Mencari
Keadilan dalam Hukum
Aco Nur ; Kepala Badan Urusan
Administrasi MA-RI
|
MEDIA
INDONESIA, 18 November 2017
"HUKUM yang tidak adil
bukanlah hukum," kata St Agustinus (354-430). Meski kalimat itu
diucapkan pada abad ke-5 Masehi, banyak yang menganggap adagium itu relevan
sampai kapan pun. Jika ada proses hukum yang dinilai tidak berkeadilan, hukum
kehilangan peran hakiki.
Berita pemailitan pabrik jamu
PT Nyonya Meneer memunculkan kehebohan di masyarakat. Berita ini mengejutkan,
memunculkan pertanyaan tak percaya. Pasalnya, perusahaan jamu legendaris itu
akan berusia satu abad pada 2019. Bahkan, pengusaha Rachmat Gobel, menteri
perdagangan pertama Kabinet Kerja, turun tangan mengatasi kemelut PT Nyonya
Meneer.
Putusan pailit terhadap PT
Nyonya Meneer disampaikan dalam sidang majelis hakim PN Semarang, 3 Agustus
2017. Putusan diambil majelis hakim setelah perusahaan gagal membayar utang
Rp7 miliar kepada seorang kreditornya. Dalam putusannya, majelis hakim
sepakat mengabulkan gugatan kreditor, yaitu bahwa perjanjian perdamaian yang
disepakati debitor, kreditor, dan pihak kurator dinyatakan batal dan karena
dibatalkan, perusahaan harus dinyatakan pailit.
Angka Rp7 miliar sesungguhnya
bukan angka fantastis untuk perusahaan sebesar PT Nyonya Meneer. Untuk
sekelas perusahaan jamu papan atas, mestinya itu bukan sesuatu yang berat.
Akan tetapi, masalah kepailitan tidak pada angka utang. Masalahnya pada
ringannya syarat pemailitan. Adilkah pemailitan PT Nyonya Meneer menurut
hukum kita? Mari kita jawab judul di atas yang terkesan ironis dan paradoks
itu.
Pembuktian sumir
Putusan pailit PT Nyonya Meneer
tidak akan mengejutkan jika kita memahami UU yang mendasarinya, yaitu Pasal 2
ayat (1) UU No 37/2004 tentang Pembuktian Kepailitan secara Sederhana, yang
juga disebut pembuktian sumir. Pada pasal itu, pembuktian kepailitan sangat
ringan persyaratannya. Pasal itu memungkinkan seorang debitor dinyatakan
pailit apabila ia memiliki paling sedikit dua kreditor dan salah satu di
antara mereka mampu membuktikan piutangnya jatuh tempo dan dapat ditagih.
Pasal 2 ayat (1) itu berbunyi,
'Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya'. Syarat adanya dua (atau lebih)
kreditor ini, dalam hukum kepailitan, dikenal dengan istilah 'concursus
creditorium'.
Menurut Pasal 8 ayat (4) dari
UU yang sama, permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dipenuhi. Dalam
penjelasan pasal itu disebutkan, yang dimaksud 'fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana' ialah fakta dua (atau lebih) kreditor dan fakta
utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar.
Kuantitas Vs kualitas
Ringannya persyaratan pembuktian
kepailitan tak ayal menimbulkan korban yang tidak perlu. Yang dipersyaratkan
Pasal 2 ayat (1) UU No 37/2004 bukan besar piutang, melainkan banyaknya
kreditor, yaitu minimal dua. Kecilnya piutang yang didalilkan salah satu
kreditor pemohon pailit tidak menghalangi putusan pailit.
Akibat kemudahan pembuktian,
putusan yang dibuat pengadilan tingkat pertama yang didasarkan Pasal 2 ayat
(1) UU No 37/2004 banyak yang dibatalkan MA. Hal itu terbukti dari perkara
yang masuk wilayah pengadilan niaga dan MA. Dari perkara-perkara gugatan
pailit yang masuk ke pengadilan niaga, sebagian besar gugatannya dikabulkan.
Akan tetapi, kemudian gugatan-gugatan itu sebagian besar ditolak di tingkat
kasasi, dengan alasan pembuktiannya tidak bisa dilakukan secara sumir.
Ada perbedaan penafsiran di
antara para hakim niaga pada pengadilan tingkat pertama dan para hakim di
tingkat kasasi tentang pembuktian sumir. Menurut hakim tingkat pertama,
sebuah kasus dapat dibuktikan secara sederhana karena telah ada fakta dua
kreditor yang salah satu utangnya jatuh tempo tidak dibayar sehingga
permohonan pailit dapat dikabulkan. Namun, sebaliknya, hakim tingkat kasasi
menganggap kasus yang sama tidak dapat dibuktikan secara sumir. Alasannya,
antara lain utangnya disangkal debitor atau masih harus dibuktikan lanjut.
Dalam sejarah peradilan, hal
serupa pernah terjadi sebelum lahirnya UU kepailitan yang baru, yakni putusan
perkara PT Asuransi Jiwa Manulife dan putusan perkara PT Prudential Life
Assurance. Menurut majelis hakim pengadilan niaga, kedua perkara itu dapat
dibuktikan secara sederhana adanya dua kreditor yang salah satu utangnya
jatuh tempo dan dapat ditagih. Maka kedua perusahaan asuransi itu dipailitkan
majelis hakim pengadilan niaga.
Akan tetapi, sebaliknya,
menurut majelis hakim agung, kedua kasus itu tidak dapat dibuktikan secara
sederhana karena masih ada sanggahan pihak kreditor. Padahal, perbedaan
besarnya jumlah utang yang didalilkan pemohon pailit dan termohon pailit
seharusnya tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit itu. Hal
ini sejalan dengan penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU No 37/2004.
Sebab utama mengapa MA
membatalkan putusan pailit yang dijatuhkan pengadilan niaga adalah penafsiran
dan analisis tentang penerapan UU No 37/2004, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 8 ayat (3) tentang Pembuktian Sumir (Sederhana).
Pengadilan tingkat pertama,
dalam menjatuhkan putusan pailit dengan pembuktian sederhana, tidak melihat
perusahaan itu sehat atau tidak. Nyatanya, banyak perusahaan yang sebenarnya
sehat, tetapi dipailitkan hanya karena adanya dua debitor dan salah satu
piutangnya dibuktikan dapat ditagih. Padahal, debitor-debitor lainnya mungkin
saja tidak keberatan kalau perusahaan itu tidak dipailitkan.
Tinjau ulang
Karena ketidakjelasan itu,
pengertian pembuktian sumir perlu ditinjau dan diteliti lebih lanjut agar
dalam perkembangan penerapan hukum kepailitan yang akan datang ada kepastian
hukum. Peninjauan ulang tentang pembuktian sederhana sangat mendesak
mengingat kepentingan para investor yang menanamkan modal di RI. Mereka
membutuhkan kepastian hukum terkait dengan nasib usaha mereka.
Untuk menghindari jatuhnya
korban yang tidak perlu dari perusahaan-perusahaan yang masih sehat, dalam
revisi UU Kepailitan harus dibuat aturan pembuktian yang tidak terlalu
sederhana. Persyaratannya harus lebih berat. Seperti di negara lain, sebuah
perusahaan baru dapat dipailitkan apabila perusahaan itu sudah menyatakan
tidak bisa lagi melaksanakan kegiatan usahanya, sudah menyerah. Harus ada
rapat umum pemegang saham (RUPS) dan mayoritas suara pemegang saham
menyetujui perusahaan dipailitkan. Kalau persyaratan dipenuhi, barulah
putusan dapat dijatuhkan.
Tentu saja dalam revisi harus
diatur penilaian mengenai objektivitas pernyataan debitor. Kalau sebuah
perusahaan yang terancam pailit masih menyatakan sanggup memenuhi
kewajibannya, penilaian mengenai objektivitas kesanggupannya harus diatur
dalam revisi UU Kepailitan. Misalnya dengan persyaratan ada pernyataan resmi
dari RUPS. Sebaliknya, apabila ada pernyataan tidak sanggup, harus ada
keputusan resmi dalam RUPS.
Esensi pembuktian sebuah
perusahaan sudah tidak sehat lagi adalah sifat merugikan dari perusahaan itu.
Kalau dibiarkan berjalan terus, perusahaan diperkirakan akan merugikan para
kreditornya.
Sebagai langkah antisipasi,
harus dihindari pengambilan putusan peradilan yang hanya memperhatikan satu
atau dua debitor yang tidak dapat dibayar. Antisipasi harus ditingkatkan ke
beberapa debitor yang mempunyai kualitas tertentu, yaitu yang asetnya tidak
kecil.
Jangan sampai kreditor yang
hanya mempunyai piutang kecil, misalnya Rp1 miliar, dapat memailitkan
perusahaan yang memiliki aset ratusan miliar atau bahkan triliunan. Jangan
pula hanya dua debitor menentukan pailitnya perusahaan kreditor, melainkan
harus ditentukan berdasarkan persentase total piutang kreditor, misalnya 51%
dari total aset kreditor. Untuk itu perlu ada klasifikasi mengenai kreditor
yang dapat mengajukan gugatan pailit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar