Soal
RUU PNBP:
Tanggapan
Atas Pendapat Rizal Ramli
Nufransa Wira Sakti ; Kepala Biro Komunikasi
dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan
|
REPUBLIKA,
03 November
2017
Saya ingin menanggapi tulisan
dan pernyataan Bapak Rizal Ramli yang kali ini membahas tentang Rancangan
Undang Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP).
Seperti diketahui, Penerimaan
Negara Bukan Pajak telah diatur dalam Undang-Undang PNBP yaitu UU 20/1997,
sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Artinya UU ini sudah ada bahkan sewaktu Pak Rizal Ramli sempat
sebentar menjadi Menteri Keuangan tahun 2001.
Entah mengapa Pak Rizal Ramli
tidak memahami dan mengetahui tentang UU PNBP tersebut dengan menyatakan
“Dulu sebagian besar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak berasal dari
Migas. Ini mau diubah jadi
pungutan-pungutan di bidang pendidikan, kesehatan, public goods dll. Uang
pangkal, semesteran, akreditasi, kawin, cerai dan rujuk, kesehatan dll mau
kena pungutan PNBP.”
Pengenaan PNBP atas layanan
pendidikan, kesehatan, dan nikah talak rujuk, pengurusan paspor, Surat Izin
Mengemudi , STNK, uang berperkara di pengadilan telah ada, bahkan sebelum
adanya UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Dengan UU 20/1997 tersebut,
aturan dan pungutan ke masyarakat menjadi ada dasar hukumnya, menjadi
transparan dan akuntabel ke publik.
UU 20/1997 mengenai PNBP
mengatur penerimaan negara di luar pajak, yaitu penerimaan dari sumber daya
alam (seperti bagi hasil dan atau royalti minyak gas, batubara dan tambang
lain) penerimaan dividen BUMN. Juga penerimaan dari kegiatan ekonomi dan
pelayanan publik atas jasa layanan yang diberikan oleh unit Pemerintahan.
Hasil dari penerimaan PNBP
dikembalikan pada masyarakat untuk memberikan kualitas pelayanan yang lebih
baik dan transparan, serta dimanfaatkan untuk mendukung program pembangunan
(selain dari sumber penerimaan pajak serta kepabeanan dan cukai).
Sesuai dg ketentuan
perundangan, maka pungutan pada masyarakat harus diatur oleh pemerintah, agar
dapat memberikan keadilan dan kesetaraan, pemerataan pelayanan, serta sesuai
dengan kemampuan masyarakat. Jadi tuduhan Pak Rizal Ramli bahwa pungutan ini
adalah bentuk pemalakan kepada rakyat adalah penyesatan yang serius.
Menyatakan bahwa seolah-olah
berbagai PNBP baru diberlakukan sejak Menkeu saat ini juga salah besar dan kembali menyesatkan
masyarakat.
Pemerintah memahami bahwa
setiap pungutan adalah beban kepada masyarakat. Oleh karena itu pemerintah
melakukan penertiban dan pengaturan agar unit pemerintahan tidak secara
berlebihan melakukan pungutan kepada masyarakat, tanpa didasari evaluasi
biaya pemberian jasa dan juga potensi beban yang ditanggung masyarakat.
Pungutan harus dikaitkan dengan kualitas perbaikan pelayanan kepada
masyarakat dan tidak untuk mencari untung.
Faktanya, pelayanan pemerintah
pada masyarakat didanai bukan hanya dari PNBP, tapi juga dari sumber
penerimaan perpajakan.
Dengan semangat untuk
meringankan beban masyarakat, Pemerintah Jokowi menetapkan beberapa pungutan
PNBP diturunkan menjadi nol (tidak ada pungutan), misalnya untuk pelayanan
pendidikan tertentu, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya, serta untuk
masyarakat yang tidak mampu.
Pemerintah juga sudah tidak
mengenakan pungutan atas nikah talak rujuk yang dilaksanakan di KUA untuk
masyarakat yg tidak mampu.
Dari penerimaan perpajakan dan
PNBP juga memungkinkan pemerintah memberikan Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat, pemerataan
pembangunan sampai dengan di desa dan daerah perbatasan, serta program-
program pembangunan untuk membantu masyarakat miskin. Tujuannya agar mereka
mampu menikmati layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan dengan
demikian mampu memutus siklus kemiskinan antar generasi.
Sesuai ketentuan
perundang-undangan, proses penetapan besaran tarif PNBP dilakukan dengan
melibatkan instansi terkait dan sesuai dg mekanisme penyusunan perundangan.
Sejak tahun 2011, di masa
pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Menkeu Agus
Martowardojo, telah dilakukan inisiatif perubahan UU 20/1997 mengenai PNBP
dengan penyusunan Naskah Akademik (NA) dan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Penyusunan NA dan RUU tersebut
juga telah melalui tahap diskusi-diskusi dan telah mendapat masukan dari
kementerian/lembaga, akademisi, praktisi, serta uji publik dan FGD kepada
masyarakat dan pelaku usaha di beberapa daerah. Secara resmi rancangan
amandemen (perubahan) atas UU PNBP 20/1997
telah disampaikan oleh Presiden Jokowi kepada Ketua DPR melalui Surat
Nomor: R-42/Pres/06/2015 tanggal 23 Juni 2015, pada saat Menkeu dijabat oleh
Bapak Bambang Brodjonegoro.
Tujuan perubahan UU PNBP adalah
untuk untuk memperkuat tatakelola PNBP (mulai dari pungutan, pengawasan,
pelaporan dan pertanggungjawaban), memperbaiki kelemahan pungutan PNBP oleh
unit pelaksana sesuai dengan masukan dari BPK, memperkuat dan memperluas arah
pungutan PNBP dimungkinkan menjadi nol (tidak dipungut) untuk masyarakat
tidak mampu. Juga, untuk mengharmonisasi regulasinya dengan UU Keuangan
Negara tahun 2003.
Sekali lagi inisiatif perubahan
UU ini adalah untuk memperbaiki tata kelola dan transparansi pungutan
masyarakat.
Pada tanggal 25 Agustus 2015
Menkeu Bambang Brodjonegoro menyampaikan keterangan pemerintah dan kemudian
dibentuk Panitia Kerja pembahasan RUU PNBP.
Sesuai peraturan perundangan, pembahasan RUU dengan DPR dilakukan
secara terbuka.
Komisi XI DPR banyak sekali
melakukan diskusi publik dengan kalangan masyarakat, akademisi,
kementerian/lembaga, dan kunjungan ke daerah unt mendapatkan masukan dalam
membahas RUU PNBP dengan pemerintah.
Pemerintah sendiri sudah
melakukan penjaringan masukan dari publik pada saat penyiapan RUU PNBP
tersebut, sebelum dismpkan ke DPR.
Pada tanggal 18 Januari 2017,
DPR telah menyampaikan DIM RUU PNBP kepada Pemerintah. Panja RUU PNBP telah
melakukan beberapa kali pembahasan DIM RUU PNBP. Berdasarkan hasil keputusan rapat paripurna
DPR pada tanggal 24 Oktober 2017, DPR mengesahkan perpanjangan pembahasan RUU
PNBP ke masa sidang selanjutnya.
Jadi pernyataan Pak Rizal Ramli
bahwa pembahas RUU PNBP dilakukan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi
adalah tidak benar.
Juga sama sekali tidak benar
pernyataan Pak Rizal Ramli bahwa pembahasan amandemen UU PNBP ada hubungannya
dengan “seolah-olah” ada tukar guling dengan pemberian anggaran untuk
pembangunan gedung DPR. Tuduhan seperti ini sudah menjurus pada penyebaran fitnah.
Pernyataan yang tidak tepat
lainnya dari Pak Rizal Ramli adalah upaya pembahasan RUU PNBP disebabkan
karena pemerintah panik atas penerimaan negara. Pemerintah dalam melaksanakan
tugas UUD dan UU untuk pengumpulan penerimaan negara justru dilakukan secara
hati-hati dan bijaksana agar kondisi ekonomi tetap kondusif dan momentum
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terus terjaga.
Pernyataan Pak Rizal Ramli
bahwa PNBP selama ini selalu meningkat setiap tahunnya juga sama sekali
salah. Banyak PNBP yang bahkan tidak mengalami perubahan selama beberapa
tahun bahkan hingga lebih sepuluh tahun terakhir, misalnya penerimaan dari
perikanan, serta pelayanan publik lainnya.
Kebiasaan menyampaikan hal-hal
dan informasi yang salah dan menyesatkan dan bahkan cenderung fitnah sungguh
sangat tidak terpuji, melanggar etika dan disesalkan. Sikap demikian
bertentangan dengan tujuan untuk menumbuhkan sikap masyarakat yang menghargai
kejujuran, saling menghormati dan bersikap adil antar sesamanya dan terus
berpikir kritis, positif dan maju untuk membangun bersama negara Indonesia yg
tercinta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati senantiasa menginstruksikan dan mengingatkan kepada seluruh jajaran
Kementerian Keuangan untuk senantiasa menjaga transparansi dan penyampaian informasi
publik yang akurat dan benar, bekerja keras dan berpikir maju untuk
memberikan karya yg terbaik membangun negara yang kita cintai ini.
Ini adalah bagian dari
nilai-nilai Kementerian Keuangan sebagai Pengelola Keuangan yang terpercaya,
transparan dan akuntabel. Kami bangga atas nilai-nilai profesionalisme kami
dan akan terus menjaga kredibilitas
pemerintahan serta arah pembangunan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Kami diminta untuk senantiasa
bekerja untuk Indonesia yang lebih baik, lebih adil, lebih makmur, beradab
dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar