Mengajar
Murid Kurang Ajar
Saifur Rohman ; Pengajar Program
Doktor di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
18 November
2017
Seorang oknum guru SMPN 10 Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung,
diduga telah menghajar siswa berinisial R, awal Oktober 2017. Berdasarkan video yang beredar, guru
melakukan pemukulan, tendangan, dan penyeretan lebih dari 15 kali. Siswa yang
hendak menenangkan pun kena sasaran pukulan lebih dari lima kali. Berdasarkan
penyelidikan, kejadian itu akibat murid mengejek dengan cara memanggil nama
secara langsung. Setelah kejadian, kepala sekolah menyatakan, badan korban
panas karena penyakit bisul di pantatnya.
Sebuah lembaga tentang anak
bermaksud melakukan pengaduan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagaimana pemerintah mesti menyikapi kasus ini? Kalau harus menggunakan
prinsip pembenaran, siapa yang pantas disalahkan? Kasus kekerasan dalam
pembelajaran tentulah tidak bisa dibenarkan. Dalam prinsip pembelajaran,
seorang guru haruslah mampu membawakan materi ajar dengan cara yang
menyenangkan. Baik guru maupun murid berada dalam suasana yang akrab dan
kondusif untuk pembelajaran.
Guru senang, murid pintar
Dalam praktik tentulah tidak
mudah. Persoalan-persoalan yang dihadapi guru bukan sebuah barang yang dapat
diidentifikasi berdasarkan sampel, tetapi subyek manusia yang memiliki
identitas yang unik. Teknik pembelajaran demikian tidak bisa diseragamkan.
Begitu pula dasar-dasar komunikasi juga tidak selalu menggunakan prinsip yang
sama di seluruh penjuru negeri.
Bila pemikiran tersebut
dipahami, maka tak sulit melihat bahwa kasus kekerasan yang dilakukan guru
bukan semata-mata menjadi tanggung jawabnya. Ada persoalan-persoalan dasar
yang perlu dipahami bersama. Pertama, perilaku murid yang kurang ajar
merupakan kegagalan keluarga, lingkungan, dan sekolah. Dalam teori pendidikan
Ki Hadjar Dewantara, pola asuh merupakan bagian penting dalam trisentra
pendidikan. Dalam kasus ini, memanggil nama secara langsung dalam konteks di
sekolah merupakan pelanggaran yang sangat serius.
Hal itu pastilah bukan yang
pertama. Perilaku itu merupakan akumulasi dari peristiwa-peristiwa
sebelumnya. Dalam tradisi masyarakat, panggilan terhadap seseorang menjadi
alat ukur kesantunan setiap pribadi. Dalam komunikasi keluarga, seorang anak
harus memanggil kakak untuk saudara kandung lebih tua. Di luar keluarga inti,
sekalipun umurnya lebih tua dalam jalur saudara sepupu, seorang anak juga
harus memosisikan diri sebagai adik untuk anak yang lahir dari kakak
orangtuanya.
Dalam pergaulan sehari-hari,
panggilan pada seseorang mendapatkan peran penting. Contoh, seorang yang
lebih dulu masuk dalam komunitas tertentu secara otomatis akan dipanggil
kakak pembina sebagai perwujudan penghormatan terhadap senior.
Kedua, dari perspektif pribadi
guru, pemerintah telah keliru melakukan pembinaan terhadap guru.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan amanat
dalam Pasal 10 Ayat 1 tentang pentingnya empat kemampuan dasar bagi guru,
yakni kompetensi pedagogi, sosial, kepribadian, dan profesional. Seorang guru
dituntut tak hanya mampu mengontrol emosi, tetapi juga santun di dalam
sekolah. Hal itu harus ditopang kemampuan guru mengajar dan materi yang
diajarkan.
Ketiga, pemerintah selama ini
gagal melakukan pembinaan kompetensi sosial dan kepribadian. Hal itu terbukti
dalam pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) yang hanya menurunkan soal dari
dua kompetensi: profesional dan pedagogis. Isinya tentang teori pembelajaran
dan kualitas materi ajar.
Guru pintar
Ujian kompetensi ini hanya
meloloskan guru-guru yang pintar secara akademis. Guru-guru yang memiliki
pengalaman panjang dalam mengajar dan mengelola siswa tidak dapat tempat
dalam tes itu. Jadi, tidak sulit memahami bahwa guru-guru senior memiliki
nilai UKG yang buruk.
Di dalam kerangka evaluasi,
tolok ukur penting bukan hanya skor hasil penilaian, tetapi juga alat tes
yang digunakan. Sebuah skor yang rendah tidak selalu memberikan indikasi
buruknya kualitas seorang subyek tes, melainkan perlu menelusuri alat tes
yang digunakan. Jika direfleksikan dalam pembinaan guru di Indonesia, alat
tes yang tidak memadai kiranya tak bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk
kompetensi guru secara keseluruhan.
Keempat, Kurikulum 2013 yang
dicanangkan pemerintah tak mampu menampung konsep pembelajaran yang didasari
pada pembinaan budi pekerti. Kurikulum memusatkan proses pembelajaran pada
satu metode saintifik yang sangat pragmatis dan material. Sementara hasil
pembelajaran dinilai berdasarkan kemampuan siswa menghasilkan barang. Inovasi
dan kreasi jadi kata kunci dalam pembelajaran.
Kurikulum ini tak mampu
menjawab pertanyaan tentang rancangan pembelajaran yang didasarkan pada
pendidikan budi pekerti. Pembentukan watak cenderung dilakukan oleh satuan
pendidikan berdasarkan penafsiran masing-masing. Ada yang mengutamakan cium
tangan di pintu gerbang sekolah, membacakan ayat-ayat suci di tengah
lapangan, hingga menjalankan ibadah secara bersama-sama.
Pendidikan budi pekerti
bukanlah pengetahuan yang luas tentang agama dan urutan melakukan ibadah. Hal
itu terletak pada konsep pembangunan manusia seutuhnya yang adil dan beradab.
Pendeknya, pendidikan bukan jumlah pengetahuan, melainkan kualitas perilaku
dari tiap peserta didik. Disiplin hanya menghasilkan ketundukan, tetapi tidak
membentuk mental.
Seperti kata pepatah “mendulang
air tepercik ke muka sendiri”, kasus kekerasan di sekolah merupakan bukti
kegagalan proyek pendidikan di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar