Rekrutmen
Terbuka Caleg 2019
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi
Politik UIN Jakarta dan Presidium Asosiasi Ilmuan Komunikasi Politik Indonesia
(AIKPI)
|
MEDIA INDONESIA, 13 November 2017
INDONESIA terus bergerak
mematangkan konsolidasi demokrasi melalui ragam fase kesejarahan yang
dilalui. Tak sepenuhnya menggembirakan. Banyak paradoks yang muncul dan
berpotensi membuat perjalanan demokrasi kita stagnan. Tak jarang pula, banyak
peristiwa politik destruktif yang seolah mau memutar arah demokrasi kita ke
masa silam. Salah satu hal yang seharusnya mendapatkan perhatian semua
kalangan ialah kualitas pemilu lima tahunan. Sebentar lagi, kita menyongsong
perhelatan Pemilu 2019.
Pertama kalinya, pemilu
legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan dalam waktu berbarengan. Kita tak
ingin, pemilu sekadar prosedural-instrumental. Saatnya semua stakeholders
demokrasi termasuk partai politik berperhatian pada aspek substansial dari
kontestasi elektoral. Satu di antara hal substansial tersebut ialah
modernisasi dalam pola rekrutmen dan pembobotan kualitas calon anggota
legislatif (caleg) yang akan dimajukan di Pemilu legislatif 2019.
Tahapan Pemilu 2019 sudah
dicanangkan KPU. Dimulai dengan masa pendaftaran parpol pada 3-16 Oktober
2017 hingga penetapan parpol peserta pemilu pada 17 Februari 2018. Pengajuan
calon anggota legislatif (caleg) akan digelar pada Juli 2018.
Oleh karena itu, partai
tak bisa lagi berleha-leha, karena waktu sudah sangat sempit. Selain
menyiapkan caleg, tentu partai-partai juga akan dipusingkan agenda pengajuan
calon presiden, pada Agustus 2018. Ini berkaitan dengan strategi pemosisian
eksistensi partai di tengah konstelasi politik yang terjadi. Kesiapan partai
ini, tentu akan diuji di hari pemungutan suara pada 17 April 2019.
Prakondisi
komunikasi
Hal penting dalam
mekanisme awal pencalonan anggota legislatif ialah peran-peran informasi yang
menjadi prakondisi komunikasi memadai antara partai dengan para caleg.
Lingkungan dinamis sebagai dampak modernisasi yang terjadi di berbagai sektor
saat ini seharusnya diadaptasi juga oleh partai. Jangan sampai kebiasaan lama
diulang, pencalonan dilakukan dadakan. Partai wajib berkomunikasi baik secara
internal dengan pengurus dari pusat hingga daerah, berkomunikasi dengan
simpatisan dan berbagai pihak yang potensial untuk direkrut menjadi bagian
dari representasi partai di pemilihan caleg di Pemilu 2019.
Peran informasi (role of
informations) itu menyangkut tiga hal utama. Pertama, informasi detail
menyangkut alur pencalonan anggota legislatif yang dilakukan partai baik
untuk pihak internal maupun eksternal. Kedua, sosialisasi pencalonan yang
memberi keyakinan bahwa partai punya niat baik (good will) dan niat politik
(political will) untuk mengubah kultur dari kerja pencalonan anggota
legislatif yang sporadis ke sistematis. Ketiga, keterbukaan menyangkut
syarat-syarat dan zonasi daerah pemilihan dalam pencalonan.
Tak dimungkiri, selama ini
banyak syarat yang tak tertulis, tapi nyata adanya. Misalnya dalam hal
penomoran dan pembagian dapil. Bukan rahasia lagi, ketertutupan sistem
informasi mengenai penomoran dan zonasi dapil ini, menjadi transaksi politik
yang menyebabkan merebaknya fenomena ‘mahar’ dalam penentuan caleg.
Selama ini, para analis
politik baik dari dalam maupun luar negeri bernada pesimistis menyangkut
modernisasi dalam pengelolaan partai politik di Indonesia. Sebut saja Dirk
Tomsa, dalam tulisannya, The Indonesian Party System After the 2009
Elections:Towards Stability? (dalam Aspinall dan Mietzner, 2010), mendeteksi
keberadaan partai-partai yang dikelola secara kurang profesional dan kurang
mengakar di Indonesia.
Selain itu, nada sumbang
juga terbaca dari tulisan Paige Johnson Tan dalam tulisannya, Reining the
Reign of the Parties: Political Parties in Contemporary Indonesia, di Asian
Journal of Political Science, Vol 20, No 2 Tahun 2012, yang mendeskripsikan
sistem kepartaian Indonesia sedang berada dalam proses deinstitusionalisasi
dan memprediksi bahwa partai-partai akan melemah dengan cara yang tak jelas.
Pandangan pesimistis ini
bisa dimaklumi mengingat praktik berpartai di Indonesia memang masih diwarnai
ragam permasalahan.
Padahal, secara nyata posisi
partai politik sangatlah strategis dan menentukan. Partai merupakan elemen
penting dalam konteks demokrasi. Banyak sekali jabatan publik yang diisi dari
partai politik baik melalui mekanisme elektoral maupun nonelektoral. Selain
itu, eksistensinya diharapkan menguatkan konsolidasi demokrasi melalui
fungsi-fungsi yang dimilikinya.
Dalam bukunya Thomas
Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi (2008), disebutkan
salah satu dari sembilan tesisnya tentang partai politik, bahwa partai berada
dalam posisi pusat (political centrality) dalam mengagregasi beragam
kepentingan yang ada di masyarakat dan menerjemahkan kepentingan serta nilai
tersebut ke dalam legislasi dan kebijakan publik yang mengikat. Salah satu
peran pentingnya itu, tak lain adalah mendistribusikan sejumlah orang menjadi
anggota legislatif yang akan turut menentukan arah perbaikan bangsa ini lima
tahun ke depan setelah pemilu.
Karakteristik
dominan
Saat ini, persepsi publik
terhadap partai politik masih sangat buruk. Reputasi partai digambarkan dalam
tiga karakteristik dominan: feodal, oligarkis, dan transaksional! Feodal
karena partai-partai yang ada saat ini lebih bergantung pada figur personal
yang menjadi tokoh utamanya.
Oligarkis disebabkan
kebijakan partai dipertukarkan hanya dari-oleh-untuk segelintir elite yang
mengendalikannya. Transaksional muncul karena begitu banyaknya kasus yang
menunjukkan pragmatisnya partai dalam mentransaksikan posisi, peran, dan
pengaruhnya untuk tujuan kepentingan pribadi dan kelompoknya semata.
Demokrasi elektoral sejak
Pemilu 1999 seharusnya menjadi momentum konsolidasi demokrasi. Paling tidak,
ada tiga potensi yang seharusnya dimanfaatkan seluruh partai politik untuk
lebih artikulatif dan sistemik dalam memaknai eksistensi mereka. Pertama,
partai memiliki kebebasan berekspresi yang terfasilitasi perubahan sistem
politik pasca-Soeharto. Koorporatisme politik yang dilakukan figur sentral
penguasa tak lagi bisa diterapkan.
Kondisi ini secara
substantif memungkinkan modernisasi politik dari sekadar ornamen demokrasi di
era Orde Baru ke peran signifikan dalam penataan kelembagaan meliputi
performa ritual, organisasional, politis, dan enkulturasi. Tapi setelah
melalui 4 kali pemilu pascareformasi kondisinya tetap stagnan yakni partai
tetap feodal, oligarkis, dan transaksional. Partai-partai yang ada saat ini
masih bergantung pada kekuatan figur dan kecenderungannya melembagakan
personalisasi politik bukan sistem politik. Sebagai organisasi, partai tentu
akan mengalami penstrukturan organisasi.
Menurut Poole, Seibold,
dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996), penstrukturan
dipahami sebagai proses saat sistem diproduksi dan direproduksi melalui
pemakaian aturan dan sumber daya oleh anggota kelompok. Dengan demikian, jika
aturan organisasi dan keterpilihan sumberdaya manusia selalu menggantungkan
kekuatannya pada satu figur dan garis keturunannya, maka tentu partai
bersangkutan tak akan pernah menjadi partai modern.
Kedua, partai-partai
pascareformasi sesungguhnya memiliki peluang untuk menjembatani berbagai
tuntutan dan dukungan di masyarakat. Artinya, partai bisa
memfungsionalisasikan diri secara optimal tanpa terbebani oleh kekuatan luar
partai. Namun, dalam praktiknya, setelah terlepas dari kuatnya kendali
penguasa di era Orde Baru, justru partai terbebani laku politik yang
dikendalikan pasar (market driven).
Indikatornya, partai kerap
terjebak dalam logika M-C-M (money-commodity-more money). Partai dan berbagai
aktivitasnya kerap diposisikan sebagai komiditas yang bisa dikapitalisasi
dalam berbagai kontestasi yang terjadi di level nasional seperti dalam
pencalegan dan pencapresan maupun yang terjadi di level lokal seperti dalam
berbagai pilkada. Cara berpikir ini kerap memosisikan partai bak ‘mobil
rental’ dan bisa disewa siapa saja yang memiliki uang guna pencapaian
kepentingan mereka.
Ketiga, potensi melakukan
kanalisasi sumber daya politisi profesional yang dibutuhkan dalam penguatan
bangsa ini ke depan, termasuk dalam hal pencalegan. Partai dalam sistem
demokrasi merupakan elemen penting yang seyogianya ada dan kuat. Pemimpin dan
calon pemimpin seharusnya bisa tumbuh kembang dari ‘rahim’ partai yang sehat
dan memberdayakan. Faktanya, hingga kini partai kita mengalami kesulitan
melakukan kanalisasi SDM tersebut. Tradisi patron-client yang banyak dialami
partai saat ini, justru menjadi ‘inkubator’ tumbuh kembangnya para koruptor
baru!
Mekanisme
pencalegan
Partai harus mengubah gaya
nekat dalam pencalonan di Pemilu 2019. Berkaca dari pengalaman Pemilu 2014,
banyak partai asal ‘mencomot’ caleg mereka tanpa sebuah mekanisme berjenjang.
Jelang pemilu banyak yang mendadak nyaleg! Terlebih jika caleg yang
bersangkutan punya sumber daya yang kerap ‘merangsang’ partai untuk
mendekatinya. Sejumlah sumber daya tersebut ialah popularitas, uang, dan
akses terhadap opini media massa.
Popularitas dimiliki para
selebritas yang terbiasa mendapatkan ruang berita di media massa. Basis nyata
simpul suara biasanya diidentikkan dengan tokoh organisasi masyarakat, tetua
adat, agamawan, yang kesehariannya penetratif ke basis-basis pemilih.
Uang dan akses biasanya
menjadi alat nego para pengusaha yang kerap berminat nyaleg untuk proteksi
bisnis mereka. Terakhir, konstruksi opini di media melibatkan human agency
seperti pekerja media atau orang yang mengendalikan media. Makanya, jangan
heran kalau di deretan caleg dengan mudah kita menemukan deretan nama
jurnalis atau mantan jurnalis.
Sesungguhnya yang membuat
publik pesimistis bukan pada latar belakang profesi mereka, karena
sesungguhnya setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih yang
melekat pada dirinya. Semua orang dengan beragam latar belakang profesinya
harus dihormati saat berminat untuk berpartisipasi dalam pencalegan.
Yang patut diberi catatan
kritis sesungguhnya ialah model dadakan dalam pencalegan. Menjadi wakil
rakyat itu amanah kekuasaan yang sangat serius. Jabatan tersebut tak layak
dipegang sejumlah orang yang sedang belajar, coba-coba, atau sekadar
berpetualang. Perlu kesungguhan dalam penyiapan diri sebelum mereka terpilih
menjadi wakil rakyat.
Menjadi caleg bukan lahan
mencari pekerjaan, karena substansi jabatan itu untuk dedikasi dan pengabdian
mewakili sejumlah basis konstituen. Setiap caleg yang diajukan partai
seharusnya memiliki kompetensi intelektual, moral dan sosial. Partai
seharusnya bukan semata mendistribusikan orang, melainkan memiliki tanggung
jawab untuk melakukan rekrutmen, menyamakan nilai-nilai dan ideologi partai,
serta melihat rekam jejak setiap caleg mereka. Tahapan penyiapannya tak cukup
asal-asalan. Butuh sebuah sistem berjenjang dan berkelanjutan untuk
mengumpulkan sejumlah nama yang benar-benar layak.
Ada dua langkah yang
semestinya dilakukan partai untuk penyiapan distribusi dan alokasi SDM
menjadi caleg. Pertama, perlu adanya penjenjangan dalam sistem kaderisasi.
Partai harusnya membuat sebuah pola rekrutmen berjenjang dengan
mempertimbangkan keterwakilan kaum muda, perempuan, kelompok-kelompok
kepentingan di masyarakat.
Rekrutmen ini tak
dilakukan hanya menjelang pemilu melainkan sepanjang tahun. Proses pembinaan
loyalis dengan sendirinya akan berlangsung saat sejumlah orang yang direkrut
tadi dilibatkan dalam kerja-kerja kepartaian. Hal ini juga akan menghindari
kesenjangan komunikasi antara partai dan caleg serta merekatkan PartyID atau identifikasi
pemilih dengan partai.
Kedua, partai harus
melembagakan pendekatan Triple-C. Yakni, community relations (hubungan
komunitas), community empowerment (pemberdayaan komunitas) dan community
services (pelayanan komunitas). Dengan pendekatan tersebut, secara alamiah
partai akan bertemu dengan sejumlah figur berbasis komunitas yang bisa
menjadi caleg mereka. Sebenarnya, pendekatan ini menguntungkan bagi partai.
Selain benar-benar sesuai dengan konsep politik perwakilan dalam trias
politika, partai juga punya memiliki akar kuat di basis pemilih.
Kedua langkah di atas
tentu saja dilakukan tidak sesaat menjelang Pemilu 2019. Masalahnya bagaimana
kalau belum melakukan hal tersebut dan ada kebutuhan pencalegan di depan
mata? Partai dapat melakukan rekrutmen terbuka dengan mengacu pada
orientasi-orientasi idealis dan strategis partai ke depan. Misalnya, membuka
pendaftaran dan melakukan fit and proper test internal.
Bisa saja melibatkan para
ahli (expert panel) yang dapat merekomendasikan sejumlah orang yang bersedia
nyaleg dan memiliki track record memadai untuk pencalegan tersebut. Intinya,
partai jangan asal mencalonkan seseorang karena bagaimanapun akan membawa
nama baik dan memberi sumbangsih positif atau negatif pada reputasi partai
bersangkutan. Selamat mencari caleg untuk Pemilu 2019! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar