Kamis, 16 November 2017

Hukum Hammurabi dan Hukum Indonesia

Hukum Hammurabi dan Hukum Indonesia
Rakhmad Hidayatulloh Permana  ;  Tinggal di Subang;
Kegiatan sehari-harinya bermain dengan ikan-ikan air tawar
                                                DETIKNEWS, 13 November 2017



                                                           
Berabad silam, tepatnya pada abad ke-17 sebelum Masehi, ada sebuah cerita masyhur tentang sejarah lahirnya hukum. Konon, hukum di seluruh dunia ini bermula dari Hukum Hammurabi. Sebuah sistem hukum yang dibuat oleh Raja Babylonia bernama Hammurabi. Ia membuat Piagam Hammurabi yang berisi pasal-pasal hukum konstitusional untuk wilayah Babylonia.

Aturan Hukum Hammurabi tertatah di batu-batu besar yang ditemukan oleh para arkeolog di reruntuhan kawasan Mesopotamia. Melalui temuan tersebut, Hammurabi secara tak langsung telah ditahbiskan sebagai raja yang pertama kali membuat hukum. Sebab, hanya Hammurabilah satu-satunya raja zaman kuno yang memulai kodifikasi hukum secara rapi. Maka wajar jika dalam buku-buku diktat sejarah sekolah, Hammurabi dianggap sebagai raja yang telah berjasa melahirkan konsep hukum modern.

Pada zamannya, Hukum Hammurabi memang dianggap sebagai seperangkat hukum dengan asas keadilan tunggal. Semua pelaksanaan tata kelola negara harus diacu dari Hukum Hammurabi. Menurut Raja Hammurabi sendiri, hukum itu tak serta merta tercipta dari ego pribadinya. Melainkan lahir berdasarkan ilham yang datang dari Dewa Anu, Enlil dan Marduk —para dewa utama dalam tradisi keagamaan Mesopotamia.

Ia dengan terang mengatakan bahwa hukum Hammurabi ada "untuk menjaga keadilan di tanah ini, untuk melenyapkan orang fasik dan jahat, untuk mencegah yang kuat menindas yang lemah."

Hukum Hammurabi merupakan prinsip sakral yang harus dipatuhi seluruh rakyat Babylonia. Tak boleh dipertanyakan, harus dijalankan dengan taklid buta. Masyarakat harus percaya dengan mantap bahwa Hukum Hammurabi memiliki kebenaran yang mutlak.

Tapi, apakah ujaran Raja Hammurabi itu benar adanya? Jawabannya: tidak. Hukum yang diciptakan Hammurabi tak lebih dari mitos yang jahat. Hukum Hammurabi justru mengantarkan masyarakat Babylonia ke dalam zaman kegelapan yang mengerikan. Ketika kebenaran ditutupi kabut hitam takhayul tentang para dewa.

Hukum Hammurabi justru berisi aturan yang menindas dan menyengsarakan rakyatnya. Tak ada asas tentang kesetaraan di hadapan hukum. Hukum Hammurabi menjalankan keadilan yang sejatinya sama sekali tidak proporsional. Pada titik tertentu, bahkan bersifat diskriminatif dan tolol.

Yuval Noah Hariri, sejarahwan penulis buku Sapiens, menemukan fakta menarik dari Hukum Hammurabi ini. Dalam hukum tersebut, menurut Yuval, masyarakat --yang merupakan objek hukum-- dibagi menjadi tiga kelas yaitu orang kalangan atas, orang biasa dan budak. Sedangkan dalam kategori gender dibagi dua, lelaki dan perempuan.

Ada pasal hukum yang menyatakan jika seseorang dari kalangan atas membunuh anak perempuan dari kalangan atas, maka yang harus dibunuh adalah putri sang pembunuh. Bukan si pembunuh itu sendiri. Tentu, aturan ini terdengar tolol karena si putri pembunuh yang tak berdosa justru yang terkena hukuman.

Belum lagi pasal hukum yang melihat strata kelas sosial masyarakat jadi bahan pertimbangan hukum. Misalnya, seorang kalangan atas yang mematahkan tulang orang biasa atau budak, mereka hanya perlu membayar beberapa shekel perak —mata uang Babylonia— untuk menebus kesalahannya. Sedangkan bila orang biasa atau budak yang melakukannya, mereka harus menerima hukuman dipatahkan tulangnya.

Semuanya harus patuh. Karena Hukum Hammurabi, berlaku premis jika seluruh rakyat meu patuh hukum berdasarkan hirarki sosialnya, maka kesejahteraan dan keamanan tercipta. Tapi kita tahu bahwa Hukum Hammurabi tak lebih dari laku dungu seorang raja lalim. Yuval Noah Hariri menduga inilah yang membuat imperium Babylonia berdiri tegak dan langgeng dalam waktu yang lama. Karena masyarakat Babylonia berhasil dibodohi oleh mitos bernama Hukum Hammurabi.

Hukum Hammurabi menjadi bukti bahwa Raja Hammurabi merupakan raja yang fasis. Tapi, siapa pun takkan pernah berani mengkritik hukum yang telah ia buat. Karena hukum itu turun langsung dari para dewa dan barang siapa tidak percaya maka ia bakal terkena kutuk.

Situasi yang pernah terjadi pada abad ke-17 SM di Babylonia itu agaknya sedikit mirip dengan apa yang sedang mulai berlangsung di Indonesia saat ini. Barangkali dugaan saya ini nampak berlebihan. Tapi, pada kenyataannya saya kira memang begitu.

Sekarang dengan mudah kita melihat beberapa instrumen hukum tak ubahnya seperti pusaka keramat. Harus ditaati dengan sepatuh-patuhnya dan tak boleh dikritik sama sekali. Mereka yang mengkritik justru akan dianggap sebagai pemecah belah bangsa atau sebutan konyol lainnya.

Akhir-akhir ini ada beberapa instrumen hukum justru melahirkan pro dan kontra. Hal ini dikarenakan aturan hukum itu yang motifnya ambigu. Baik dalam bentuk undang undang atau peraturan yang dikeluarkan oleh penjabat negara. Pada ceruk tertentu, beberapa produk hukum tersebut sangat rentan untuk dimanfaatkan sekelompok orang.

Alih-alih membuat aturan untuk menertibkan segala silang sengkarut masalah, aturan tersebut justru menjadi alat bungkam untuk menjegal kelompok tertentu. Contohnya adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Perppu Ormas.

Pada mulanya UU ITE dianggap sebagai instrumen hukum yang diterapkan guna menjaga ketertiban masyarakat dalam berinternet. Namun, pada praktiknya aturan hukum ini malah dipakai untuk mengkriminalisasi orang-orang tertentu.

Dalam pasal 27 ayat 3 misalnya, dibahas bahwa cyberbullying atau perundungan masuk dalam tindakan kriminal. Meskipun tafsir terhadap cyberbullying itu sendiri sangat ambigu. Banyak ahli hukum yang mengaku kesulitan mengartikan definisi ini. Alhasil, ada beberapa warganet yang hanya ingin menyuarakan kritik, tapi justru berakhir di meja hukum.

Hal serupa juga berlaku pada apa yang terjadi dalam kasus Perppu Ormas. Lahirnya aturan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran pada beberapa kelompok radikal yang bisa mengguncang kemapanan ideologi negara. Maka dibuatlah aturan Perppu Ormas untuk membubarkan kelompok-kelompok yang berhaluan dengan ideologi negara.

Tapi sayangnya, Perppu Ormas justru mengandung nuansa otoritarian. Aturan ini memiliki potensi untuk mengebiri prinsip kebebasan berekspresi dan berserikat yang sudah termaktub dalam konstitusi UUD 1945. Perppu Ormas seperti pisau bermata dua, di satu sisi digunakan melindungi ideologi negara, namun di sisi lain justru bisa dipakai oleh seorang oknum untuk menzalimi kelompok-kelompok masyarakat marjinal.

Beberapa instrumen hukum yang saya contohkan tadi bisa menjadi seperti narasi kanon kebenaran tunggal. Artinya ia bisa menolak semua potensi kebenaran yang berada di luar motif pembuat hukum. Tentu ini sangat berbahaya, bahkan ini merupakan tanda-tanda munculnya fasisme. Hampir mirip dengan Hukum Hammurabi.

Produk instrumen hukum harus kita ingat kembali sebagai bagian dari produk politik. Bahkan produk hukum seperti undang-undang bisa muncul dari proses fungsi legislatif yang tak bersih. Penuh intrik dan kepentingan. Goenawan Mohamad pun pernah menggambarkan undang-undang seperti halnya tahu. Tercipta dari proses pembuatan menjijikkan dan penuh aroma bacin, namun ketika jadi tahu tampak gurih dan kita menikmatinya.

Kita juga harus ingat bahwa produk hukum tercipta dari buah-buah pikiran manusia biasa yang bisa salah. Bukan dari sabda dewa atau Tuhan. Jadi, semestinya semua produk hukum harus memilik sifat oto-kritik. Semata-mata agar semua kekurangan dalam prinsip hukum bisa dibenahi. Karena tidak ada produk hukum yang paripurna. Bukan malah sebaliknya, produk hukum menjadi kebal kritik dan harus dipatuhi dengan mata tertutup.

Tapi di negeri ini, ironi memang tak pernah cuti. Dengan mudah, setiap pagi kita bisa menemukan berita penuh ironi di televisi. Ketika para aktivis membela petani dikriminalisasi dan masuk bui, di waktu lain ada seorang tersangka korupsi kelas kakap justru bisa memasukkan orang lain ke bui hanya karena sebuah meme. Kita harus ingat bahwa bangsa yang sehat adalah bangsa yang memperlakukan hukumnya secara sehat. Begitu pun sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar