Minggu, 05 November 2017

Imajinasi Kepribumian, Kekerasan Kolosal

Imajinasi Kepribumian, Kekerasan Kolosal
Geger Riyanto  ;   Peneliti Sosiolog;  Bergiat di Koperasi Riset Purusha
                                                    TIRTO.ID, 02 November 2017



                                                           
Dampak persekusi, kebencian, dan kekerasan sangat nyata—orang-orang terampas martabat, harta, sanak saudara, bahkan nyawanya sendiri. Tapi kekerasan kolektif acapkali dimulai dari satu tempat tak terduga: imajinasi kita.

Imajinasi seperti apa tepatnya? Imajinasi bahwa kita sebagai suku bangsa, bangsa, atau umat terancam dipinggirkan, digusur, dan disingkirkan oleh bangsa lain. Bahwa keberadaan kita rentan dipunahkan oleh satu kelompok yang berbeda drastis dari kita dan memusuhi kita semata karena memang itu hakikat keberadaan mereka. Ketika satu imajinasi ini sudah berhasil dibangkitkan, orang-orang akan tergugah. Mereka akan memilih politisi yang janji-janjinya merisak kelompok liyan. Puncaknya, mereka akan mengintimidasi, mengancam, atau bahkan menghabisi siapa pun yang dianggap berbeda.

Fakta tidak akan mempunyai arti apa-apa karena pada titik tersebut yang bekerja adalah asas-asas ketakutan dan kemurkaan.

Api konflik di Ambon, yang menyebabkan ribuan jiwa meninggal serta ratusan ribu mengungsi, terpercik dari perselisihan antara pengemudi angkutan umum dan sekelompok orang. Kematian seorang pemimpin perkampungan Dayak, yang tak diketahui jelas siapa pelakunya, berujung pengusiran orang-orang Tionghoa besar-besaran dari Kalimantan Barat pada 1967. Mengapa?

Insiden-insiden kecil tersebut, yang tak ada hubungannya dengan pertikaian etnis dan agama, memantik imajinasi khalayak sehingga tergulung perang suku dan agama. Mereka merasa harus ikut mengangkat senjata atau, bila tidak, eksistensi mereka di tanah kelahiran akan lenyap.

Imajinasi dan Kekerasan Kolosal

Peristiwa semacam itu tak hanya terjadi sekali-dua kali dalam sejarah—dengan taraf yang kolosal.

Perang etnis yang mengiringi perpecahan Yugoslavia, misalnya, tak hanya disulut oleh kematian pemimpin karismatik Josip Broz Tito atau melemahnya komunisme. Dari penelusuran Norman Cigar, kebangkitan ultranasionalisme Serbia, yang punya andil mengawali peperangan ini, dipupuk kasak-kusuk bahwa ancaman Islamisasi tengah menghadang bangsa Serbia yang mayoritas Kristen.

Para sarjana Serbia, kelompok yang seharusnya terpelajar dan dapat menetralisir kekeruhan, bahkan mengembuskan kabar yang jelas-jelas keliru bahwa lebih dari sejuta penduduk Islam dari Turki bakal direpatriasi ke Bosnia. Imajinasi soal bangkit kembalinya Kesultanan Utsmani akhirnya menggentayangi warga Serbia.

Saya yakin, pada titik ini, Anda sudah mendengar tentang kenestapaan orang-orang Rohingya, sebuah kelompok etnis di Myanmar yang dipersekusi akibat rumor liar bahwa mereka mengancam keberadaan kelompok mayoritas. Dalam situasi ketika mereka bahkan tak diperkenankan keluar kampungnya tanpa izin, orang Rohingya tetap dianggap bahaya serius bagi rakyat mayoritas di Myanmar. Ketika penguasa tak menemukan bukti-bukti yang mampu menyangga kemasygulannya, mereka merancang hoaks yang menunjukkan perbuatan-perbuatan destruktif orang Rohingya, yang akhirnya mereka yakini sendiri.

Hal yang sama niscaya Anda temukan pada pengalaman orang-orang Armenia di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Pada 1915, pemerintahan Utsmani melansir suatu kekejian yang menyebabkan bangsa Armenia, yang bermukim di wilayahnya, terbunuh dan terusir. Namun, alih-alih melihatnya sebagai genosida, rezim Utsmani menganggapnya sebagai perang saudara di antara Islam dan Kristen. Latar belakangnya? Dalam penjelasan Bernard Lewis, kekejaman ini dimungkinkan karena pemerintah Turki melihat orang-orang Armenia sebagai ancaman berbahaya yang sewaktu-waktu dapat merenggut tanah air.

Simbiosis Imajinasi dan Politik

Sayangnya, betapapun kita dapat membuktikan bahwa imajinasi penyangga ketakutan dan kebencian ini tak berpijak pada fakta, menyingkirkannya dari kepala sangat sulit. Muasalnya, imajinasi ini perkakas mobilisasi politik yang ampuh. Ia sanggup mewujudkan tujuan-tujuan para aktor. Ia pun memberikan kenikmatan tiada banding bagi mereka yang merasa terlibat dalam sebuah perjuangan bermakna demi menyelamatkan kaumnya.

Di Indonesia, idiom yang sangat dekat dengan imajinasi permusuhan ini adalah “pribumi” dan “non-pribumi.” Ia mengandaikan keberadaan "warga asli Indonesia" yang ruang-ruang kehidupannya semakin tergerus. Dan politik ketakutan seperti ini dirancang agar diarahkan "kesalahannya" kepada warga yang sekadar menumpang, yang loyalitas terhadap tanah airnya tak terbukti tapi menguasai kue-kue perekonomian lebih besar dibandingkan yang lain. Begitu Anda dedah lebih jauh imajinasi ini, artikulasi idiom “pribumi” dan “non-pribumi” tak pernah lepas dari kepentingan-kepentingan penguasaan.

Ambil saja contoh Orde Baru. Ketika kekuasaan rezim yang luar biasa korup tengah marak-maraknya dirongrong gerakan demokrasi dan krisis ekonomi, ilmuwan politik Robert Hefner menemukan sebuah buklet dibagi-bagikan ke kelompok-kelompok Islam berpengaruh. Satu tim intelijen tengah bergerak merangkul kekuatan-kekuatan religius untuk mengamankan dukungan bagi Soeharto.

Apa yang digambarkan di buklet tersebut? Soeharto dikisahkan tengah berjuang memulihkan kedaulatan kelompok “pribumi” dari dominasi kelompok “non-pribumi” yang bersekongkol dengan gerakan Zionis, CIA, serta Vatikan. Soeharto membutuhkan bantuan kelompok “pribumi” ini untuk mempertahankan kepemimpinannya dari gempuran-gempuran aliansi jahat tersebut.

Saya tahu, situasi ini tak bisa digeneralisasi ke semua kesempatan. Kendati demikian, kita tak bisa menampik fakta bahwa ketika imajinasi ini diembuskan, pihak-pihak yang mengembangkannya mudah menuai citra pejuang. Maka, semakin mulus pula jalan pihak-pihak yang mengejar kekuasaan secara vulgar untuk meraih kepentingannya lantaran dianggap tulus berjuang bagi kaumnya. Dan kita bisa menerka, cara yang sama akan terus-menerus menggoda orang untuk menggelorakan imajinasi permusuhan.

Pada hari-hari kelam pembersihan etnis Bosnia, sebagian rakyat Serbia tidak melihat Slobodan Milosevic sebagai penjahat perang oportunis yang menunggangi ketakutan dan kebencian untuk menggapai pucuk kekuasaan. Ia adalah pahlawan mereka. Demikian juga jenderal-jenderal Myanmar yang zalim terhadap orang-orang Rohingya. Mereka tidak dilihat sebagai penindas kelompok lemah dan rentan, alih-alih pelindung rakyat.

Dan tentu saja, siapa pun yang bisa berkuasa dan dicitrakan pahlawan berkat imajinasi jahat ini akan mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan citra tersebut. Karena di luar itu, mereka cuma pengumbar kebencian, penindas minoritas, atau penyebar kabar palsu. Dus, simbiosis antara ketakutan dan kebencian dengan sistem politik inilah yang seringkali membubungkan khayalan politik lebih tinggi ketimbang fakta.

Anda mungkin pernah mendengar kata-kata inspiratif Einstein: “imajinasi lebih penting dibandingkan pengetahuan.” Tragisnya, hal inilah yang berlaku kala kebenaran seharusnya meraja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar