Hak
Warga atas Pembangunan
Suhardi Suryadi ; Direktur LP3ES
2005-2010;
Konsultan Knowlegde
Management Proyek Lestari, USAID
|
KOMPAS,
07 November
2017
"Informed Consent” adalah suatu
kesepakatan atau persetujuan memilih dari seorang pasien atas tindakan medis
oleh dokter terkait dengan penyakit yang diderita oleh pasien. Persetujuan
diberikan setelah memperoleh informasi detail keadaan penyakit dan
implikasinya serta risiko yang terjadi jika tidak dilakukan tindakan. Hal ini
didasarkan pada premis moral dan hukum terkait otonomi setiap orang bahwa
setiap pasien memiliki hak memilih sendiri status kesehatannya yang
berpengaruh terhadap kehidupannya.
Konsep persetujuan memilih dalam
dunia medis ini pada dasarnya dapat pula diterapkan pada bidang pembangunan
yang lain, terutama jika menyangkut kegiatan yang berdampak langsung terhadap
kondisi dan kelangsungan penghidupan seseorang dan warga. Dengan persetujuan
pada awal secara penuh hati/sukarela atas setiap rencana pembangunan, baik
dari pemerintah maupun swasta, warga dapat memutuskan untuk menerima atau
menolaknya.
Hak warga
Selama ini berbagai rencana pembangunan
kurang maksimal untuk meminta persetujuan warga di mana lokasi pembangunan
berada karena anggapan membangun adalah hak pemerintah. Sepanjang aturan hukum dan syarat administrasi
dipenuhi, tak penting ada persetujuan warga atau tidak. Penegasian ini juga
didasari sikap pemerintah yang acap bertindak sepihak dengan dalih
kepentingan umum, berdampak positif bagi kesejahteraan dan kemajuan
masyarakat.
Di samping itu, orientasi pembangunan yang
semata bertujuan peningkatan ekonomi cenderung melihat persetujuan warga
menyita waktu dan membutuhkan biaya. Dengan kata lain, tak produktif dan
efisien. Cukup melalui wakil rakyat baik di parlemen maupun tokoh masyarakat.
Kalaupun ada mekanisme meminta
persetujuan atas sebuah proyek melalui
sosialisasi, acap kali prosesnya berlangsung artifisial dan hasilnya tak
jarang manipulasi dan koersi akibat ada kontrol dan hambatan saat warga
menentukan pilihannya. Tak ayal ketika
pembangunan dimulai ada protes atau penolakan.
Mekanisme musrenbang sebagai
wadah menampung aspirasi dan usulan warga tentang pembangunan juga terkesan
formalitas mengingat realisasinya jauh panggang dari api. Berdasarkan studi
efektivitas musrenbang yang dilakukan
Wiyasti Dwiandini dan Roy Valiant Salomo, FISIP UI di Jakarta Timur
tahun 2012, dari 203 usulan masyarakat, hanya
14 usulan (6,89 persen) yang diakomodasi dan dianggarkan menjadi kegiatan.
Pemerintah acap kali berkilah bahwa aspirasi warga sesungguhnya
telah diakomodasi sebagai masukan dalam mengatasi atau mengurangi risiko dan dampak negatif pembangunan dari
aspek sosial, ekonomi dan lingkungan melalui instrumen amdal. Yang menjadi masalah, kajian amdal belum
sepenuhnya obyektif dan digunakan
sebagai dasar menentukan kebijakan untuk menerima dan menolak rencana proyek.
Sebaliknya hasil amdal lebih
bersifat dokumen semata untuk
kelengkapan administrasi bagi izin pelaksanaan. Karena itu, sekalipun
berpotensi mengganggu kelangsungan penghidupan warga sekitar dan mengancam
kelestarian lingkungan, tak jarang sebuah rencana pembangunan tetap
dilanjutkan karena ada dokumen amdal.
Salah satu contoh, proyek reklamasi teluk Jakarta.
Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan yang
lain, ketiadaan persetujuan awal warga pada dasarnya bukan karena persoalan
kapasitas aparatur pemerintah yang rendah, melainkan akibat absennya kemauan
politik (kehadiran negara). Penetapan sebuah pembangunan sering kurang
mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dari masyarakat dan
lebih mengutamakan kepentingan dunia usaha (korporat) dan politik.
Sebaliknya, berbagai rencana
pembangunan yang diharapkan masyarakat dan cukup baik dari sisi teknis serta
berdampak positif dari sisi sosial lingkungan, gagal diintegrasikan,
dianggarkan dan diwujudkan menjadi kenyataan karena adanya kepentingan
ekonomi politik dari elite di tingkat lokal dan nasional.
Menghargai hak setiap warga menentukan
sendiri setiap rencana pembangunan sangat penting agar dapat dukungan warga
dan tak menimbulkan konflik. Warga
perlu diberi kesempatan tanpa paksaan untuk menilai bahwa pembangunan yang
direncanakan akan bermanfaat dan dapat membawa kemakmuran bagi
penghidupannya.
Gagasan tentang hak warga atas
pembangunan pada dasarnya bukan hal baru karena sudah diakui secara internasional sejak 1986.
Referensi formal tentang hak warga atas pembangunan, dalam arti “akta
kelahirannya”, dapat dilihat dalam resolusi 4 (XXXIII), yang diadopsi Komisi
Hak Asasi Manusia pada 21 Februari 1977 (Realizing the Right to Development.
PBB, 2013).
Inisiatif Pulang Pisau
Pembangunan yang dianggap sebagai upaya
memenuhi kebutuhan pribadi setiap orang perlu selaras dengan kondisi sosial
masyarakat pada umumnya. Karena itu, pembangunan tak selalu menggunakan
pendekatan yang tradisional, yaitu pertumbuhan ekonomi nasional atau
peningkatan pendapatan per kapita.
Sebaliknya pembangunan penting dilihat dalam perspektif lebih besar
mengenai penciptaan lingkungan kondusif bagi terwujudnya harapan warga secara
penuh, termasuk didengar aspirasinya.
Di Indonesia, upaya menggali aspirasi dan meminta
persetujuan warga sebagai wujud dari hak atas pembangunan memang masih
terbatas dilakukan. Salah satu contohnya di Kabupaten Pulang Pisau,
Kalimantan Tengah. Di wilayah Kesatuan
Hidrologis Gambut (KHG14), Badan Restorasi Gambut (BRG) merencanakan membangun sekat kanal agar tanah gambut dapat menahan air pada musim
kemarau dan mengurangi risiko kebakaran lahan dan hutan di wilayah tersebut.
Sebelum dibangun, BRG terlebih
dahulu meminta persetujuan di awal dari warga mencakup letak, bentuk, ukuran
kanal, serta risiko dan dampak dari pembangunan sekat kanal. Termasuk persetujuan
terkait waktu penutupan kanal primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan ini
ternyata mampu menghindari konflik antara warga dan pemerintah. Dalam kasus
sebelumnya, warga merusak sekat kanal ketika
kanal gambut ditutup tanpa
konsultasi dan persetujuan warga.
Ini menunjukkan, hak warga atas pembangunan
secara signifikan dipengaruhi oleh dua proses yang saling terkait dan
tergantung: (1) munculnya kesadaran warga yang mencari status kesetaraan dan
keadilan dalam hubungan dengan
pemerintah, terutama dalam menentukan sesuatu yang terkait dengan sumber
penghidupan; dan (2) kegagalan nyata dari model pembangunan yang sebatas
berorientasi keuntungan dan berpusat pada ekonomi serta
menghilangkan kesejahteraan sosial.
Ke depan, membatasi, menghambat, apalagi
menegasikan aspirasi dan hak warga dalam menentukan rencana pembangunan sudah
tak lagi tepat. Sebaliknya, pemerintah harus mempromosikan dan memperluas
penerapannya, terutama untuk pembangunan infrastruktur yang memiliki pengaruh
nyata terhadap masa depan penghidupan warga. Dengan demikian, pembangunan
mendapat legitimasi hukum dan sosial.
Jika tidak, selain dapat memicu konflik, pemerintah juga akan dianggap
tak menghargai hak warga paling fundamental dalam proses pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar