Mengasuh BBM Satu Harga
Ibrahim Hasyim ; Komisioner Badan Pengatur Hilir Migas 2007-Mei
2017
|
TEMPO.CO,
01 November
2017
Kebijakan bahan bakar minyak
(BBM) satu harga merupakan kebijakan pemerintah yang berani. Sampai saat ini,
Pertamina sudah membangun dan mengoperasikan lembaga penyalur BBM di 26
lokasi yang tersebar di Papua, Maluku, dan Kalimantan sebagai bagian dari
target 148 lokasi pada akhir 2019.
Dari perspektif keadilan,
kebijakan ini sangat bagus. Masalahnya, BBM jenis Premium sudah masuk
kategori BBM non-subsidi. Maka, sungguh mengejutkan bila pemerintah
memberikan penugasan tambahan kepada badan usaha untuk memasok BBM ke lokasi
terpencil tanpa insentif langsung. Tugas ini tentu memberatkan mereka. Kalau
tidak diasuh, hal ini bisa berpotensi macet di jalan. Paling tidak, ada tiga
potensi masalah yang perlu diasuh agar dampaknya minimal, yakni penentuan
titik lokasi penyalur, pemilihan moda mata rantai pasok, serta mitigasi
dampak pertumbuhan konsumsi dan biaya. Titik lokasi penyalur adalah titik
lokasi dibangunnya infrastruktur penyalur BBM dan di lokasi itulah titik
serah BBM satu harga.
Contohnya, pembangunan sebuah
lembaga penyalur BBM di Yakuhimo, Papua, sehingga di titik itu harganya sama.
Tapi wilayah Yakuhimo dan kabupaten lain cukup luas.Karena masih banyak titik
lokasi yang belum terlayani, maka mengalirlah BBM murah itu ke sana. Hal ini
akan sulit untuk dibendung. Itu yang menyebabkan setiap pasokan BBM habis
dalam hitungan jam. Dalam situasi seperti ini, hanya ada dua pilihan:
menambah titik lokasi baru di kabupaten itu atau membangun di kabupaten lain.
Di kabupaten yang pertumbuhan konsumsinya tinggi, penambahan titik lokasi di
kabupaten yang sama akan sangat diperlukan.
Pertamina pasti berpengalaman
kala membangun 43 depot BBM di wilayah timur pada 1970-an. Karena
infrastruktur tahap awal dibangun dengan kapasitas kecil, maka pasokan cepat
mengalami kekurangan. Hal ini janganlah terulang karena pembangunannya butuh
waktu lama. Maka, menambah kapasitas dengan penyalur baru di satu kabupaten
menjadi sangat perlu. Moda transportasi yang digunakan untuk memasok BBM ke
wilayah terpencil pada umumnya adalah angkutan udara dan angkutan air karena
infrastruktur jalan darat belum ada. Angkutan udara yang digunakan adalah
pesawat terbang kecil dengan muatan 3 ton BBM, yang terbang bolak-balik dan
kerap terganggu oleh perubahan cuaca.
Pengalaman pasokan BBM ke
Wamena, yang sudah berlangsung lebih dari 15 tahun, adalah guru yang paling
berharga. Diawali dengan volume kecil, kemudian konsumsinya membengkak dengan
cepat sekali sehingga menjadi seperti sekarang. Ini telah menyebabkan biaya
angkut merangkak naik dengan cepat. Logis bila Pertamina berupaya untuk
membatasi volume agar ongkos angkut dapat ditekan kenaikannya. Akibatnya,
pasar BBM Wamena kemudian terbelah dua: BBM harga subsidi dan BBM dengan
harga yang lebih mahal. Supaya tidak menjadi rebutan, pemerintah daerah pun
turun tangan mengaturnya. Kondisi itu diperparah lagi dan sulit dihindari
karena BBM dari Wamena pun mengalir ke kabupaten lain di sekitarnya.
Konsumsi BBM di lokasi
terpencil sangat cepat naik, terutama karena merembes ke lokasi lain yang
belum ada lembaga penyalurnya. Ini menakibatkan pasokan BBM cepat menurun.
Mitigasi dampaknya harus dilakukan dari jauh hari. Tidak semua permasalahan
di tiap lokasi bisa diperbaiki badan usaha dengan efisiensi rantai pasokan.
Pemerintah juga perlu membangun jalan darat. Bayangkan kalau jalan Jayapura
ke Wamena selesai pembangunannya, maka keandalan pasokan BBM di sana pasti
menjadi jauh lebih baik.
Lain lagi halnya dengan moda
transportasi air, seperti dalam kasus memasok BBM ke hulu Sungai Kapuas di
Kalimantan di dekat perbatasan Malaysia. Awalnya, kapal mengangkut 250 drum
BBM, tapi kemudian harus ditukar dengan kapal berkapasitas 100 drum karena
sungai mulai dangkal. Begitu seterusnya hingga sampai ke lokasi penyalur,
yang hanya bisa dilayari oleh kapal pengangkut 20 drum.
Kondisi seperti ini bisa
terjadi di mana saja. Karena itu, program BBM satu harga harus dilakukan
bertahap dengan selalu memperhatikan keandalan mata rantai pasok ke titik
lokasi yang ditetapkan dan terus-menerus mengikuti tingkat pertumbuhan
konsumsi. Program ini harus diasuh. Mitigasi terhadap dampak pertumbuhan
konsumsi dan biaya yang cepatharus pula dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar