Perlindungan
Konsumen di Era Jokowi
Tulus Abadi ; Ketua Pengurus Harian
YLKI
|
KORAN
SINDO, 01 November 2017
RODA pemerintahan Presiden Joko
Widodo (Jokowi) tak terasa memasuki tahun ketiga. Tingkat kepuasan publik
terhadap kinerja Presiden Jokowi pun kian membaik. Oleh karena itu, performa
dan kinerja Presiden Joko Widodo dengan segala "ingar bingarnya"
layak diberikan apresiasi. Bentuk apresiasi kepada Presiden Jokowi bukan
semata berupa puja dan puji "ABS" (asal bapak senang), tapi juga
segumpal kritik yang membangun pun merupakan apresiasi.
Dalam konteks pemenuhan hak-hak
publik dan perlindungan konsumen, ada beberapa isu krusial yang perlu
disorot. Pertama, stabilitas pasokan dan harga pangan. Untuk menjaga
stabilitas pasokan komoditas pangan, Presiden Jokowi menggunakan "jurus
lama" sebagaimana pemerintahan sebelumnya, yakni membuka keran impor.
Impor pangan sejatinya merupakan bentuk ingkar janji saat kampanye capres.
Memang secara empiris, impor
pangan bertujuan mengendalikan harga pangan yang masih diwarnai gejolak,
terutama harga-harga beras dan daging sapi. Hasilnya, harga beras relatif
terkendali, yakni di kisaran Rp8.000-9.000. Namun, harga daging sapi masih
mencekik leher, padahal titah Sang Presiden adalah Rp80.000 per kg. Faktanya,
sampai detik ini harga daging sapi masih bertengger di kisaran harga Rp120
ribuan per kg.
Malah komoditas pangan lain,
seperti cabai rawit dan garam ikut melambung. Harga cabai rawit sempat
menyundul Rp120.000 per kg dan harga garam melangit hingga 300% dari harga
semula. Fenomena ini menandakan ketahanan pangan di era Jokowi masih rentan,
karena masih bergantung pada impor (beras dan daging sapi). Kedaulatan pangan
pun masih menjadi mimpi.
Kedua, kebijakan harga energi,
khususnya harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik. Rezim Jokowi
seolah menerima durian runtuh terkait turunnya harga minyak mentah dunia. Runtuhnya
harga minyak mentah dunia berdampak signifikan keluarnya devisa untuk impor
BBM. Mengingat lebih dari 50% kebutuhan BBM nasional adalah berasal dari
impor. Turunnya harga minyak mentah dunia berdampak terhadap turunnya subsidi
BBM secara signifikan. Jokowi tak perlu pusing menaikkan harga BBM
sebagaimana Presiden SBY.
Namun di sisi lain, ambruknya
harga minyak mentah sejatinya merupakan petaka bagi PT Pertamina, nett
profit PT Pertamina nyaris kolaps,
walau tak separah perusahaan minyak multinasional yang mengalami bleeding
serius. Turunnya harga minyak mentah dunia pun berimplikasi terhadap harga
BBM dan tarif dasar listrik. Sejak era Jokowi, diberlakukanlah harga BBM dan
tarif listrik berdasar keekonomiannya, yakni tarif/harga yang mendasarkan pada
harga minyak mentah dunia, kurs rupiah terhadap dolar Amerika dan laju
inflasi.
Harga/tarif keekonomiannya pada
hakikatnya adalah kebijakan berorientasi pada mekanisme pasar yang secara
konstitusional dilarang. Benar, UU tentang Energi mengamanatkan bahwa harga
komoditas energi adalah berdasar harga keekonomiannya. Namun, bukan berarti
100% berbasis market mechanism tanpa intervensi negara sama sekali.
Ketiga, soal daya beli
konsumen. Penjualan di level peritel menurut data mengalami penurunan yang
menurut APRINDO mencapai 15-20%. Menurunnya penjualan sama artinya dengan
turunnya daya beli konsumen. Pemerintah menolak tudingan jika turunnya omzet
penjualan disebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Bagi pemerintah,
menurunnya omzet penjualan di peritel modern karena kalah bersaing dengan
e-commerce.
Bisa jadi pemerintah benar
bahwa saat ini ada fenomena baru dalam berbelanja yang berbasis daring
(online). Tetapi faktanya, kontribusi perdagangan online pada sektor ritel
masih sangat kecil, hanya 3,1% saja (2017). Dengan demikian yang menggerus
penjualan di peritel modern bukan karena perdagangan online. Apalagi
pengakuan turunnya omzet penjualan bukan hanya dari peritel modern, tetapi
juga dialami kalangan pasar tradisional.
Belum lagi ditandai dengan
tutupnya beberapa gerai peritel modern, seperti Seven Eleven dan Lotus.
Kondisi melesunya daya beli, menurut para pengamat ekonomi, dipicu oleh
kebijakan Presiden Jokowi yang "terlalu bernafsu" memutar uang APBN
untuk pembangunan infrastruktur. Jalan Tol Trans Jawa, Jalan Tol Trans
Sumatera, LRT, pembangkit listrik 35.000 MW, adalah beberapa contoh
megaproyek infrastruktur yang sangat rakus anggaran.
Keempat, kasus calon jamaah
umrah. Akhir tahun ini publik dihebohkan dengan menyeruaknya kasus umrah
murah yang menelan puluhan ribu korban, yakni biro umrah First Travel. Total
korban tak kurang dari 62 ribuan dengan kerugian berkisar Rp532 miliar. Dalam
kasus umrah YLKI menerima 22.635 pengaduan dari enam biro umrah.
Maraknya kasus umrah karena
lemahnya pengawasan Kementerian Agama (Kemenag). Kemenag hanya getol
memberikan izin operasional, tapi letoy
dengan pengawasannya. Masifnya korban umrah bermasalah adalah bukti
nyata gagalnya Kemenag sebagai regulator. Sampai detik ini korban umrah tak
bisa menuntut apa pun dan Kemenag pun membisu seribu bahasa.
Kelima, kenaikan cukai rokok.
Pada 2017, Menteri Keuangan menaikkan cukai rokok sebesar 10,04%. Besaran
kenaikan ini mencerminkan Menkeu "gagal paham" dalam dua hal.
Pertama, gagal memahami bahwa cukai adalah sin tax (pajak dosa) dan gagal paham bahwa APBN
defisit karena jebloknya pendapatan pajak. Menkeu juga gagal paham bahwa
ambruknya finansial BPJS juga akibat konsumsi rokok.
Pada 2017 kerugian BPJS
diprediksi mencapai Rp12 triliun atau naik signifikan dibanding kerugian pada
2016 yang mencapai Rp9 triliun. Kerugian itu karena dominannya penyakit
degeneratif yang salah satu pemicu utamanya adalah perilaku konsumsi rokok.
Dengan fenomena demikian, Menkeu seharusnya berani menaikkan cukai rokok
secara progresif minimal 20%. Sebab kenaikan cukai 10,04% pada 2017 adalah
suatu kemunduran, karena pada 2016 kenaikan cukai rokok mencapai 11,19%.
Kenaikan cukai 10,04% tak berarti apa pun untuk mengendalikan/membatasi
konsumsi rokok.
Keenam, transportasi berbasis
aplikasi (online). Selama tiga tahun terakhir, sektor transportasi di
Indonesia dihebohkan dengan munculnya moda transportasi berbasis aplikasi
(transportasi online), baik roda empat dan roda dua. Transportasi online
disambut gembira oleh masyarakat karena memudahkan akses dan tarifnya relatif
murah. Namun, timbul reaksi keras dari kubu transportasi konvensional karena
terancam eksistensinya. Bahkan, hal ini menimbulkan konflik horizontal,
beberapa nyawa melayang karenanya.
Fenomena ini terjadi karena
lambannya respons pemerintah. Bahkan, Presiden Jokowi pun salah kaprah
menyikapi transportasi online. Presiden menganggap transportasi online adalah
usaha mikro. Loh. mikro yang mana sih, faktanya pemilik transportasi online
adalah korporasi multinasional. Bahwa transportasi online adalah sebuah
keniscayaan, tetapi jangan dibiarkan tanpa aturan. Di kota-kota lain besar
dunia juga terjadi hal sama, taksi online tetap ada pengaturan tegas.
Presiden Joko Widodo dengan
instrumen Nawacita sejatinya peta jalan yang komprehensif untuk menuju
Indonesia lebih baik. Namun, dalam praktik tampaknya tak semudah membalik
telapak tangan. Bahkan dalam beberapa hal, banyak kebijakan secara ideologis
bertabrakan dengan Nawacita. Contoh soal impor komoditas pangan, khususnya
untuk beras dan daging sapi, jelas tidak sejalan dengan janji Nawacita.
Demikian juga dengan menyerahkan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik
pada mekanisme pasar, tentu tidak sejalan dengan Nawacita. Malah ironisnya,
menjelang 2019, tampaknya kebijakan harga kembali ke era politisasi.
Sebagai contoh, Kementerian
ESDM menyatakan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik tidak akan
dinaikkan pada 2017. Padahal jika konsisten dengan mekanisme pasar,
seharusnya harga bahan bakar minyak dan tarif listrik mengalami kenaikan pada
2017. Sebab harga minyak mentah dunia sudah menyundul USD50 per barel,
sedangkan pagu di APBN hanya USD45 per barel.
Pada 2018 kondisinya akan makin
dilematis. Harga minyak dunia diprediksi akan rebound ke level lebih tinggi. Sementara pada 2018
sudah dinyatakan sebagai tahun politis. Artinya adalah tahun pencitraan,
pendekatan populis, dan ending -nya menggelontorkan subsidi. Akankah Presiden
Jokowi mewariskan kebijakan yang berbasis pencitraan belaka? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar