Kamis, 16 November 2017

Islam Moderat

Islam Moderat
Zuhairi Misrawi ;  Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;
Ketua Moderate Muslim Society, Jakarta
                                                    KOMPAS, 14 November 2017



                                                           
Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Raja Arab Saudi, dalam forum inisiatif investasi masa depan di Riyadh, di depan perwakilan 70 negara, menegaskan komitmennya untuk kembali ke Islam moderat.

Walhasil, diskursus Islam moderat membahana ke seantero dunia. Dunia menyambut komitmen tersebut dengan sukacita karena pada tahun-tahun mendatang dunia akan disuguhkan aliansi global Islam moderat yang akan membuahkan arus besar untuk menjadikan agama sebagai energi perdamaian.

Mesir melalui Universitas Al-Azhar telah lama menggaungkan pengarusutamaan Islam moderat yang disertai gerakan pembaruan pemikiran keagamaan (tajdid al-khithab al-dini). Kemudian disusul Indonesia yang direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama melalui gerakan Islam Nusantara dan Muhammadiyah dengan Islam berkemajuan-nya.

Tanggung jawab bersama

Komitmen Arab Saudi untuk meneguhkan Islam moderat merupakan kabar bahagia. Selama ini, negara kaya minyak itu dianggap oleh banyak pihak sebagai batu sandungan bagi moderasi Islam. Wahabisme sebagai ideologi resmi di negeri bersejarah itu dalam tiga dekade terakhir telah disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia yang ditengarai menjadi bibit tumbuhnya ekstremisme berjubah agama.

Ada dua paham yang menonjol dari Wahabisme, yaitu puritanisme dan pengafiran (takfir). Dalam puritanisme, Wahabisme ingin memurnikan Islam dari segala tradisi dan praktik yang dianggap bertentangan dengan esensi Islam. Dalam hal ini, Wahabisme menentang ziarah kubur, Maulid Nabi, sufisme, dan filsafat. Oleh karena itu, Wahabisme secara ideologis menentang tradisi pengikut keluarga Nabi Muhammad SAW (ahl al-bayt) yang melestarikan tradisi tersebut.

Masalahnya, yang melakukan ziarah kubur, Maulid Nabi, sufisme, dan filsafat tidak hanya para pengikut ajaran keluarga Nabi (ahl al-bayt), tetapi juga kalangan Muslim tradisional di berbagai belahan dunia Islam, tidak terkecuali di Indonesia, seperti NU, juga melestarikan tradisi ziarah kubur, Maulid Nabi, tarekat sufi, dan logika.

Sementara dalam pengafiran, Wahabisme secara rigid memahami dan memaknai doktrin kafir dalam Islam. Paham ini tidak hanya mengafirkan orang-orang yang berada di luar Islam, tetapi juga Muslim yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Bahkan, dalam batasan tertentu, mereka mengabsahkan pembunuhan terhadap mereka yang divonis sesat atau kafir (Khaled Abou el-Fadl, 2005).

Doktrin tersebut selama ini dipedomani oleh kelompok-kelompok teroris. Taliban sebagai salah satu faksi ekstremis di Afghanistan merupakan salah satu kelompok yang terinspirasi dari Wahabisme.

Bersamaan dengan itu, jaringan terorisme global terus tumbuh. Dari Jemaah Islamiyah, Al Qaeda, dan yang terakhir Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), semua kerap diidentikkan dengan kelompok takfiri,yang mudah mengafirkan dan menyesatkan pihak lain, baik dalam intra-agama maupun antar-agama.

Oleh karena itu, pernyataan Mohammed bin Salman bahwa ekstremisme yang ditengarai berkelindan dengan revolusi Islam Iran pada tahun 1979 sebenarnya tidak benar. Bahkan, kalau mau jujur, Iran justru terus mendorong moderasi Islam dengan membangun jembatan dialog di antara sesama umat Islam (Sunni-Syiah) dan dialog dengan umat agama-agama lain, termasuk dialog dengan Barat.

Dalam konteks tersebut, sebenarnya tidak mudah bagi Arab Saudi untuk meneguhkan moderasi Islam mengingat tantangan dan hambatannya sangat besar. Di antaranya karena kokohnya doktrin Wahabisme dan sistem politik yang tidak demokratis.

Madawi al-Rasheed (2017) meragukan langkah Arab Saudi kembali ke jalur moderasi Islam. Pasalnya, potret politik dan sosiologis Arab Saudi tidak memungkinkan adanya masyarakat yang terbuka, kritis, dan dialog konstruktif. Kerajaan masih melakukan kontrol penuh terhadap pandangan dan pemikiran keagamaan. Faktanya, beberapa ulama yang berseberangan dengan pemerintah ditangkap.

Padahal, menurut Al-Rasheed, Islam sendiri sebenarnya mempunyai mekanisme untuk melakukan reformasi dari dalam. Di dalam tradisi hukum Islam terdapat sejumlah mazhab yang memungkinkan perbedaan dalam tafsir terhadap teks suci. Olah pikir (ijtihad) mendapatkan tempat yang mulia dalam tradisi Islam. Jika benar mendapatkan dua pahala, dan jika salah pun mendapatkan satu pahala.

Maka, komitmen Arab Saudi untuk kembali ke jalur moderasi Islam sejatinya tidak hanya disambut dengan euforia berlebihan. Kita punya tanggung jawab untuk mendiseminasikan paham moderat yang sudah kokoh di negeri ini ke Arab Saudi.

Indonesia sebagai model

Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan mempunyai pandangan yang moderat. Indonesia dianggap mampu menghadapi paham-paham ekstrem yang berjubah agama dengan pendekatan deradikalisasi yang bersifat moderat. Jika dibandingkan dengan Mesir dan beberapa negara lain di Timur Tengah, Indonesia relatif masih jauh lebih berhasil dalam mengukuhkan moderasi Islam.

Saatnya kita mengekspor moderasi Islam ke Arab Saudi dan negara-negara lain di Timur Tengah sehingga kita bisa berperan lebih maksimal dalam mewujudkan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Kita selama ini belum menjadikan wajah Islam rahmatan lil ’alamin sebagai modal diplomasi dengan negara-negara lain, baik di Eropa, Amerika Serikat, maupun negara-negara Timur Tengah.
Padahal, dunia sangat membutuhkan paham keislaman yang moderat dan toleran untuk membentengi umat dari paham-paham ekstremis. Arab Saudi jadi salah satu contoh betapa mereka ingin meneguhkan moderasi Islam bersamaan dengan tumbuhnya generasi milenial yang berinteraksi dengan dunia luar melalui media sosial. Mereka menginginkan Islam yang inklusif, bukan Islam yang eksklusif.

Oleh karena itu, jika Arab Saudi betul-betul ingin menempuh jalur moderasi Islam, diperlukan pemikiran yang serius untuk meletakkan fondasi paradigmatik. Pertama, moderasi Islam meniscayakan interaksi antara teks dan konteks, antara masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Wahabisme tumbuh dalam konteks zamannya dan setelah hampir tiga abad tentu perlu reformasi untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam kaidah hukum Islam dikenal diktum: sebuah kebijakan berlandaskan sebab-musabab (al-hukmu yaduru ma’al illah wujudan wa ’adaman), termasuk—dalam kaitan ini—konteks di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.

Kedua, moderasi Islam meniscayakan apresiasi terhadap keragaman dan membumikan toleransi. Di mana pun di muka bumi, kita akan menghadapi keragaman agama, suku, ras, bahasa, jenis kelamin, dan orientasi seksual. Maka, sebagai makhluk Tuhan, kita mesti menghormati, menghargai, dan menerima keragaman tersebut dan menyemainya dalam hidup berdampingan dengan damai.

Ketiga, moderasi Islam sejatinya dapat mengukuhkan demokrasi dan hak asasi manusia. Mayoritas dunia Islam saat ini sudah menerima dan menerapkan demokrasi dan hak asasi manusia. Itu artinya, sudah tidak ada lagi hambatan antara Islam dan demokrasi. Yang menjadi persoalan saat ini adalah tegaknya nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Ketiga hal tersebut tidak mudah diimplementasikan oleh Arab Saudi karena mereka hidup dalam tradisi yang masih mengukuhkan identitas soliter. Pelan-pelan mereka harus melakukan ”revolusi keagamaan” dan ”revolusi kebudayaan” dengan belajar dari negara-negara lain yang sudah terbukti berhasil membumikan moderasi Islam. Belajar dari Indonesia bukan hal yang mustahil. Arab Saudi harus menerima kenyataan bahwa salah satu model moderasi Islam yang sudah mampu memperkokoh solidaritas kebangsaan dan berperan dalam konteks kemanusiaan adalah Islam Nusantara yang berkemajuan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar