Minggu, 05 November 2017

Soal RUU PNBP: Tanggapan Atas Pendapat Rizal Ramli

Soal RUU PNBP:
Tanggapan Atas Pendapat Rizal Ramli
Nufransa Wira Sakti  ;   Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan
                                                 REPUBLIKA, 03 November 2017



                                                           
Saya ingin menanggapi tulisan dan pernyataan Bapak Rizal Ramli yang kali ini membahas tentang Rancangan Undang Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP).

Seperti diketahui, Penerimaan Negara Bukan Pajak telah diatur dalam Undang-Undang PNBP yaitu UU 20/1997, sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto.  Artinya UU ini sudah ada bahkan sewaktu Pak Rizal Ramli sempat sebentar menjadi Menteri Keuangan tahun 2001.

Entah mengapa Pak Rizal Ramli tidak memahami dan mengetahui tentang UU PNBP tersebut dengan menyatakan “Dulu sebagian besar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak berasal dari Migas.  Ini mau diubah jadi pungutan-pungutan di bidang pendidikan, kesehatan, public goods dll. Uang pangkal, semesteran, akreditasi, kawin, cerai dan rujuk, kesehatan dll mau kena pungutan PNBP.”

Pengenaan PNBP atas layanan pendidikan, kesehatan, dan nikah talak rujuk, pengurusan paspor, Surat Izin Mengemudi , STNK, uang berperkara di pengadilan telah ada, bahkan sebelum adanya UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Dengan UU 20/1997 tersebut, aturan dan pungutan ke masyarakat menjadi ada dasar hukumnya, menjadi transparan  dan akuntabel ke publik.

UU 20/1997 mengenai PNBP mengatur penerimaan negara di luar pajak, yaitu penerimaan dari sumber daya alam (seperti bagi hasil dan atau royalti minyak gas, batubara dan tambang lain) penerimaan dividen BUMN. Juga penerimaan dari kegiatan ekonomi dan pelayanan publik atas jasa layanan yang diberikan oleh unit Pemerintahan.

Hasil dari penerimaan PNBP dikembalikan pada masyarakat untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih baik dan transparan, serta dimanfaatkan untuk mendukung program pembangunan (selain dari sumber penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai).

Sesuai dg ketentuan perundangan, maka pungutan pada masyarakat harus diatur oleh pemerintah, agar dapat memberikan keadilan dan kesetaraan, pemerataan pelayanan, serta sesuai dengan kemampuan masyarakat. Jadi tuduhan Pak Rizal Ramli bahwa pungutan ini adalah bentuk pemalakan kepada rakyat adalah penyesatan yang serius.

Menyatakan bahwa seolah-olah berbagai PNBP baru diberlakukan sejak Menkeu saat ini  juga salah besar dan kembali menyesatkan masyarakat.

Pemerintah memahami bahwa setiap pungutan adalah beban kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah melakukan penertiban dan pengaturan agar unit pemerintahan tidak secara berlebihan melakukan pungutan kepada masyarakat, tanpa didasari evaluasi biaya pemberian jasa dan juga potensi beban yang ditanggung masyarakat. Pungutan harus dikaitkan dengan kualitas perbaikan pelayanan kepada masyarakat dan tidak untuk mencari untung.

Faktanya, pelayanan pemerintah pada masyarakat didanai bukan hanya dari PNBP, tapi juga dari sumber penerimaan perpajakan.

Dengan semangat untuk meringankan beban masyarakat, Pemerintah Jokowi menetapkan beberapa pungutan PNBP diturunkan menjadi nol (tidak ada pungutan), misalnya untuk pelayanan pendidikan tertentu, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya, serta untuk masyarakat yang tidak mampu.

Pemerintah juga sudah tidak mengenakan pungutan atas nikah talak rujuk yang dilaksanakan di KUA untuk masyarakat yg tidak mampu.

Dari penerimaan perpajakan dan PNBP juga memungkinkan pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat, pemerataan pembangunan sampai dengan di desa dan daerah perbatasan, serta program- program pembangunan untuk membantu masyarakat miskin. Tujuannya agar mereka mampu menikmati layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan dengan demikian mampu memutus siklus kemiskinan antar generasi.

Sesuai ketentuan perundang-undangan, proses penetapan besaran tarif PNBP dilakukan dengan melibatkan instansi terkait dan sesuai dg mekanisme penyusunan perundangan.

Sejak tahun 2011, di masa pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menkeu Agus Martowardojo, telah dilakukan inisiatif perubahan UU 20/1997 mengenai PNBP dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang (RUU).

Penyusunan NA dan RUU tersebut juga telah melalui tahap diskusi-diskusi dan telah mendapat masukan dari kementerian/lembaga, akademisi, praktisi, serta uji publik dan FGD kepada masyarakat dan pelaku usaha di beberapa daerah. Secara resmi rancangan amandemen (perubahan) atas UU PNBP 20/1997  telah disampaikan oleh Presiden Jokowi kepada Ketua DPR melalui Surat Nomor: R-42/Pres/06/2015 tanggal 23 Juni 2015, pada saat Menkeu dijabat oleh Bapak Bambang Brodjonegoro.

Tujuan perubahan UU PNBP adalah untuk untuk memperkuat tatakelola PNBP (mulai dari pungutan, pengawasan, pelaporan dan pertanggungjawaban), memperbaiki kelemahan pungutan PNBP oleh unit pelaksana sesuai dengan masukan dari BPK, memperkuat dan memperluas arah pungutan PNBP dimungkinkan menjadi nol (tidak dipungut) untuk masyarakat tidak mampu. Juga, untuk mengharmonisasi regulasinya dengan UU Keuangan Negara tahun 2003.

Sekali lagi inisiatif perubahan UU ini adalah untuk memperbaiki tata kelola dan transparansi pungutan masyarakat.

Pada tanggal 25 Agustus 2015 Menkeu Bambang Brodjonegoro menyampaikan keterangan pemerintah dan kemudian dibentuk Panitia Kerja pembahasan RUU PNBP.  Sesuai peraturan perundangan, pembahasan RUU dengan DPR dilakukan secara terbuka.

Komisi XI DPR banyak sekali melakukan diskusi publik dengan kalangan masyarakat, akademisi, kementerian/lembaga, dan kunjungan ke daerah unt mendapatkan masukan dalam membahas RUU PNBP dengan pemerintah.

Pemerintah sendiri sudah melakukan penjaringan masukan dari publik pada saat penyiapan RUU PNBP tersebut, sebelum dismpkan ke DPR.

Pada tanggal 18 Januari 2017, DPR telah menyampaikan DIM RUU PNBP kepada Pemerintah. Panja RUU PNBP telah melakukan beberapa kali pembahasan DIM RUU PNBP.  Berdasarkan hasil keputusan rapat paripurna DPR pada tanggal 24 Oktober 2017, DPR mengesahkan perpanjangan pembahasan RUU PNBP ke masa sidang selanjutnya.

Jadi pernyataan Pak Rizal Ramli bahwa pembahas RUU PNBP dilakukan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi adalah tidak benar.

Juga sama sekali tidak benar pernyataan Pak Rizal Ramli bahwa pembahasan amandemen UU PNBP ada hubungannya dengan “seolah-olah” ada tukar guling dengan pemberian anggaran untuk pembangunan gedung DPR. Tuduhan seperti ini sudah menjurus pada penyebaran fitnah.

Pernyataan yang tidak tepat lainnya dari Pak Rizal Ramli adalah upaya pembahasan RUU PNBP disebabkan karena pemerintah panik atas penerimaan negara. Pemerintah dalam melaksanakan tugas UUD dan UU untuk pengumpulan penerimaan negara justru dilakukan secara hati-hati dan bijaksana agar kondisi ekonomi tetap kondusif dan momentum pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terus terjaga.

Pernyataan Pak Rizal Ramli bahwa PNBP selama ini selalu meningkat setiap tahunnya juga sama sekali salah. Banyak PNBP yang bahkan tidak mengalami perubahan selama beberapa tahun bahkan hingga lebih sepuluh tahun terakhir, misalnya penerimaan dari perikanan, serta pelayanan publik lainnya.

Kebiasaan menyampaikan hal-hal dan informasi yang salah dan menyesatkan dan bahkan cenderung fitnah sungguh sangat tidak terpuji, melanggar etika dan disesalkan. Sikap demikian bertentangan dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap masyarakat yang menghargai kejujuran, saling menghormati dan bersikap adil antar sesamanya dan terus berpikir kritis, positif dan maju untuk membangun bersama negara Indonesia yg tercinta.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati senantiasa menginstruksikan dan mengingatkan kepada seluruh jajaran Kementerian Keuangan untuk senantiasa menjaga transparansi dan penyampaian informasi publik yang akurat dan benar, bekerja keras dan berpikir maju untuk memberikan karya yg terbaik membangun negara yang kita cintai ini.

Ini adalah bagian dari nilai-nilai Kementerian Keuangan sebagai Pengelola Keuangan yang terpercaya, transparan dan akuntabel. Kami bangga atas nilai-nilai profesionalisme kami dan akan terus menjaga  kredibilitas pemerintahan serta arah pembangunan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  Kami diminta untuk senantiasa bekerja untuk Indonesia yang lebih baik, lebih adil, lebih makmur, beradab dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar