad dan komitmen sebagai
satu bangsa telah dikumandangkan, maka tidak ada pilihan kecuali
mempertahankan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang
telah diikrarkan bersama. Inilah makna nasionalisme sesungguhnya.
Nasionalisme akan menguat manakala nilai dan harga diri bangsa kita tersentuh
seperti halnya pada saat Konflik Ambalat berlangsung, atau pada saat Bendera
Merah Putih dipasang terbalik di Buku Panduan ASEAN Games 2017 di Kuala
Lumpur beberapa waktu yang lalu.
Saling menghargai perbedaan
bersama dengan nilai-nilai luhur lain yang diwariskan oleh para pendahulu
kita, telah terbukti ampuh mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang
kemerdekaan dan menangkal berbagai jenis ancaman terhadap kemerdekaan itu.
Nilai-nilai tersebut adalah imunitas atau kekebalan bangsa yang telah melekat
dalam tubuh Bangsa Indonesia. Imunitas yang siap menangkal serangan berbagai
virus yang mengancam kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kekebalan Bangsa atau Immunity
of the nation pada dasarnya adalah daya tahan dan daya tangkal yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia untuk menghadapi berbagai persoalan dalam konteks
kesatuan bangsa dalam bingkai budayanya. Immunity of the nation atau yang dapat
disingkat sebagai immunation ini pada hakikatnya secara inheren telah ada
dalam roh bangsa Indonesia, yang selama ini telah menjadi benteng kedaulatan
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Imunitas bangsa yang
bermanifestasi dalam nilai-nilai yang terangkum dalam Pancasila harus terus
dipupuk sebagai sumber kekuatan bangsa dalam menangkal setiap ancaman,
tantangan, hambatan, dan gangguan yang datang dari dalam maupun dari luar
negeri. Kita memerlukan sebuah konsep tata kelola yang sistematis untuk
melestarikan dan merawat immunation dalam masyarakat Indonesia, atau dengan
istilah lain diperlukan sebuah konsep immunation by design agar senantiasa
terjaga dengan baik. Hal ini ditujukan agar gejolak sosial yang kompleks dan
dinamis yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak semakin meningkatkan
kerentanan terhadap ancaman perpecahan yang pernah dialami oleh
kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di Tanah Air dahulu.
Semoga dengan momentum
peringatan Sumpah Pemuda 2017 ini, pemuda-pemudi Indonesia mampu
mengembalikan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan membawa Indonesia menuju
kejayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar