Kamis, 16 November 2017

Istri Korban KDRT dalam Keluarga

Istri Korban KDRT dalam Keluarga
Bagong Suyanto ;  Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
                                         MEDIA  INDONESIA, 14 November 2017



                                                           
SESUNGGUHNYA tidak ada satu pun rumah tangga di dunia ini yang tidak diwarnai perbedaan, dan bahkan konflik yang terbuka. Selama proses penyesuaian antara pasangan satu dan yang lain, niscaya pasti pernah terjadi pergesekan dan letupan kon­flik yang dipicu berbagai alasan. Namun, apa yang dilakukan seorang dokter bernama Ryan Helmi di Jakarta Timur ini benar-benar sulit dinalar akal sehat.

Gara-gara dipicu tindakan istri yang menggugat cerai, bukannya melakukan introspeksi atas kesalahan yang menyakiti hati istrinya, dokter Ryan Helmi kemudian malah me­nembak hingga tewas istrinya sendiri. Setelah terjadi adu mulut dengan istrinya yang juga seorang dokter, Helmi tiba-tiba mengeluarkan pistol dan langsung menembak istrinya sendiri sebanyak enam kali hingga korban tewas. Istri Helmi itu meminta cerai karena selama lima tahun pernikahannya, ia sering menjadi korban KDRT suaminya. Sayangnya, sebelum gugatannya dikabulkan, dokter Letty Sultri, istri pelaku, keburu tewas karena luka tembakan suaminya.

Saat ini Helmi, suami pelaku pembunuhan itu, memang telah menyerahkan diri ke Kantor Polda Metro Jaya sambil membawa dua pistol, yakni revolver rakitan dan jenis FN. Berdasarkan hasil tes urine, Helmi positif mengonsumsi obat penenang benzodiaze­pine. Atas perbuatan yang dilakukan, suami yang tega membunuh istrinya sendiri itu kemudian dijerat pembunuhan berencana dengan Pasal 340 dan 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Di Indonesia, kisah suami yang tega membunuh istri­nya sendiri, bahkan termasuk membunuh anak-anak kan­dungnya sendiri pun, sebetulnya bukan hal baru. Kasus pembunuhan yang dilakukan Helmi terhadap istrinya sendiri bukanlah satu-satunya kasus kehidupan rumah tangga yang berakhir tragis. Di berbagai wilayah, kasus pembunuhan istri yang dilakukan suaminya sendiri ini tidak sekali-dua kali terjadi. Bahkan, ada pula kasus pembunuhan istri sendiri yang dilakukan dengan sangat kejam, dengan korban tidak hanya dibunuh, tetapi juga dimutilasi.

Kasus pembunuhan dokter Letty oleh suaminya sendiri menarik perhatian publik karena pelakunya ialah orang yang notabene berpendidikan tinggi. Sejumlah studi telah banyak membuktikan kasus tindak kekerasan dan pembunuhan yang terjadi dalam keluarga biasanya lebih banyak terjadi pada keluarga dari golongan menengah ke bawah. Fakta yang terungkap ialah suami yang kasar biasanya miskin, kurang berpendidikan, pengangguran atau teperangkap dalam pekerjaan yang bergaji rendah (Horton & Hunt, 1984). Perilaku dokter Helmi yang tega membunuh istrinya sendiri membuktikan tindak kekerasan dan sikap tega suami membunuh istrinya sendiri ternyata tidak dibatasi sekat-sekat kelas sosial ekonomi pelakunya.

Faktor pemicu terjadinya tindak kekerasan dan pembunuhan istri oleh suaminya sendiri dalam banyak kasus disebabkan ketersinggungan para suami yang merasa wilayah kehormatan, harga diri, dan batas kekuasaan mereka telah dilanggar. Seorang suami yang merasa posisinya sebagai kepala rumah tangga dan tulang punggung keluarga sering tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya bukanlah sosok perempuan yang serbapenurut dan mau menerima ideologi patriarkis yang menyubordinasi mereka. Ketika pihak istri telah memiliki karier dan penghasilan sendiri, dan tidak lagi bergantung pada pemberian suaminya, perlakuan semena-mena suaminya umumnya tidak lagi mereka toleransi.

Dalam lima tahun terakhir, bukan rahasia lagi bahwa di berbagai daerah pengajuan gugatan permintaan cerai meningkat pesat dengan mayoritas pengajuan perceraian ini biasanya dilaksanakan pihak istri. Ada berbagai ragam alasan dalam pengajuan perceraian, mulai tekanan ekonomi, tuduhan KDRT yang dilakukan pihak suami, atau tidak bertanggung jawabnya suami, serta ketidakharmo­nisan keluarga.

Selain faktor ekonomi dan berbagai faktor lain, terjadinya domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga) dan perasaan tidak aman sebagai istri dalam keluarga ialah pemicu utama terjadinya perceraian di masyarakat. Sebuah studi melaporkan sekitar 10% hingga 25% wanita yang menikah umumnya pernah mengalami tindak kekerasan dari pasangannya (Dobash, 1996). Bentuk kekerasan yang di­alami para istri dalam keluarga bermacam-macam, mulai verbal abuse, sekadar tamparan, hingga tindak kekerasan yang berakhir dengan kematian korban.

Menikah bagi sebagian suami pada dasarnya acap dipahami sebagai tiket atau izin untuk memukul pasang­annya. Di masa lalu, ketika perempuan masih tidak berdaya, mungkin sebagian besar istri lebih memilih menahan penderitaan mereka dan bahkan menutupi apa yang mereka alami dengan pertimbangan demi nama baik dan keselamat­an anak-anak.

Pada saat kaum perempuan masih inferior, marginal, tersubordinasi, dan lemah posisi bargaining-nya, perlakuan semena-mena dan yang menyubordinasi memang biasanya akan ditelan mentah-mentah begitu saja dan dipahami sebagai hal yang menjadi takdir kaum perempuan. Namun, lain soal ketika posisi tawar kaum perempuan mulai meningkat, bersamaan dengan makin terbukanya kesempatan kerja dan jalur pendidikan bagi kaum perempuan.

Dalam berbagai kasus, konflik dalam rumah tangga yang kemudian berakhir pada perlakuan yang semena-mena kepada kaum perempuan, selain bersumber dari kekhawatiran kaum pria kehilangan kekuasaan dan kewenangan mereka sebagai kepala rumah tangga, juga acap kali dipicu perasaan cemburu yang berlebihan dan ketidakpuasan terhadap layanan yang diberikan pasangan mereka dalam urusan domestik. Pada satu titik yang kaum perempuan sudah tidak lagi mampu menahan penderitaan, yang terjadi kemudian ialah perceraian menjadi jalan keluar yang menjanjikan.

Goode (2002) menyatakan dalam berbagai kasus, banyak ditemui keluarga yang merupakan ‘keluarga selaput kosong’, tetapi tidak sampai tahap perceraian. Risiko yang ditanggung perempuan yang makin berdaya memang sering kali di luar dugaan. Meski dalam berbagai kasus kebanyakan suami mau introspeksi dan bahkan menerima perceraian atas gugatan istri, masih ada sebagian suami yang tidak siap menerima perubahan dan keberdayaan istri.

Kasus pembunuhan dokter Letty oleh suaminya sendiri karena enggan dicerai ialah salah satu bukti bahwa persoalan KDRT dan posisi subordinat kaum perempuan masih mewarnai banyak keluarga di Tanah Air. Untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari, yang dibutuhkan tak pelak ialah kepedulian masyarakat untuk ikut menjaga keselamatan kaum perempuan yang selama ini teraniaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar