Imajinasi
Kepribumian, Kekerasan Kolosal
Geger Riyanto ; Peneliti Sosiolog; Bergiat di Koperasi Riset Purusha
|
TIRTO.ID,
02 November
2017
Dampak persekusi, kebencian,
dan kekerasan sangat nyata—orang-orang terampas martabat, harta, sanak
saudara, bahkan nyawanya sendiri. Tapi kekerasan kolektif acapkali dimulai
dari satu tempat tak terduga: imajinasi kita.
Imajinasi seperti apa tepatnya?
Imajinasi bahwa kita sebagai suku bangsa, bangsa, atau umat terancam
dipinggirkan, digusur, dan disingkirkan oleh bangsa lain. Bahwa keberadaan
kita rentan dipunahkan oleh satu kelompok yang berbeda drastis dari kita dan
memusuhi kita semata karena memang itu hakikat keberadaan mereka. Ketika satu
imajinasi ini sudah berhasil dibangkitkan, orang-orang akan tergugah. Mereka
akan memilih politisi yang janji-janjinya merisak kelompok liyan. Puncaknya,
mereka akan mengintimidasi, mengancam, atau bahkan menghabisi siapa pun yang
dianggap berbeda.
Fakta tidak akan mempunyai arti
apa-apa karena pada titik tersebut yang bekerja adalah asas-asas ketakutan
dan kemurkaan.
Api konflik di Ambon, yang
menyebabkan ribuan jiwa meninggal serta ratusan ribu mengungsi, terpercik
dari perselisihan antara pengemudi angkutan umum dan sekelompok orang.
Kematian seorang pemimpin perkampungan Dayak, yang tak diketahui jelas siapa
pelakunya, berujung pengusiran orang-orang Tionghoa besar-besaran dari
Kalimantan Barat pada 1967. Mengapa?
Insiden-insiden kecil tersebut,
yang tak ada hubungannya dengan pertikaian etnis dan agama, memantik
imajinasi khalayak sehingga tergulung perang suku dan agama. Mereka merasa
harus ikut mengangkat senjata atau, bila tidak, eksistensi mereka di tanah
kelahiran akan lenyap.
Imajinasi dan Kekerasan Kolosal
Peristiwa semacam itu tak hanya
terjadi sekali-dua kali dalam sejarah—dengan taraf yang kolosal.
Perang etnis yang mengiringi
perpecahan Yugoslavia, misalnya, tak hanya disulut oleh kematian pemimpin
karismatik Josip Broz Tito atau melemahnya komunisme. Dari penelusuran Norman
Cigar, kebangkitan ultranasionalisme Serbia, yang punya andil mengawali
peperangan ini, dipupuk kasak-kusuk bahwa ancaman Islamisasi tengah
menghadang bangsa Serbia yang mayoritas Kristen.
Para sarjana Serbia, kelompok
yang seharusnya terpelajar dan dapat menetralisir kekeruhan, bahkan
mengembuskan kabar yang jelas-jelas keliru bahwa lebih dari sejuta penduduk
Islam dari Turki bakal direpatriasi ke Bosnia. Imajinasi soal bangkit
kembalinya Kesultanan Utsmani akhirnya menggentayangi warga Serbia.
Saya yakin, pada titik ini,
Anda sudah mendengar tentang kenestapaan orang-orang Rohingya, sebuah
kelompok etnis di Myanmar yang dipersekusi akibat rumor liar bahwa mereka
mengancam keberadaan kelompok mayoritas. Dalam situasi ketika mereka bahkan
tak diperkenankan keluar kampungnya tanpa izin, orang Rohingya tetap dianggap
bahaya serius bagi rakyat mayoritas di Myanmar. Ketika penguasa tak menemukan
bukti-bukti yang mampu menyangga kemasygulannya, mereka merancang hoaks yang
menunjukkan perbuatan-perbuatan destruktif orang Rohingya, yang akhirnya
mereka yakini sendiri.
Hal yang sama niscaya Anda
temukan pada pengalaman orang-orang Armenia di bawah kekuasaan Turki Utsmani.
Pada 1915, pemerintahan Utsmani melansir suatu kekejian yang menyebabkan
bangsa Armenia, yang bermukim di wilayahnya, terbunuh dan terusir. Namun,
alih-alih melihatnya sebagai genosida, rezim Utsmani menganggapnya sebagai
perang saudara di antara Islam dan Kristen. Latar belakangnya? Dalam
penjelasan Bernard Lewis, kekejaman ini dimungkinkan karena pemerintah Turki
melihat orang-orang Armenia sebagai ancaman berbahaya yang sewaktu-waktu
dapat merenggut tanah air.
Simbiosis Imajinasi dan Politik
Sayangnya, betapapun kita dapat
membuktikan bahwa imajinasi penyangga ketakutan dan kebencian ini tak
berpijak pada fakta, menyingkirkannya dari kepala sangat sulit. Muasalnya,
imajinasi ini perkakas mobilisasi politik yang ampuh. Ia sanggup mewujudkan
tujuan-tujuan para aktor. Ia pun memberikan kenikmatan tiada banding bagi
mereka yang merasa terlibat dalam sebuah perjuangan bermakna demi
menyelamatkan kaumnya.
Di Indonesia, idiom yang sangat
dekat dengan imajinasi permusuhan ini adalah “pribumi” dan “non-pribumi.” Ia
mengandaikan keberadaan "warga asli Indonesia" yang ruang-ruang
kehidupannya semakin tergerus. Dan politik ketakutan seperti ini dirancang
agar diarahkan "kesalahannya" kepada warga yang sekadar menumpang,
yang loyalitas terhadap tanah airnya tak terbukti tapi menguasai kue-kue perekonomian
lebih besar dibandingkan yang lain. Begitu Anda dedah lebih jauh imajinasi
ini, artikulasi idiom “pribumi” dan “non-pribumi” tak pernah lepas dari
kepentingan-kepentingan penguasaan.
Ambil saja contoh Orde Baru.
Ketika kekuasaan rezim yang luar biasa korup tengah marak-maraknya dirongrong
gerakan demokrasi dan krisis ekonomi, ilmuwan politik Robert Hefner menemukan
sebuah buklet dibagi-bagikan ke kelompok-kelompok Islam berpengaruh. Satu tim
intelijen tengah bergerak merangkul kekuatan-kekuatan religius untuk mengamankan
dukungan bagi Soeharto.
Apa yang digambarkan di buklet
tersebut? Soeharto dikisahkan tengah berjuang memulihkan kedaulatan kelompok
“pribumi” dari dominasi kelompok “non-pribumi” yang bersekongkol dengan
gerakan Zionis, CIA, serta Vatikan. Soeharto membutuhkan bantuan kelompok
“pribumi” ini untuk mempertahankan kepemimpinannya dari gempuran-gempuran
aliansi jahat tersebut.
Saya tahu, situasi ini tak bisa
digeneralisasi ke semua kesempatan. Kendati demikian, kita tak bisa menampik
fakta bahwa ketika imajinasi ini diembuskan, pihak-pihak yang
mengembangkannya mudah menuai citra pejuang. Maka, semakin mulus pula jalan
pihak-pihak yang mengejar kekuasaan secara vulgar untuk meraih kepentingannya
lantaran dianggap tulus berjuang bagi kaumnya. Dan kita bisa menerka, cara
yang sama akan terus-menerus menggoda orang untuk menggelorakan imajinasi
permusuhan.
Pada hari-hari kelam
pembersihan etnis Bosnia, sebagian rakyat Serbia tidak melihat Slobodan
Milosevic sebagai penjahat perang oportunis yang menunggangi ketakutan dan
kebencian untuk menggapai pucuk kekuasaan. Ia adalah pahlawan mereka.
Demikian juga jenderal-jenderal Myanmar yang zalim terhadap orang-orang
Rohingya. Mereka tidak dilihat sebagai penindas kelompok lemah dan rentan,
alih-alih pelindung rakyat.
Dan tentu saja, siapa pun yang
bisa berkuasa dan dicitrakan pahlawan berkat imajinasi jahat ini akan
mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan citra tersebut. Karena di luar
itu, mereka cuma pengumbar kebencian, penindas minoritas, atau penyebar kabar
palsu. Dus, simbiosis antara ketakutan dan kebencian dengan sistem politik
inilah yang seringkali membubungkan khayalan politik lebih tinggi ketimbang
fakta.
Anda mungkin pernah mendengar
kata-kata inspiratif Einstein: “imajinasi lebih penting dibandingkan
pengetahuan.” Tragisnya, hal inilah yang berlaku kala kebenaran seharusnya
meraja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar