Istri
Korban KDRT dalam Keluarga
Bagong Suyanto ; Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas
Airlangga
|
MEDIA INDONESIA, 14 November 2017
SESUNGGUHNYA tidak ada
satu pun rumah tangga di dunia ini yang tidak diwarnai perbedaan, dan bahkan
konflik yang terbuka. Selama proses penyesuaian antara pasangan satu dan yang
lain, niscaya pasti pernah terjadi pergesekan dan letupan konflik yang
dipicu berbagai alasan. Namun, apa yang dilakukan seorang dokter bernama Ryan
Helmi di Jakarta Timur ini benar-benar sulit dinalar akal sehat.
Gara-gara dipicu tindakan
istri yang menggugat cerai, bukannya melakukan introspeksi atas kesalahan
yang menyakiti hati istrinya, dokter Ryan Helmi kemudian malah menembak
hingga tewas istrinya sendiri. Setelah terjadi adu mulut dengan istrinya yang
juga seorang dokter, Helmi tiba-tiba mengeluarkan pistol dan langsung
menembak istrinya sendiri sebanyak enam kali hingga korban tewas. Istri Helmi
itu meminta cerai karena selama lima tahun pernikahannya, ia sering menjadi
korban KDRT suaminya. Sayangnya, sebelum gugatannya dikabulkan, dokter Letty
Sultri, istri pelaku, keburu tewas karena luka tembakan suaminya.
Saat ini Helmi, suami
pelaku pembunuhan itu, memang telah menyerahkan diri ke Kantor Polda Metro
Jaya sambil membawa dua pistol, yakni revolver rakitan dan jenis FN.
Berdasarkan hasil tes urine, Helmi positif mengonsumsi obat penenang
benzodiazepine. Atas perbuatan yang dilakukan, suami yang tega membunuh istrinya
sendiri itu kemudian dijerat pembunuhan berencana dengan Pasal 340 dan 338
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Indonesia, kisah suami
yang tega membunuh istrinya sendiri, bahkan termasuk membunuh anak-anak
kandungnya sendiri pun, sebetulnya bukan hal baru. Kasus pembunuhan yang
dilakukan Helmi terhadap istrinya sendiri bukanlah satu-satunya kasus
kehidupan rumah tangga yang berakhir tragis. Di berbagai wilayah, kasus
pembunuhan istri yang dilakukan suaminya sendiri ini tidak sekali-dua kali terjadi.
Bahkan, ada pula kasus pembunuhan istri sendiri yang dilakukan dengan sangat
kejam, dengan korban tidak hanya dibunuh, tetapi juga dimutilasi.
Kasus pembunuhan dokter
Letty oleh suaminya sendiri menarik perhatian publik karena pelakunya ialah
orang yang notabene berpendidikan tinggi. Sejumlah studi telah banyak
membuktikan kasus tindak kekerasan dan pembunuhan yang terjadi dalam keluarga
biasanya lebih banyak terjadi pada keluarga dari golongan menengah ke bawah.
Fakta yang terungkap ialah suami yang kasar biasanya miskin, kurang
berpendidikan, pengangguran atau teperangkap dalam pekerjaan yang bergaji
rendah (Horton & Hunt, 1984). Perilaku dokter Helmi yang tega membunuh
istrinya sendiri membuktikan tindak kekerasan dan sikap tega suami membunuh istrinya
sendiri ternyata tidak dibatasi sekat-sekat kelas sosial ekonomi pelakunya.
Faktor pemicu terjadinya
tindak kekerasan dan pembunuhan istri oleh suaminya sendiri dalam banyak
kasus disebabkan ketersinggungan para suami yang merasa wilayah kehormatan,
harga diri, dan batas kekuasaan mereka telah dilanggar. Seorang suami yang
merasa posisinya sebagai kepala rumah tangga dan tulang punggung keluarga
sering tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya bukanlah sosok perempuan
yang serbapenurut dan mau menerima ideologi patriarkis yang menyubordinasi
mereka. Ketika pihak istri telah memiliki karier dan penghasilan sendiri, dan
tidak lagi bergantung pada pemberian suaminya, perlakuan semena-mena suaminya
umumnya tidak lagi mereka toleransi.
Dalam lima tahun terakhir,
bukan rahasia lagi bahwa di berbagai daerah pengajuan gugatan permintaan
cerai meningkat pesat dengan mayoritas pengajuan perceraian ini biasanya
dilaksanakan pihak istri. Ada berbagai ragam alasan dalam pengajuan
perceraian, mulai tekanan ekonomi, tuduhan KDRT yang dilakukan pihak suami,
atau tidak bertanggung jawabnya suami, serta ketidakharmonisan keluarga.
Selain faktor ekonomi dan
berbagai faktor lain, terjadinya domestic violence (kekerasan dalam rumah
tangga) dan perasaan tidak aman sebagai istri dalam keluarga ialah pemicu
utama terjadinya perceraian di masyarakat. Sebuah studi melaporkan sekitar
10% hingga 25% wanita yang menikah umumnya pernah mengalami tindak kekerasan
dari pasangannya (Dobash, 1996). Bentuk kekerasan yang dialami para istri
dalam keluarga bermacam-macam, mulai verbal abuse, sekadar tamparan, hingga
tindak kekerasan yang berakhir dengan kematian korban.
Menikah bagi sebagian
suami pada dasarnya acap dipahami sebagai tiket atau izin untuk memukul
pasangannya. Di masa lalu, ketika perempuan masih tidak berdaya, mungkin
sebagian besar istri lebih memilih menahan penderitaan mereka dan bahkan
menutupi apa yang mereka alami dengan pertimbangan demi nama baik dan
keselamatan anak-anak.
Pada saat kaum perempuan
masih inferior, marginal, tersubordinasi, dan lemah posisi bargaining-nya,
perlakuan semena-mena dan yang menyubordinasi memang biasanya akan ditelan
mentah-mentah begitu saja dan dipahami sebagai hal yang menjadi takdir kaum
perempuan. Namun, lain soal ketika posisi tawar kaum perempuan mulai
meningkat, bersamaan dengan makin terbukanya kesempatan kerja dan jalur
pendidikan bagi kaum perempuan.
Dalam berbagai kasus,
konflik dalam rumah tangga yang kemudian berakhir pada perlakuan yang
semena-mena kepada kaum perempuan, selain bersumber dari kekhawatiran kaum
pria kehilangan kekuasaan dan kewenangan mereka sebagai kepala rumah tangga,
juga acap kali dipicu perasaan cemburu yang berlebihan dan ketidakpuasan
terhadap layanan yang diberikan pasangan mereka dalam urusan domestik. Pada
satu titik yang kaum perempuan sudah tidak lagi mampu menahan penderitaan,
yang terjadi kemudian ialah perceraian menjadi jalan keluar yang menjanjikan.
Goode (2002) menyatakan
dalam berbagai kasus, banyak ditemui keluarga yang merupakan ‘keluarga
selaput kosong’, tetapi tidak sampai tahap perceraian. Risiko yang ditanggung
perempuan yang makin berdaya memang sering kali di luar dugaan. Meski dalam
berbagai kasus kebanyakan suami mau introspeksi dan bahkan menerima
perceraian atas gugatan istri, masih ada sebagian suami yang tidak siap
menerima perubahan dan keberdayaan istri.
Kasus pembunuhan dokter
Letty oleh suaminya sendiri karena enggan dicerai ialah salah satu bukti
bahwa persoalan KDRT dan posisi subordinat kaum perempuan masih mewarnai
banyak keluarga di Tanah Air. Untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi
lagi di kemudian hari, yang dibutuhkan tak pelak ialah kepedulian masyarakat
untuk ikut menjaga keselamatan kaum perempuan yang selama ini teraniaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar