Kamis, 09 November 2017

Kebohongan dalam Pendidikan

Kebohongan dalam Pendidikan
Sidharta Susila  ;   Pendidik di Muntilan, Magelang
                                                    KOMPAS, 07 November 2017



                                                           
Memar di tubuh pendidikan karena perilaku berbohong masih terasa. Semoga rasa nyerinya tak segera sirna agar kita sungguh sadar bahwa pendidikan kita dalam keadaan krisis.

Perilaku bohong dalam pendidikan menghancurkan kehidupan. Kita terguncang oleh proses pendidikan fantastis di sejumlah perguruan tinggi yang praktis meniadakan proses. Guncangan lain oleh aksi berbohong pelajar kita yang pernah dijuluki the next Habibie. Lembaga penting negeri ini teperdaya. Ini memalukan dan memprihatinkan.

Kebiasaan berbohong

Apakah perilaku berbohong dalam pendidikan yang terbongkar ini hanya karena para pelakunya sedang apes saja? Ataukah sesungguhnya ini fenomena gunung es realitas pendidikan kita? Kebohongan itu palsu.

Sebait puisi Joko Pinurbo (Jokpin) berjudul “Kenangan” (2016) bertutur: Suatu saat kau akan jadi kenangan/ bagi tukang fotomu. Ia memotretmu/ dengan sangat cermat dan teliti agar mendapatkan/ gambar terbaik tentang  bukan-dirimu./ Jokpin menyadarkan kita yang terlelap dalam perilaku bahkan kebiasaan hidup dengan kepalsuan serta kebohongan.

Sejumlah teman kepala sekolah mengatakan bahwa ketidakjujuran dalam pendidikan kita telah lama terjadi. Pada banyak perlombaan antarsekolah, dengan melihat siapa yang menjadi jurinya, para pendamping bisa menebak siapa juaranya. Apa pun jenis lombanya, apabila diselenggarakan oleh lembaga dengan paket juri yang sama, pemenangnya dari sekolah itu-itu juga. Lain halnya apabila perlombaan diselenggarakan oleh pihak independen.

Beberapa tahun yang lalu, banyak guru dan kepala sekolah ekstra repot jika menjalani akreditasi sekolah. Mereka harus memberikan pelayanan istimewa bak raja bagi para asesor demi kesuksesan akreditasi sekolah. Resep sukses akreditasi dipelajari dari sesama rekan pengelola sekolah yang mendapat nilai akreditasi tidak memuaskan karena kurang memberikan pelayanan istimewa kepada asesor.

Untuk itu semua harus dikeluarkan biaya ekstra. Apesnya, biaya itu tidak bisa dimasukkan dalam laporan keuangan sekolah. Nekat mencatatkan akan terjerat kasus korupsi. Berbohong pun menjadi pilihan.

Beberapa tahun yang lalu kita juga disibukkan oleh perilaku sejumlah oknum pejabat yang gemar mengeluarkan peraturan daerah (perda) terkait dinamika pembelajaran di sekolah. Perda-perda tersebut dikeluarkan untuk mendulang popularitas oknum pejabat bersangkutan, entah karena ingin mencalonkan diri lagi atau karena posisinya sedang rawan. Perda dikeluarkan bukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, akhlak, atau iman siswa, melainkan lebih demi kepentingan diri sendiri dengan memuaskan hasrat primordial publik. Perda-perda semacam itu mengeksplorasi aspek primordial seperti agama, misalnya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa perilaku berbohong sudah terbiasa dalam pendidikan kita. Masygulnya acap kali dilakukan secara sistematis dan senyap. Artinya, anak-anak kita sudah terbiasa dididik dalam atmosfer kebohongan. Kebohongan serasa lumrah. Banyak pelaku pendidikan justru diasingkan dan apes nasibnya karena tidak ikut berbohong. Jujur dianggap kekonyolan dan ketololan.

Kuasa kebohongan

Meski menghancurkan, kebohongan dalam penyelenggaraan pendidikan banyak dianggap sebagai pilihan niscaya untuk menyelamatkan dan menjaga eksistensi sekolah. Apalagi persaingan antarsekolah semakin sengit. Berbagai kelicikan dan ketidakjujuran, bahkan hasutan dan intimidasi, dilakukan demi keberlangsungan suatu lembaga pendidikan. Seperti bait puisi Jokpin, media cetak dan elektronik pun sering gencar melakukan publikasi palsu tentang suatu lembaga pendidikan.

Situasi semakin rumit ketika oknum pejabat ikut bermain. Pendidikan pun dipolitisasi. Sayangnya, politisasi pendidikan itu mengeksplorasi aspek primordialisme. Rajutan pluralisme dalam pendidikan pun terkoyak. Ketidakadilan menjamur dalam dunia pendidikan. Dinamika semacam ini sering kali hanya melahirkan prestasi semu dan lulusan abal-abal.

Dinamika pendidikan kita ditingkahi oleh kepalsuan. Banyak generasi kita tumbuh dalam pemahaman dan kesadaran yang palsu, baik tentang hakikat dirinya sendiri maupun tentang kehidupan ini. Kita bisa paham mengapa radikalisme tumbuh sumbur dalam dunia pendidikan kita. Anak didik kita yang telah bersikap radikal itu terjerembab dalam jurang kepalsuan akibat pembohongan yang sistematis.

Kuasa kebohongan dalam dinamika pendidikan, lebih-lebih apabila diorkestrasi oleh oknum pejabat, mulai dari pusat sampai tingkat sekolah, pada akhirnya melahirkan sikap saling curiga. Kecemasan merasuki pelaku pendidikan kita. Pendidikan kita tak lugas karena bergulir dalam keremangan. Dulu kita kenal adanya permainan nilai yang mengakibatkan pengabaian proses pendidikan.

Tidak mengherankan kalau akhirnya pendidikan kita diguncang perilaku berbohong yang melahirkan lulusan abal-abal. Ini adalah perjumpaan antara oknum pendidik yang lumpuh hati nuraninya dengan pembelajar yang tidak dididik berproses. Kecenderungan hedonis dan pragmatis kian menyuburkan dinamika pendidikan abal-abal itu.

Pendidikan kita hanya maju apabila diselenggarakan dengan jujur, transparan, berkeadilan, dan mengandalkan proses. Kalau kita gagal memperjuangkan pendidikan dengan cara semacam ini, maka cita-cita para pendiri bangsa yang ingin mengantarkan bangsa ini ke kehidupan yang makmur, sejahtera, dan beradab hanya menjadi mimpi di siang bolong. Kita akan terus menjadi bangsa dungu yang gemar berbohong dan hidup dalam kepalsuan. Ketidakadilan dan kebohongan hanya menaburkan ragi divide et impera pada bangsa ini. Jangan heran jika kita makin dungu dan gampang diadu domba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar