Rapor Ekonomi Jokowi-JK
Riwi Sumantyo ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS Surakarta
|
JAWA
POS, 01 November 2017
PADA Oktober 2017, genap tiga
tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK). Tidak
dimungkiri ada beberapa pencapaian yang berhasil diraih selama masa
pemerintahannya. Namun, di sisi lain tentu saja ada beberapa aspek yang harus
dikritisi demi perbaikan ke depan. Beberapa capaian bahkan bisa dikatakan
sebagai milestone karena relatif belum banyak dilakukan pada masa-masa
presiden sebelumnya.
Pembangunan infrastruktur yang
merupakan salah satu penekanan utama saat ini telah menunjukkan bukti awal
keberhasilannya. Tujuan utamanya adalah menekan biaya transportasi dan
logistik yang selama ini diduga merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya high cost economy dan menyebabkan daya saing produk Indonesia
kalah dibanding negara lain.
Saat ini konektivitas
antarkabupaten/kota di berbagai wilayah, baik di Jawa dan terutama di luar
Jawa, sudah jauh lebih baik. Terbangunnya sekian banyak ruas tol, pelabuhan,
dan bandara menjadi bukti yang harus diakui. Pola pembangunan sekarang juga
tidak lagi bersifat Jawa-sentris karena pemerintah sangat memperhatikan ketertinggalan
wilayah di luar Jawa.
Rintisan Trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua sudah mulai menunjukkan hasil- nya. Yang juga fenomenal adalah
kebijakan penetapan harga BBM tunggal sehingga masyarakat di pegunungan Papua
tidak harus membayar harga BBM sekian puluh kali lipat lebih tinggi dari
masyarakat Jawa. Beberapa hal ini relatif belum banyak dilakukan oleh para
pendahulunya, yang biasanya lebih banyak mengambil kebijakan yang ’’relatif
aman’’, bahkan cenderung populis. Sebagai penyeimbang, pembangunan
infrastuktur lain juga mendapat kritik karena dinilai terlalu ambisius,
misalnya megaproyek 35.000 mw di bidang kelistrikan.
Pertumbuhan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, catatan
pertama yang perlu dikemukakan adalah pertumbuhan ekonomi karena variabel ini
mempunyai multiplier effect yang besar terhadap aspek yang lain. Sejauh ini,
pertumbuhan ekonomi belum begitu menggembirakan. Tahun 2014 sampai 2016,
angkanya berturutturut sebesar 5,02%, 5,04%, dan 5,02%. Pada tahun 2017 ini
target pertumbuhan ekonomi hampir mustahil tercapai karena pada kuartal 1 dan
2 angkanya hanya 5,01%. Untuk mencapai 5,2%, berarti pertumbuhan ekonomi pada
kuartal 3 dan 4 rata-rata harus sebesar 5,39%. Suatu angka yang kelihatannya
nyaris mustahil terpenuhi di tengah isu adanya pelemahan daya beli masyarakat
dan minimnya ekspansi usaha.
Capaian ini relatif mini karena
daya dukung terhadap pengurangan angka pengangguran dan penurunan kemiskinan
relatif terbatas. Data terakhir menunjukkan tingkat pengangguran per Februari
2017 masih 5,33% dan tingkat kemiskinan pada Maret 2017 sebesar 10,64%.
Idealnya, supaya pengangguran dan kemiskinan turun secara masif, pertumbuhan
ekonomi seharusnya sekitar 7%. Diukur dari kapasitas dan daya dukung
ekonomi-sosial yang ada, capaian sebesar ini bukanlah suatu utopia. Apalagi
saat ini Indonesia tengah menikmati bonus demografi, seharusnya potensi ini
bisa dioptimalkan.
Pembangunan infrastruktur yang
berdampak jangka panjang dianggap sebagai salah satu faktor penyebab,
meskipun argumen- tasi ini masih bisa diperdebatkan. Rendahnya pertumbuhan
ekonomi juga ditambah dengan turunnya elastisitas penciptaan lapangan kerja,
dari yang semula di angka 400 ribu menjadi sekitar 250 ribu. Otomatis
penciptaan lapangan kerja di sektor formal semakin terbatas.
Untungnya, di Indonesia ada
sektor informal yang menjadi ’’penyelamat’’ sehingga tingginya angka
pengangguran tidak sampai menimbulkan gejolak sosial. Penyebaran kue
pembangunan ekonomi juga belum begitu memuaskan, dilihat dari masih tingginya
indeks gini yang ada. Posisi terakhir angkanya di 0,39%, turun sedikit
dibanding pada tahun 2016 di angka 0,40. Pemerataan ekonomi bisa dikatakan
belum berjalan sebagaimana mestinya.
Yang juga banyak mendapat
sorotan adalah pertumbuhan utang luar negeri Indonesia. Bank Indonesia (BI)
melaporkan, per Agustus 2017, utang luar negeri Indonesia tercatat USD 340,5
miliar atau setara Rp 4.590,9 triliun. Angka ini tumbuh 4,7% dibandingkan
Juli 2017. Utang luar negeri sektor swasta tercatat USD 165,6 miliar atau
48,6% dari ULN. Angka ini tumbuh 0,1% setelah pada Juli 2017 mengalami
penurunan sebesar 1,1%. Utang sektor publik pada Agustus 2017 tercatat USD
174,9 miliar atau 51,4% dari ULN. Angka ini juga tumbuh 9,5%, meningkat dari
9,2% pada Juli 2017. Memang dilihat dari debt service ratio, angkanya relatif
aman karena masih di bawah 60%, sesuai standar internasional.
Rasio ULN
Indonesia terhadap PDB pada akhir triwulan II 2017 tercatat stabil di kisaran
34,2% dan bahkan menurun jika dibandingkan dengan triwulan II 2016 yang sebesar
37,2%.
Di samping beberapa hal di
atas, ada catatan positif yang perlu diapre siasi. Kinerja inflasi, cadangan
devisa, dan IHSG cukup memuaskan. Nilai tukar rupiah sejauh ini relatif
stabil, meskipun akhir-akhir ini agak melemah ke level 13.500-an. Memang
prestasi ini lebih tepat diberikan kepada Bank Indonesia, namun pemerintah
tetap memiliki kontribusi. Rupiah dan IHSG banyak dipengaruhi pemberian
peringkat layak investasi oleh tiga lembaga rating terkemuka. Indonesia juga
mengalami peningkatan kinerja dalam hal peringkat kemudahan berbisnis dan
daya saing.
Sebagai catatan akhir, dapat
disampaikan bahwa rapor ekonomi pemerintahan Jokowi-JK cukup memadai meskipun
masih banyak sekali PR yang tersisa. Mungkin kalau di dunia pendidikan lebih
pas diberi nilai tujuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar