KTP
Agama dan Penghayat Kepercayaan
Azyumardi Azra ; Guru Besar, Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
14 November
2017
Keputusan Mahkamah
Konstitusi yang menetapkan pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom
agama KTP dipandang banyak kalangan advokasi HAM dan kerukunan umat beragama
dan berkeyakinan sebagai historis dan landmark. Keputusan MK ini bisa
mengakhiri pengalaman buruk penghayat kepercayaan yang sering mendapat
perlakuan diskriminatif dan tidak adil terkait pelayanan dari negara.
Perlakuan diskriminatif itu menyangkut administrasi kependudukan mencakup
penolakan pencantuman penghayat kepercayaan dalam kolom agama di KTP.
Mereka kesulitan dalam
pendaftaran perkawinan, penerbitan akta kelahiran, dan pendidikan anak
mereka. Selain itu, mereka mendapat kesulitan mendirikan tempat melakukan
penghayatan kepercayaan secara komunal. Dalam beberapa kasus, mereka juga
sulit mendapatkan lahan untuk penguburan di tempat pemakaman umum.
MK menghapuskan
diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan dalam administrasi kependudukan
yang lazim mengimbas ke berbagai aspek kehidupan lain. MK menerima
keseluruhan permohonan uji material Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. UU No 23/2006 telah diubah dengan UU No 24/2013,
tetapi pasal dan ayat yang jadi sumber masalah tetap bertahan sehingga
digugat sejumlah kelompok aliran kepercayaan ke MK.
Dalam keputusannya, MK
menyatakan, kata ”agama” dalam UU Adminduk Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat
22 bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2. Pasal 29 UUD 1945
menyatakan, ”negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk memeluk agama
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Menurut MK, kata ”agama” bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak mencakup ”kepercayaan”.
Dengan kata lain, kepercayaan punya kedudukan hukum sama dengan agama.
Pada pihak lain, ada
kalangan penganut agama arus utama (mainstream) yang menilai keputusan MK itu
mengacaukan distingsi dan perbedaan di antara agama dan aliran keper- cayaan.
Bagi kalangan ini, aliran kepercayaan bukan agama karena tidak cocok dengan
definisi konvensional tentang agama. Karena itu, bagi mereka, agama tidak
setara dengan aliran kepercayaan. Keputusan MK, langsung ataupun tidak
langsung, menempatkan aliran kepercayaan sejajar dengan agama.
Dalam definisi
konvensional, agama memiliki beberapa kriteria, sejak dari ada nabi
pembawanya, ada kitab suci dan ajarannya, lengkap dengan ibadah dan
ritualnya. Dalam perspektif ini, aliran kepercayaan tidak termasuk dalam
kategori agama. Meski agama—khususnya bersifat universal, melintasi batas
wilayah, etnis dan bangsa, dan negara—jelas berbeda dengan aliran kepercayaan
yang umumnya bersifat lokal, juga ada komonalitas dan afinitas di antara
kedua entitas ini. Agama dan aliran kepercayaan sama-sama bertujuan
meningkatkan spiritualitas penganut atau penghayatnya.
Dalam perspektif ini,
sepatutnya umat beragama arus utama menghargai penghayat ke- percayaan, saat
sama juga memperlakukan mereka sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan untuk
mencapai ketinggian spiritual dan moral. Umat beragama arus utama tidak perlu
merasa terancam dengan pengakuan komunitas penghayat kepercayaan. Sebaliknya,
mereka dapat dijadikan mitra membangun manusia Indonesia yang kuat secara
spiritual-moral. Semua komunitas umat beragama arus utama dapat lebih
sungguh-sungguh membina umat masing-masing.
Seberapa besar jumlah
komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia? Menurut data Direktorat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Kemdikbud, pada 2017 ada 187
kelompok komunitas penghayat kepercayaan di tingkat pusat dengan 1.034 cabang
di sejumlah daerah Indonesia. Jumlah mereka diperkirakan sekitar 12 juta
orang.
Dengan jumlah penghayat
sebanyak itu, apakah keputusan MK mengakibatkan penggerusan jumlah penganut
agama arus utama? Dalam pandangan politik demografi keagamaan umat beragama,
hal ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Inilah alasan lain
kalangan umat beragama arus utama mempertanyakan keputusan MK.
Dalam banyak literatur dan
pembicaraan pada konferensi tingkat nasional dan internasional, kehidupan
beragama Indonesia sering mendapat pujian. Hal ini karena Pancasila mengakui
dan memberi tempat terhormat pada agama dalam sila pertamanya, Ketuhanan Yang
Maha Esa. Namun, pada saat sama, mereka mempertanyakan dan mengkritik
perlakuan diskriminatif terhadap perlakuan yang tidak sama dari negara
terhadap umat beragama atau berkeyakinan berbeda.
Indonesia yang tidak
berdasarkan agama tertentu justru menjadikan enam agama sebagai ”agama yang
diakui negara” atas dasar UU PNPS No 1/1965. Keenam agama itu adalah Islam,
Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Sejauh ini hanya
umat enam agama yang diakui negara (state-recognized religions) yang mendapat
pelayanan dari negara lewat Kementerian Agama. Di luar keenam agama itu, ada
agama lain, semacam Baha’i, Yahudi, atau Sikh. Keputusan MK mengandung amar
implisit bagi penganut agama-agama ini.
Keputusan MK patut
disikapi secara bijak. Apalagi soal keimanan, keyakinan, dan kepercayaan
merupakan pilihan personal secara bebas dan juga terkait dengan hidayah
(blessing). Karena itulah, diskriminasi terkait umat beragama dan
berkeyakinan dalam bentuk apa pun mesti dihapuskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar