Jumat, 10 November 2017

Ada Apa dengan Arab Saudi?

Ada Apa dengan Arab Saudi?
Mahmudi Asyari ;  Peneliti pada International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
                                                 REPUBLIKA, 08 November 2017



                                                           
Sejak Raja Salman bin Abdul Aziz memecat putra mahkota (PM) Muhammed bin Nayef, perubahan demi perubahan menyangkut pola suksesi dan pengelolaan pemerintahan seperti diakselarasi dengan sangat cepat.

Betapa tidak, dalam hitungan bulan sejak sang raja mengamendemen ketentuan huruf “B” (bahasa Arab huruf Ba’) yang memuat ketentuan pelarangan mengangkat anak kandung sebagai PM dan dengan amendemen itu selain memecat keponakannya yang berdarah separuh Jilwa (faksi kedua terkuat di dalam keluarga Saud), ia mengangkat anaknya Pangeran Muhammad bin Salman sebagai PM.

Apa yang terjadi di Arab Saudi saat ini bisa dikatakan sebagai sebuah 'kudeta' terhadap tatanan yang berlaku sejak meninggalnya Raja Abdul Aziz Al Saud yang sesuai ketentuan huruf “B” raja dilarang mengangkat anaknya sebagai PM.

Maka itu, seperti yang terekam di dalam sejarah, pengganti raja selalu dari saudara tirinya selain Raja Khalid yang menggantikan kakak kandungnya. Tujuannya tentu untuk menjaga hubungan dengan para suku berpengaruh di mana lewat perkawinan Raja Abdul Aziz aliansi bisa terbangun.

Dan, aliansi itu harus tetap terjaga sepeninggalnya melalui pemberian kesempatan untuk menjadi raja bagi keturunan kepala suku yang mencengkeram setelah Raja Fahd bin Abdul Azizi menempatkan lima adik kandungnya di sejumlah posisi kunci.

Maka, tidaklah mengherankan jika Barat menyebut Saudi di bawah cengkeraman “Band of Sudayri” (Kelompk Sudayri). Posisi faksi Sudayri tetap tidak tergoyahkan meskipun posisi raja beralih ke Abdullah bin Abdul Aziz dari faksi lain (bukan juga Jilwa).

Karena sejumlah jabatan kunci sudah berada di bawah cengkeraman faksi tersebut, sehingga sang raja tidak begitu leluasa. Dan, ketidakberdayaannya semakin terlihat ketika dia harus terus-menerus menunjuk PM dari faksi Sudayri sampai akhirnya yang menjadi raja saat itu.

Ini menunjukkan bahwa faksi Sudayri memang sudah mencengkeram Saudi. Dan, cengkeramannya semakin diperkuat ketika PM sekarang memang benar-benar berdarah Sudayri tulen dibandingkan mantan PM Muhammad bin Nayef yang masih mempunyai darah Jilwa.

Menurut penulis, penangkapan sejumlah pejabat dengan dalih korupsi tidak lebih dari upaya untuk meneguhkan faksi Sudayri sebagai pemonopoli kekuasaan ke depan. Sebab, faktanya pengeran yang ditangkap dan ditahan adalah dari faksi-faksi kuat di internal keluarga Saud, termasuk mereka yang dekat dengan raja sebelumnya.

Islam moderat

Selain korupsi yang telah dijadikan dasar penangkapan terhadap sejumlah pangeran dan orang-orang yang dekat raja sebelumnya, hal lainnya adalah masalah wajah keislaman yang sedang digulirkan oleh penguasa kerajaan tersebut.

Sebelumnya, PM Muhammad bin Salman dalam sebuah wawancara dengan reporter Aljazirah terkait Islam moderat, menteri luar negeri Saudi sudah memberikan sinyalemen bahwa negeri itu sedang berupaya membersihkan negerinya dari radikalisme Islam.

Hal tersebut, ia ucapkan saat berada di Rusia ketika mendampingi Raja Salman dalam kunjungan ke Moskow. Meskipun, terkait hal itu, Menlu Saudi tidak pernah menjelaskan apa yang dimaksud radikal oleh negeri itu. Beberapa kawan, sempat berdiskusi dengan penulis yang intinya apa negeri itu ingin meninggalkan Wahabisme?

Ketika sejumlah kalangan masih bertanya-tanya terkait maksud radikalisme yang diucapkan menlu negeri itu, keinginan untuk melawan Islam radikal kembali diperkuat sang PM ketika diwawancarai oleh Aljazirah.

Penulis memang belum bisa menangkap arah yang jelas terkait penegasannya. Hanya, kalau itu--seperti sejumlah kawan yang berdiskusi dengan penulis--mengaitkan dengan keinginan untuk meninggalkan Wahabisme, menurut penulis, sangat sulit jika tidak ingin dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil.

Sebab, jika benar seperti yang ada di benak sejumlah pihak, tidak ubahnya seperti keinginan sejumlah keinginan anak bangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dengan itu seperti pernah ditwitkan Prof Mahfud, seperti ingin mendirikan negara baru.

Penilaian tersebut sangat masuk akal, karena “perkawinan” negara Arab Saudi dengan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ubahnya perkawinan abadi yang tidak bisa diceraikan. Sebab, seperti disebutkan di dalam buku-buku sejarah, faktor ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab-lah yang telah menjadikan Al Saud menjelma menjadi penguasa besar yang tadinya hanya berupa kepala suku kalahan dari para pesaingnya.

Maka, ketika terkait lontaran Islam moderat seperti yang telah digelindingkan sang PM kemudian diartikan tidak ingin melanggengkan “perkawinan” dengan Wahabisme, penulis kira hampir mustahil. Meskipun bukan tidak mungkin juga seiring hasrat untuk menarik investasi dalam rangka terbebas dari belenggu minyak supaya para investor merasa bebas dari stigmatisasi radikal yang selama ini selalu disematkan ke Wahabisme.

Analisis lain yang bisa dimajukan terkait lontaran Islam moderat tersebut adalah dalam rangka merespons tudingan yang telah dilakukan sekutu dekat Saudi, yaitu Amerika Serikat, yang beberapa waktu lalu Presiden Donald Trump telah menuding Iran sebagai radikal?

Kalau Iran radikal, bagaimana dengan Saudi yang ketika peristiwa 9/11 banyak pelaku yang dituding terkait dengan ajaran Wahabisme? Penulis kira, dalam rangka menolak tudingan balik itu, Saudi perlu menegaskan ketidakberpihakannya kepada Islam radikal.

Meskipun begitu, istilah kembali ke Islam moderat seperti ditegaskan PM tidak tepat, karena faktanya sejak berdiri sebagai akibat “perkawinan” memang belum ada jejak moderatnya.

Dengan kata lain, Islam moderat seperti yang PM lontarkan--menurut penulis--masih harus dicermati. Sebab, bukan tidak mungkin hal itu sekadar untuk tidak disamakan dengan Iran yang oleh Amerika Serikat dicap radikal.

Langkah tersebut juga sekaligus untuk mengurangi kritik arah absolusitas yang dengan beberapa tindakan belakangan ini menjadikan raja saat ini dan penggantinya kelak akan lebih berkuasa ketimbang Raja Abdul Aziz Al Saud sang pendiri kerajaan Arab Saudi.

Bahkan, bisa jadi Raja Abdul Aziz masih kalah berkuasa, karena selain harus menjaga keseimbangan antarsuku, juga harus berbagi dengan para ulama Wahabi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar