Setelah
Kongres Partai Komunis China
Imron Cotan ; Duta Besar RI untuk
Australia (2002-2005);
Duta Besar RI untuk RRC
(2010-2013)
|
KOMPAS,
02 November
2017
Pertemuan lima tahunan Kongres
Nasional Partai Komunis China selama seminggu telah usai pada 25 Oktober
lalu. Menjelang dan semasa kongres, perhatian para pengamat Republik Rakyat
China tertuju ke Beijing dan didominasi spekulasi tentang susunan baru Komite
Tetap Politbiro, organ politik tertinggi pengambil keputusan di RRC.
Berdasarkan ketentuan, 5 dari 7
anggota komite itu (Zhang Dejiang, Yu Zhensheng, Liu Yunshan, Wang Qishan,
dan Zhang Gaoli) akan diganti karena telah melampaui batas usia pensiun (68
tahun) sehingga hanya menyisakan Presiden Xi Jinping (64) dan PM Li Keqiang
(62).
Spekulasi juga marak tentang
kemungkinan Presiden Xi mempertahankan Wang Qishan mengingat peran besarnya
dalam memerangi kasus korupsi di negara itu, yang telah menaikkan popularitas
Presiden Xi secara signifikan di mata rakyat China.
Berdasarkan tradisi pergantian
kepemimpinan nasional RRC, calon pengganti Presiden Xi diharapkan akan
dimunculkan pada kongres kali ini. Namun, yang terjadi justru antiklimaks.
Kelima anggota baru Komite Tetap Politbiro (Li Zhanshu, Wang Yang, Wang
Huning, Zhao Leji, dan Han Sheng) rata-rata telah berusia di atas 60 tahun
sehingga tak satu pun dari mereka punya masa bakti yang cukup menggantikan
Presiden Xi pada 2022.
Selama kongres, perhatian
pengamat juga tercurah kepada salah satu bintang partai, Chen Min’er (57),
sebab menjelang penyelenggaraan kongres ia mendadak dipromosikan menjadi
Sekretaris Partai Komunis China (PKC) Kota Chongqing menggantikan Sun
Zhengcai yang dipecat karena melanggar disiplin partai (korupsi). Kota
Chongqing dikenal sebagai daerah ”penyemaian” pemimpin nasional RRC bersama
selain Shanghai, Tianjin, dan Guangzhou. Ternyata Chen tak terpilih jadi
salah satu anggota Komite Tetap Politbiro.
Dengan tak ditetapkannya
seorang calon pengganti, masa bakti Presiden Xi tak dapat diprediksi walaupun
konstitusi memberi batasan maksimal 10 tahun bagi seseorang untuk menjabat
sebagai Sekretaris Jenderal PKC dan presiden. Dalam sejarah PKC hanya Mao
Zedong dan Deng Xiaoping yang menyimpang dari ketentuan dimaksud.
Kemungkinan bagi Presiden Xi
memerintah RRC sampai batas waktu yang tak dapat ditentukan diperkuat pula
oleh kenyataan bahwa kongres memutuskan memasukkan pemikirannya ke dalam
konstitusi partai sebagai panduan bagi partai menuju masa depan. Pencantuman
nama Presiden Xi dalam konstitusi PKC itu mengandung makna bahwa ”serangan”
terhadap diri- nya akan juga dipandang sebagai ”serangan” atas partai.
Kembali, di dalam sejarah kontemporer RRC, hanya Mao Zedong dan Deng Xiaoping
yang menyandang status sakral itu.
Pemimpin utama
Pertanda bahwa Presiden Xi akan
mengikuti jejak kedua pemimpin besar RRC itu sesungguhnya telah dapat
terdeteksi ketika PKC pada 2016 memberinya gelar ”pemimpin utama” (lingdao
hexin). Penetapannya sebagai lingdao hexin serta pemasukan namanya ke dalam konstitusi
pada dasarnya menegaskan bahwa pengambilan keputusan di negara itu saat ini
sepenuhnya berada di tangan Presiden Xi. Dengan kata lain, yang bersangkutan
diberi kebebasan menyusun konsep dan strategi mewujudkan RRC sebagai negara
yang relatif makmur pada 2035 serta ”negara sosialis modern yang sejahtera,
kuat, demokratis, berbudaya tinggi, harmonis, serta indah” pada 2050.
Terpilihnya Xi Jinping sebagai
pengganti Presiden Hu Jintao tampak berjalan secara alamiah. Kedua faksi yang
mendominasi politik dalam negeri RRC, faksi princelings (pemimpin yang
berdasarkan garis keturunan tokoh revolusi) dan faksi tuanpai (pemimpin yang
berasal dari Liga Pemuda), dapat menerima Xi sebagai calon pengganti Presiden
Hu Jintao. Kedua faksi ”nyaman” dengan penampilan Xi yang rendah hati dan
sederhana selama jadi pemimpin teras partai, termasuk ketika ia wakil
presiden.
Sesungguhnya hal itu cerminan
kemampuan dan kepiawaian pribadi Xi beradaptasi dan bermanuver di koridor
kekuasaan di Beijing sehingga tidak dirasakan sebagai ancaman bagi para tetua
partai. Selama 10 tahun penantian, sebagai wakil presiden, Xi hanya tampil
dalam upacara seremonial dan menahan diri tak mengeluarkan pernyataan yang
dapat memancing permusuhan.
Namun, itu tidak berarti bahwa
Xi terbebas dari pergulatan kepemimpinan di RRC mengingat beberapa tokoh
senior partai, seperti Zhou Yongkang dan Bo Xilai, berkolaborasi dengan
pemimpin militer senior, seperti Jenderal Guo Boxiong dan Jenderal Xu Caihu,
tetap berupaya keras menjegal Xi. Manuver mereka gagal. Setelah menjabat
sebagai presiden, Xi memenjarakan keempat pejabat teras itu dengan tuduhan
pelanggaran disiplin partai. Mereka dipecat dari PKC, suatu hukuman terberat
dalam sistem ketatanegaraan RRC. Gerakan pembersihan Presiden Xi itu telah berhasil
memenjarakan ribuan pejabat senior dan yunior PKC dan militer lainnya.
Dengan mandat politik yang luas
itu, serta ditopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sekitar 7 persen per
tahun), cadangan devisa yang besar (sekitar 3,5 triliun dollar AS), serta
alat utama sistem persenjataan yang cukup canggih dapat dipastikan RRC di
bawah kepemimpinan Presiden Xi akan lebih trengginas dalam mengerahkan
seluruh potensi kekuatan nasional negara itu memengaruhi pengambilan
keputusan dan juga arah perkembangan kawasan dan global.
Cepat atau lambat,
ketrengginasan RRC dimaksud akan menimbulkan dilema, sementara saat ini
Amerika Serikat sebagai kompetitor strategis tak dapat diandalkan memainkan
peran sebagai kekuatan penyeimbang, mengingat AS sedang disibukkan serangkaian
agenda politik dalam negeri yang mendesak.
Pascakongres
Perkembangan baru RRC
paskakongres tersebut seyogianya segera diantisipasi negara-negara di kawasan
agar ketegangan yang selama ini memang telah berlangsung, terutama di kawasan
sengketa Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Semenanjung Korea, tidak
semakin meningkat. Kegagalan negara-negara di kawasan mengelola dinamika itu
akan berdampak jangka panjang, terutama terhadap upaya mereka meningkatkan
rasa saling percaya, memelihara stabilitas kawasan, serta mempererat kerja
sama kolektif di berbagai bidang.
Karena itu, merupakan suatu
keharusan bagi negara-negara di kawasan untuk lebih erat merangkul dan
meningkatkan dialog dengan RRC agar lingkungan kondusif yang dibutuhkan bagi
kelangsungan program pembangunan mereka tetap terpelihara. Upaya RRC memenuhi
aspirasinya menjadi kekuatan regional atau global tidak harus mengorbankan
kepentingan nasional negara-negara di kawasan.
Sudah tiba saatnya bagi
Indonesia menggagas aliansi strategis dengan India dan Jepang untuk secara
kolektif menyelenggarakan serangkaian dialog dengan pemimpin baru RRC
pascakongres agar kawasan ini tetap menjadi salah satu sumber pertumbuhan
ekonomi dunia. Sejauh ini, arsitektur kawasan berbasis ASEAN bak sebuah ”rumah
kartu” yang mudah runtuh jika salah satu kartu (negara anggota) ditarik atau
mendapatkan tekanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar