Si
Pembunuh dan Sang Uskup
Arie Saptaji ; Penulis, Penerjemah,
Editor, dan Penikmat Sastra;
Tinggal di Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
16 November
2017
Dalam Satu, Dua, Pasang Gesper Sepatunya,
Agatha Christie menyodorkan lebih dari sekadar kepelikan kisah detektif. Si
pembunuh seorang tokoh terhormat. Saat kejahatannya dibongkar, dengan tenang
ia mendengarkan paparan detektif Poirot, dan bahkan dengan penuh martabat
berusaha membenarkan posisinya. Bahwa, pembunuhan telah menjadi alternatif
yang tak terelakkan baginya.
"Tidakkah Anda menyadari,
Poirot bahwa keselamatan dan kesejahteraan seluruh bangsa ini tergantung pada
saya?"
"Saya tidak berkepentingan
dengan bangsa, Monsieur. Saya berkepentingan dengan pribadi-pribadi yang
memiliki hak untuk tidak diambil nyawanya."
Mengatasnamakan kepentingan
bangsa, lalu dengan enteng mengorbankan empat nyawa manusia –sebuah reduksi
yang terkesan agung. Dan, bukankah kita masih mendengar gemanya? Mencintai
dan memperjuangkan kemanusiaan, berlagak membela kesejahteraan sebuah bangsa,
tampaknya memang lebih mudah daripada mencintai manusia secara perseorangan.
Negara ini pun melakukan
reduksi serupa. Demi kepentingan bangsa —lebih persisnya: demi kepentingan
segelintir penguasa— nyawa manusia bisa melayang tanpa harga. Di sini reduksi
itu telah menggilas nama-nama seperti Marsinah, Udin, Theys, Munir, Salim
Kancil, dan Jopi Perangin-angin. Siapa lagi korban yang bakal jatuh?
Sebelum melangkah lebih jauh,
rasanya kita perlu merenungkan sebuah pertanyaan substansial: siapakah
manusia? Bagaimana sepatutnya kita memperlakukan manusia?
Kita dapat menggalinya melalui
risalah keagamaan. Kita dapat menelaahnya melalui wacana filsafat. Namun,
gambaran tentang manusia dapat pula tampil secara berkilau melalui karya
sastra. Karya elok Victor Hugo, Les Misérables, yang dialihbahasakan dengan
luwes oleh Anton Kurnia, adalah salah satu contohnya.
Kisahnya tentang Jean Valjean,
narapidana yang baru saja dibebaskan dari kamp kerja paksa. Ia mesti membawa
KTP kuning, yang membuatnya diusir sewaktu hendak memesan kamar dan makanan
di penginapan. Ia pun mengalami nasib mirip dengan sosok dalam lagu Ebiet G.
Ade, Kalian Dengarkah Keluhanku. Barangkali ia berjalan terseok-seok sembari
bergumam pilu: Tetapi nampaknya semua mata semua mata menatapku curiga/
Seperti hendak telanjangi dan kuliti jiwaku.
Terbebas dari penjara tak
membuatnya terbebas dari penghakiman masyarakat. Malam itu ia terpaksa
berbaring di atas bangku batu. Namun, seorang perempuan membangunkannya, dan
menyuruhnya mengetuk pintu sebuah rumah.
Rumah itu ternyata rumah
seorang uskup, penggembala umat setempat. Uskup itu mempersilakannya duduk
dan menghangatkan diri sembari menunggu makanan dihidangkan dan tempat tidur
disiapkan baginya. Valjean nyaris tak percaya mendapatkan sambutan seramah
itu.
"Monsieur Pastor,"
kata lelaki itu, "Anda baik sekali tidak mengusirku. Anda menerimaku di
dalam rumah Anda. Anda menyalakan lilin untukku. Aku tak akan menyembunyikan
pada Anda dari mana aku berasal dan betapa menderitanya diriku."
Uskup yang duduk di dekatnya
menyentuh lengan lelaki itu dengan lembut dan berkata, "Anda tak perlu
mengatakan padaku siapa diri Anda. Ini bukanlah rumahku. Ini adalah rumah Kristus.
Siapa pun yang datang tak perlu ditanyai apakah ia punya nama. Yang perlu
ditanyakan adalah apakah ia punya penderitaan. Anda sedang menderita. Anda
lapar dan haus. Selamat datang. Tak perlu berterima kasih padaku. Jangan
katakan bahwa aku membawa Anda masuk ke rumahku. Ini bukan rumah siapa pun,
kecuali mereka yang membutuhkan perlindungan. Wahai pejalan, kukatakan pada
Anda, Anda lebih berhak berada di sini daripada aku sendiri. Apa pun yang ada
di sini adalah milik Anda. Apa perluku mengetahui nama Anda? Lagi pula,
sebelum Anda mengatakannya padaku, aku sudah tahu."
Lelaki itu membelalakkan
matanya karena takjub.
"Betulkah? Anda tahu
namaku?"
"Ya," sahut Uskup,
"Nama Anda adalah Saudaraku."
Sang Uskup tidak menilai
Valjean berdasarkan masa lalunya. Ia tidak ikut melanggengkan stigma yang
dilekatkan melalui KTP kuning. Ia tidak menanyakan agama atau asal-usul
lelaki itu. Ia tidak memperhitungkan potensi bahaya dan kerugian jika
menerima si narapidana.
Sebaliknya, alih-alih walk-out
—eh, alih-alih mengusir dan membiarkan lelaki itu kedinginan di luar, ia
menyambutnya persis karena kebutuhannya: perlindungan. Ia memilih merengkuh
lelaki itu berdasarkan jati dirinya yang paling hakiki: saudara.
Saudara, dalam othak-athik
gathuk khas orang Jawa, berarti seudara, satu udara. Siapa saja yang
menghirup udara yang sama dengan kita, dia adalah saudara kita, sesama
manusia.
Sikap sang Uskup terhadap
Valjean sama sekali terbalik dengan pandangan si pembunuh dalam novel Agatha
Christie tadi. Si pembunuh menghabisi nyawa sesamanya karena menganggap
mereka sebagai musuh yang mengancam kesejahteraan bangsanya. Sebaliknya, sang
Uskup mengulurkan belas kasihan. Yang satu mengusung budaya yang mendatangkan
kematian; yang lain menumbuhkembangkan budaya yang membuahkan kehidupan.
Nyatanya, kemurahan hati sang Uskup melembutkan hati Valjean dan mengubah
jalan hidupnya secara radikal.
Dalam pertarungan nilai semacam
ini, perbedaan antara mengasihi kemanusiaan dan mengasihi manusia sebenarnya
merupakan konflik antara hasil abstraksi dan kehadiran konkret. Orang
cenderung menyanjung abstraksi, entah berupa ideologi atau konsep, untuk
menepis kegagapannya dalam menyambut sosok riil sesamanya. Kita dapat saja
berkutat dalam konsep-konsep agung semacam perdamaian dunia atau kemanusiaan
yang adil dan beradab, tetapi gagap ketika berhadapan secara langsung dengan
si Polan dan si Dadap.
Martin Luther King Jr., pejuang
hak-hak sipil di Amerika Serikat, menawarkan rumusan sederhana tetapi jitu
untuk menakar kepedulian pada sesama. Ketika bertemu dengan sesama yang
tertimpa musibah dan memerlukan pertolongan, bagaimana respons kita?
Mereka yang segaris dengan si
pembunuh, bahkan di tengah musibah pun, alih-alih menyingsingkan lengan baju
untuk mengulurkan bantuan, masih juga berfokus pada kepentingan pribadi. Ia
bertanya, "Jika aku berhenti dan menolong orang ini, apa yang akan
terjadi padaku? Jangan-jangan aku malah terseret ikut terkena musibah.
Memangnya ada keuntungan yang bisa kudapatkan?"
Mereka yang selaras dengan
jalan hidup sang Uskup memilih berpihak pada korban yang terluka dan tak
berdaya. Ia bertanya, "Jika aku tidak berhenti untuk menolong orang ini,
apa yang akan terjadi padanya? Apa yang perlu kuupayakan untuk menolongnya
mengatasi musibah ini?"
Dari situlah semestinya konsep
luhur tentang kemanusiaan dibangun. Dengan menjejak bumi, bukan dengan
mengukir langit. Dengan kepedulian pada sesama yang kita jumpai secara
perseorangan hari demi hari. Dengan menepiskan budaya kematian dan
menyuburkan budaya kehidupan. Ketika kepedulian pada sesama ini kian merebak,
taman kemanusiaan pun akan marak oleh bunga-bunga persaudaraan. Semogalah
demikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar