Minggu, 19 November 2017

Mencari Keadilan dalam Hukum

Mencari Keadilan dalam Hukum
Aco Nur  ;  Kepala Badan Urusan Administrasi MA-RI
                                          MEDIA INDONESIA, 18 November 2017



                                                           
"HUKUM yang tidak adil bukanlah hukum," kata St Agustinus (354-430). Meski kalimat itu diucapkan pada abad ke-5 Masehi, banyak yang menganggap adagium itu relevan sampai kapan pun. Jika ada proses hukum yang dinilai tidak berkeadilan, hukum kehilangan peran hakiki.

Berita pemailitan pabrik jamu PT Nyonya Meneer memunculkan kehebohan di masyarakat. Berita ini mengejutkan, memunculkan pertanyaan tak percaya. Pasalnya, perusahaan jamu legendaris itu akan berusia satu abad pada 2019. Bahkan, pengusaha Rachmat Gobel, menteri perdagangan pertama Kabinet Kerja, turun tangan mengatasi kemelut PT Nyonya Meneer.

Putusan pailit terhadap PT Nyonya Meneer disampaikan dalam sidang majelis hakim PN Semarang, 3 Agustus 2017. Putusan diambil majelis hakim setelah perusahaan gagal membayar utang Rp7 miliar kepada seorang kreditornya. Dalam putusannya, majelis hakim sepakat mengabulkan gugatan kreditor, yaitu bahwa perjanjian perdamaian yang disepakati debitor, kreditor, dan pihak kurator dinyatakan batal dan karena dibatalkan, perusahaan harus dinyatakan pailit.

Angka Rp7 miliar sesungguhnya bukan angka fantastis untuk perusahaan sebesar PT Nyonya Meneer. Untuk sekelas perusahaan jamu papan atas, mestinya itu bukan sesuatu yang berat. Akan tetapi, masalah kepailitan tidak pada angka utang. Masalahnya pada ringannya syarat pemailitan. Adilkah pemailitan PT Nyonya Meneer menurut hukum kita? Mari kita jawab judul di atas yang terkesan ironis dan paradoks itu.

Pembuktian sumir

Putusan pailit PT Nyonya Meneer tidak akan mengejutkan jika kita memahami UU yang mendasarinya, yaitu Pasal 2 ayat (1) UU No 37/2004 tentang Pembuktian Kepailitan secara Sederhana, yang juga disebut pembuktian sumir. Pada pasal itu, pembuktian kepailitan sangat ringan persyaratannya. Pasal itu memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila ia memiliki paling sedikit dua kreditor dan salah satu di antara mereka mampu membuktikan piutangnya jatuh tempo dan dapat ditagih.

Pasal 2 ayat (1) itu berbunyi, 'Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya'. Syarat adanya dua (atau lebih) kreditor ini, dalam hukum kepailitan, dikenal dengan istilah 'concursus creditorium'.

Menurut Pasal 8 ayat (4) dari UU yang sama, permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dipenuhi. Dalam penjelasan pasal itu disebutkan, yang dimaksud 'fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana' ialah fakta dua (atau lebih) kreditor dan fakta utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar.

Kuantitas Vs kualitas

Ringannya persyaratan pembuktian kepailitan tak ayal menimbulkan korban yang tidak perlu. Yang dipersyaratkan Pasal 2 ayat (1) UU No 37/2004 bukan besar piutang, melainkan banyaknya kreditor, yaitu minimal dua. Kecilnya piutang yang didalilkan salah satu kreditor pemohon pailit tidak menghalangi putusan pailit.

Akibat kemudahan pembuktian, putusan yang dibuat pengadilan tingkat pertama yang didasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No 37/2004 banyak yang dibatalkan MA. Hal itu terbukti dari perkara yang masuk wilayah pengadilan niaga dan MA. Dari perkara-perkara gugatan pailit yang masuk ke pengadilan niaga, sebagian besar gugatannya dikabulkan. Akan tetapi, kemudian gugatan-gugatan itu sebagian besar ditolak di tingkat kasasi, dengan alasan pembuktiannya tidak bisa dilakukan secara sumir.

Ada perbedaan penafsiran di antara para hakim niaga pada pengadilan tingkat pertama dan para hakim di tingkat kasasi tentang pembuktian sumir. Menurut hakim tingkat pertama, sebuah kasus dapat dibuktikan secara sederhana karena telah ada fakta dua kreditor yang salah satu utangnya jatuh tempo tidak dibayar sehingga permohonan pailit dapat dikabulkan. Namun, sebaliknya, hakim tingkat kasasi menganggap kasus yang sama tidak dapat dibuktikan secara sumir. Alasannya, antara lain utangnya disangkal debitor atau masih harus dibuktikan lanjut.

Dalam sejarah peradilan, hal serupa pernah terjadi sebelum lahirnya UU kepailitan yang baru, yakni putusan perkara PT Asuransi Jiwa Manulife dan putusan perkara PT Prudential Life Assurance. Menurut majelis hakim pengadilan niaga, kedua perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana adanya dua kreditor yang salah satu utangnya jatuh tempo dan dapat ditagih. Maka kedua perusahaan asuransi itu dipailitkan majelis hakim pengadilan niaga.

Akan tetapi, sebaliknya, menurut majelis hakim agung, kedua kasus itu tidak dapat dibuktikan secara sederhana karena masih ada sanggahan pihak kreditor. Padahal, perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan pemohon pailit dan termohon pailit seharusnya tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit itu. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU No 37/2004.

Sebab utama mengapa MA membatalkan putusan pailit yang dijatuhkan pengadilan niaga adalah penafsiran dan analisis tentang penerapan UU No 37/2004, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (3) tentang Pembuktian Sumir (Sederhana).

Pengadilan tingkat pertama, dalam menjatuhkan putusan pailit dengan pembuktian sederhana, tidak melihat perusahaan itu sehat atau tidak. Nyatanya, banyak perusahaan yang sebenarnya sehat, tetapi dipailitkan hanya karena adanya dua debitor dan salah satu piutangnya dibuktikan dapat ditagih. Padahal, debitor-debitor lainnya mungkin saja tidak keberatan kalau perusahaan itu tidak dipailitkan.

Tinjau ulang

Karena ketidakjelasan itu, pengertian pembuktian sumir perlu ditinjau dan diteliti lebih lanjut agar dalam perkembangan penerapan hukum kepailitan yang akan datang ada kepastian hukum. Peninjauan ulang tentang pembuktian sederhana sangat mendesak mengingat kepentingan para investor yang menanamkan modal di RI. Mereka membutuhkan kepastian hukum terkait dengan nasib usaha mereka.

Untuk menghindari jatuhnya korban yang tidak perlu dari perusahaan-perusahaan yang masih sehat, dalam revisi UU Kepailitan harus dibuat aturan pembuktian yang tidak terlalu sederhana. Persyaratannya harus lebih berat. Seperti di negara lain, sebuah perusahaan baru dapat dipailitkan apabila perusahaan itu sudah menyatakan tidak bisa lagi melaksanakan kegiatan usahanya, sudah menyerah. Harus ada rapat umum pemegang saham (RUPS) dan mayoritas suara pemegang saham menyetujui perusahaan dipailitkan. Kalau persyaratan dipenuhi, barulah putusan dapat dijatuhkan.

Tentu saja dalam revisi harus diatur penilaian mengenai objektivitas pernyataan debitor. Kalau sebuah perusahaan yang terancam pailit masih menyatakan sanggup memenuhi kewajibannya, penilaian mengenai objektivitas kesanggupannya harus diatur dalam revisi UU Kepailitan. Misalnya dengan persyaratan ada pernyataan resmi dari RUPS. Sebaliknya, apabila ada pernyataan tidak sanggup, harus ada keputusan resmi dalam RUPS.

Esensi pembuktian sebuah perusahaan sudah tidak sehat lagi adalah sifat merugikan dari perusahaan itu. Kalau dibiarkan berjalan terus, perusahaan diperkirakan akan merugikan para kreditornya.

Sebagai langkah antisipasi, harus dihindari pengambilan putusan peradilan yang hanya memperhatikan satu atau dua debitor yang tidak dapat dibayar. Antisipasi harus ditingkatkan ke beberapa debitor yang mempunyai kualitas tertentu, yaitu yang asetnya tidak kecil.

Jangan sampai kreditor yang hanya mempunyai piutang kecil, misalnya Rp1 miliar, dapat memailitkan perusahaan yang memiliki aset ratusan miliar atau bahkan triliunan. Jangan pula hanya dua debitor menentukan pailitnya perusahaan kreditor, melainkan harus ditentukan berdasarkan persentase total piutang kreditor, misalnya 51% dari total aset kreditor. Untuk itu perlu ada klasifikasi mengenai kreditor yang dapat mengajukan gugatan pailit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar