Masa
Depan Bung Besar
Asep Salahudin ; Tenaga Ahli UKP-PIP;
Wakil Rektor I IAILM
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
|
KOMPAS,
01 November
2017
Berbicara keindonesiaan hari
ini, diakui atau tidak, tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang Bung Karno.
Bung Karno tidak hanya berhasil memaksa kita menengok masa silam, tetapi juga
meyakinkan kita untuk memiliki kesanggupan meneropong masa depan.
Bung Karno tidak hanya disebut
sebatas proklamator, presiden pertama RI, waliyul amri, dan orator ulung.
Lebih dari itu, sekian karyanya
mengilhami bangsa ini agar terampil, berdikari, dan percaya diri
meretas jalan ke depan. Negara despotik Orde Baru di bawah Jenderal Besar
Soeharto—lengkap dengan aparatusnya—telah berupaya mengubur berkali-kali setiap kenangan
tentang Bung Karno. Alih-alih menampakkan hasil maksimal, yang terjadi justru
kerinduan terhadap Bung Karno kian menjadi-jadi.
Tentu saja karya terbesarnya
adalah Pancasila. Walaupun setiap sila lahir dari hasil diskusi segenap
manusia pergerakan, Bung Karno adalah sosok yang berperan besar dalam
merumuskan dasar negara itu. Pancasila adalah refleksi utuh dari pemadatan
pemikirannya sepanjang perjuangannya. Ideologi-ideologi yang dipikirkan dan
ditulisnya pada awal-awal masa pergerakan terwadahi dalam setiap sila itu.
Lima prinsip dasar itu semula adalah: ”kebangsaan Indonesia”,
”internasionalisme atau perikemanusiaan”, ”mufakat atau demokrasi”,
”kesejahteraan sosial”, dan ”ketuhanan yang berkebudayaan”.
Gagasan keindonesiaan
Kekuatan Bung Karno terletak
pada tindakan politiknya sekaligus kekuatan pikirannya. Pikiran Bung Karno
tentang bangsanya tidak dicomotnya begitu saja dari teori-teori besar
pemikiran Barat, tetapi justru diendapkan terlebih dahulu dan
dikontekstualisasikan dengan roh kebudayaan Nusantara. Di tangan Bung Karno,
Marxisme, sosialisme, dan bahkan Islamisme tampak jadi unik, khas,
berkarakter, dan sangat kuat atmosfer keindonesiaannya. Bahkan, membubuhkan penafsiran baru yang jauh berbeda daripada
tokoh yang dikutipnya. Bung Karno tak segan-segan mengawinkan semua ideologi
itu dan meyakini bahwa cara seperti itu yang paling relevan dengan manusia
Indonesia.
Masyarakat Nusantara yang
heterogen hanya dapat dipersatukan tidak dengan membangun jembatan ideologi
tunggal, eksklusif, dan tertutup, tetapi justru lewat sikap lapang. Islamisme
saja hanya akan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Pan-Islamisme yang
bercorak Timur Tengah, sementara kukuh dalam komunisme hanya akan menempatkan
Indonesia sebagai bagian dari blok Uni Soviet atau RRC. Maka, membangun jalan
tengah agar tidak jatuh dalam kutub ekstrem adalah satu keniscayaan sekaligus
juga satu-satunya cara yang bisa dijadikan modal sosial-politik untuk
membangun persatuan. Kata Bung Karno, ”Bahtera yang akan membawa kita kepada
Indonesia merdeka adalah bahtera persatuan.”
Terbukti dalam sejarah
gagasan-gagasan Bung Karno berhasil menjadi kiblat dan rujukan
politik-kultural Indonesia. Kelompok kiri mengalami kegagalan di tangan PKI
juga mazhab kanan berantakan ketika diupayapaksakan DI/NII. Paham
Soekarno-lah yang menjadi arus utama sampai hari ini, menjadi pegangan
manusia Indonesia walaupun Soekarno-nya sendiri secara fisik kekuasaannya
berhenti tahun 1966 sejak revolusi merangkak yang dilakukan Soeharto dan
Angkatan Darat lengkap dengan Supersemar yang sampai saat ini surat
aslinya tak karuan entah di mana.
Jalan keagamaan
Bung Karno menulis sangat
lengkap: mempercakapkan politik,
sosial, jender, ekonomi, juga tema keagamaan. ”Surat-Surat dari Ende” dan
perdebatannya dengan M Natsir tentang hubungan Islam dan negara
memperlihatkan kecenderungan politik
Bung Karno yang hanya bisa menerima Islam sebatas nilai-nilainya: spirit atau
api Islam. Pandji Islam yang terbit bulan Mei 1940 dengan jelas
memperlihatkan bagaimana Soekarno memuji keberhasilan Mustafa Kemal Attaturk
yang telah memisahkan agama dan negara di Turki, mengakhiri sistem daulah
beralih pada demokrasi dan republikanisme.
Bagi Bung Karno, Islam yang benar
itu identik dengan kemajuan, berpikir
progresif, membuka pintu ijtihad, serta adaptif terhadap demokrasi dan
kemodernan. Ketika umat Islam ingin memengaruhi negara, tidak boleh lewat
jalan pemaksaan, apalagi kekerasan, tetapi semestinya melalui jalur formal di
parlemen. Ruang publik konstituante harus dimanfaatkan untuk menguji apakah
gagasan umat Islam (dan agama lain) disetujui atau tidak. Kalau aspirasi
Islam itu ditampik, kata Bung Karno, ”Tuan punya rakyat belum rakyat Islam!”
Dalam istilah KH Abdurrahman Wahid, Islam itu dalam bingkai kenegaraan harus
ditempatkan bukan sebagai aspirasi, melainkan inspirasi.
Kata Bung Karno dalam Pandji
Islam, ”Kalau mereka tidak terima konstitusi Islam, apakah mau paksa saja
kepada mereka, dengan menghantam tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka
musti ditundukkan kepada kemauan tuan itu? Tuan mau main diktator, mau paksa
mereka dengan senjata bedil dan meriam? Kalau mereka tidak mau tunduk pula,
bagaimana? Tuan tidak mau basmi mati mereka itu habis-habisan secindel
abangnya karena zaman sekarang adalah
zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu.”
Kaum radikal
Yang relevan dari Bung Karno
bukan hanya gagasan politik (yang berdaulat), ekonomi (yang berdikari) dan
budaya (yang berkepribadian), melainkan juga caranya menempatkan agama dalam
konteks kenegaraan. Bung Karno paham betul bahwa bangsa Indonesia yang
majemuk hanya bisa bersatu ketika kaum agamawan tidak memaksakan kehendaknya
menerapkan agama di ruang publik bernegara. Justru Pancasila ditampilkan
tidak hanya untuk memuaskan kepentingan politik dan mengatur keseimbangan
elite manusia pergerakan saat itu, tetapi lebih dari itu adalah memastikan
bahwa kebinekaan akan tetap terjamin.
Bahwa kemerdekaan yang telah
mengorbankan nyawa, pikiran, dan
benda tidak boleh kemudian berantakan hanya karena alasan dangkal egoisme
setiap agama. Harus diakui, rontoknya negara-negara di Timur Tengah dalam
peristiwa kelam ”Musim Semi Arab” faktor utamanya karena negara-negara itu
tidak memiliki ”Pancasila” yang mengikat setiap agama, etnik yang berbeda,
dan suku bangsa dalam kesepakatan bersama. Lalu, dengan mudah mereka
mengangkat senjata, membunuh satu sama lain atas nama ”kebenaran” parsial
yang diyakini setiap kelompok, berperang untuk menuntaskan dendam silam yang
diwariskan secara turun-temurun karena absennya sebuah ikatan yang dapat
mempersatukan satu dan lainnya. ”Kebenaran” bukan dibicarakan satu meja
dengan kepala dingin dan hujah diskursif, melainkan malah melalui senjata
yang memuntahkan peluru yang boleh jadi menyasar rakyat tak berdosa dan tidak
tahu apa-apa.
Kalau hari ini di negara kita
politik identitas kembali dihidupkan seperti pada hiruk pikuk tak bermutu
Pilkada DKI Jakarta, tidak menutup kemungkinan menjalar ke provinsi lain pada
hajat demokrasi Pemilu 2019, maka cara-cara seperti ini bukan hanya melambangkan lajur politik primitif,
melainkan juga mencerminkan absennya sikap menghargai para leluhur secara
semestinya. Politik identitas sebenarnya telah selesai dibicarakan. Para
pendiri bangsa sudah susah payah menjahit tenun kebangsaan sehingga
menghasilkan kain warna-warni keindonesiaan yang elok, jangan kemudian
jahitan itu dirobek atas nama politik sesat ”menggunting dalam lipatan” demi
memburu kekuasaan fana yang serba sesaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar