Kamis, 16 November 2017

Mengkritisi Registrasi Kartu Selular

Mengkritisi Registrasi Kartu Selular
Soleman B Ponto  ;  Kepala Badan Intelijen Strategis (Ka-BAIS) TNI
periode 2011-2013
                                                DETIKNEWS, 13 November 2017



                                                           
Argumentasi dan niat pemerintah tentang registrasi ulang dan baru bagi pengguna kartu prabayar telepon selular di satu sisi perlu diberi apresiasi. Namun, di sisi lain kebijakan ini harus dikritisi. Diapresiasi karena registrasi kartu prabayar dapat membantu penegak hukum dalam hal mengusut kejahatan siber di tengah merebaknya konten negatif yang banyak merugikan moral dan material bangsa ini. Dikritisi karena proses registrasi ini memberi peluang kejahatan yang justru (bisa jadi) lebih dahsyat dari niat baiknya. Sebuah paradoks yang harusnya tidak sampai terjadi.

Pemerintah idealnya memberikan apresiasi kepada masyarakat, khususnya yang begitu antusias melakukan registrasi. Sejak pengumuman ini dibuka, tidak lebih dari seminggu sudah ada 47 juta yang melakukan registrasi. Padahal registrasi ulang ini rentang waktunya relatif lama, hingga Februari 2018. Dari 47 juta angka tersebut tidak disebutkan berapa banyak yang berhasil melakukan registrasi secara langsung alias online, dan berapa yang harus melakukan mendaftarkan diri secara manual, datang ke gerai atau counter membawa dokumen diri dan dibantu petugas untuk melakukan registrasi ulang.

Mengapa disebut sebagai sebuah paradoks? Mari kita cermati bersama. Selain hal teknis seperti ketik Reg kirim ke xxx dan seterusnya untuk masing-masing operator, ada hal fundamental yang sebelumnya sempat beredar di media sosial tentang permintaan data 'nama ibu kandung'. Data ini sebenarnya menjadi sangat penting dan rahasia dalam hal transaksi keuangan/perbankan. Pemerintah secara tegas mengumumkan bahwa nama ibu kandung tidak dibutuhkan dalam proses registrasi online.

Pasal 5 titik C Peraturan Menteri komunikasi dan informatika Republik Indonesia nomor 14 tahun 2017 tentang registrasi pelanggan jasa telekomunikasi menyatakan, dalam hal registrasi normal tidak dibutuhkan Kartu Keluarga (di dalamnya tercantum nama ibu Kandung). Proses registrasi hanya membutuhkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Sampai di sini aturan tersebut konsisten tidak menyebutkan nama ibu kandung. Namun permasalahan besar muncul dalam hal pelaksanaannya, dimana untuk registrasi, selain NIK juga dibutuhkan Kartu Keluarga, yang di dalamnya ada nama ibu kandung. Pada pasal 5 titik C titik b) titik 1) dan pasal 8 titik b, juga diatur bahwa apabila registrasi normal gagal, maka perlu mengisi formulir yang formatnya diatur pada lampiran peraturan menteri nomor 14 tahun 2017 tersebut.

Pada lampiran aturan tersebut dinyatakan bahwa (jika gagal) Registrasi dilakukan melalui gerai oleh petugas gerai yang ditunjuk oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi atau Mitra. Di sini secara tegas dinyatakan dibutuhkan Nama ibu kandung atau Kartu Keluarga (KK) dimana secara jelas nama ibu kandung tercantum di dalamnya. Bahkan tidak hanya itu, masyarakat juga diminta untuk melakukan tanda tangan.

Di sinilah permasalahan yang harus dijawab. Bisa saja proses normal secara online yang tidak membutuhkan KK, alias nama ibu kandung dibuat atau diskenariokan 'gagal', sehingga memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendaftar secara manual, mendatangi gerai dan memberikan data yang memberikan peluang munculnya aksi kriminal minimal terkait transaksi perbankan.

Dalam transaksi perbankan, termasuk di dalamnya kartu kredit, setidaknya dalam hal melakukan komunikasi melalui telepon, semua data yang ada di Kartu Keluarga khususnya nama ibu kandung diminta secara jelas. Di sinilah tingkat bahayanya. Kondisi inilah yang justru menjadi paradoks bagi niat baik pemerintah dalam hal menghindari kejahatan siber di satu sisi, namun memberikan peluang, mengungkap secara gamblang data rahasia pribadi, yang dapat digunakan untuk kejahatan perbankan. Apalagi kalau kita melihat dari perspektif yang lebih jauh bahwa hampir semua operator yang beroperasi di Indonesia, sebagian sahamnya milik asing.

Secara tidak langsung, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia nomor 14 tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 12 tahun 2016 tentang registrasi pelanggan jasa telekomunikasi, justru merupakan alat ampuh memaksa rakyat untuk membuka rahasia pribadi yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain minimal untuk kejahatan perbankan.

Lantas di mana privasi kita? Di mana perlindungan pemerintah bagi keamanan siber rakyatnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar