Jumat, 10 November 2017

Warisan Pak Lafran

Warisan Pak Lafran
M Alfan Alfian ;  Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta;
Ketua Departemen Infokom MN KAHMI
                                          MEDIA INDONESIA, 09 November 2017



                                                           
PENDIRI Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Prof Drs Lafran Pane telah dianugerahi pemerintah gelar pahlawan nasional. Namun, warisan Pak Lafran tak sekadar HMI, organisasi kemahasiswaan yang didirikannya pada 5 Februari 1947 atau 15 Rabiulawal 1366 Hijriah, di kancah revolusi fisik.  Warisan terpokoknya, keikhlasan dan kesungguhan dalam berjuang demi kepentingan bangsa dan negara, mengimplementasikan ajaran agama Islam dalam konteks keindonesiaan, serta gagasan ketatanegaraannya yang visioner dan berorientasi ideologi negara Pancasila sebagaimana digagas the founding fathers.

Dia seorang nasionalis yang religius. Ketika HMI didirikan, tujuan pertamanya ialah mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, baru kemudian menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam. Indonesia dan Islam menjadi dua kata kunci pentingnya. Setahun setelah pendiriannya, Jenderal Sudirman berharap HMI menjadi ‘Harapan Masyarakat Indonesia’. Pada masa revolusi fisik, para aktivis HMI turut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui keterlibatannya dalam Corp Mahasiswa (CM).

Karena itu, sejarah HMI lekat dengan sejarah Negara Republik Indonesia. Memang dalam perkembangannya, kritik sempat mengemuka, bahkan banyak yang menganggap I di belakang HM, singkatan dari Indonesia, bukan Islam. Itu karena HMI banyak merespons isu-isu keindonesiaan, di samping tentu juga isu-isu keislaman. Di atas semua itu, Lafran Pane pernah berpesan kepada para kader HMI, "Di mana pun kau berkiprah tak ada masalah, yang penting semangat keislaman dan keindonesiaan itu yang harus kau pegang teguh.”

Terkait dengan tujuan ‘menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam’, Lafran meletakkan pandangan inklusif dan adaptif implementasi keislaman dalam bingkai keindonesiaan. Pandangannya yang konsisten diungkapkannya dalam sebuah tulisannya pada 1949.

Lafran mencatat, secara kebudayaan, umat Islam harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakatnya. Dia sangat menekankan karakter umat Islam di Indonesia yang menyatu dengan sifat keindonesiaan. Dalam konteks ini, manakala dikaitkan kondisi zaman kita, ia selaras dengan ikhtiar penangkalan terhadap fenomena radikalisme keagamaan.

Dalam kacamata pandang Lafran Pane, di tengah realitas bangsa yang majemuk, umat Islam sebagai mayoritas penduduk di Indonesia harus dapat memainkan peran strategis untuk memajukan bangsa. Pandangan semacam ini subur terpelihara di HMI dan mengemuka kelak pada pikiran-pikiran Nurcholish Madjid sebagai salah satu penyusun Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI sebagai suatu narasi besar organisasi itu.

Fenomena dalam sejarah

Dengan tidak menafikan yang lain, HMI merupakan fenomena dalam sejarah perkembangan bangsa, hingga dewasa ini. Melalui fase-fase kehidupan bangsa yang sulit, alumni HMI turut berkontribusi dalam berbagai lahan pengabdian. Banyak alumnus HMI bergerak di bidang politik, profesional, hingga dunia pendidikan. Alumninya yang di mana-mana itu pernah mencuatkan fenomena HMI-connection, yang sesungguhnya lazim saja sebagai jejaring alumni HMI yang majemuk dan tidak otomatis merupakan entitas politik yang tunggal.

Pada masanya HMI merupakan organisasi yang sangat populer di berbagai kampus. Mereka merupakan potret kelas menengah terpelajar pascakemerdekaan. Meskipun pada masanya para tokohnya memiliki hubungan komunikasi yang baik dengan para tokoh Masyumi, organisasi ini sejak didirikan bersifat independen. HMI tidak pernah mengikatkan diri sebagai ounderbouw parpol mana pun. Sebelum hadir organisasi sejenis lainnya, HMI benar-benar candradimuka berbagai latar belakang kemahasiswaan Islam. HMI pun tercatat sebagai ormas kemahasiswaan Islam independen yang tertua.

Fase kritikal HMI terjadi pada 1963-1965, ketika organisasi ini dipimpin dokter Sulastomo. HMI berada dalam pusaran tekanan politik kaum komunis yang hendak membubarkannya. Pada 1965, DN Aidit pernah mencemooh kader Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) ounderbouw PKI bahwa kalau mereka tidak bisa bubarkan HMI, pakai sarung saja. Pakai sarung merujuk pada kaum sarungan, wong Selam alias orang Islam. Namun, Presiden Soekarno yang dekat dengan tokoh HMI Ahmad Dahlan Ranuwihardjo menolak pembubarannya. Demikianlah, HMI terus berkembang semasa Orba, tentu dengan segala romantika perjuangannya.

Berjiwa independen

Pak Lafran sendiri sosok sederhana, konsisten, dan sebagaimana organisasi HMI yang didirikannya, berjiwa independen. Pribadinya tak ingin tampak menonjol. Dia tipologi perintis yang tak merasa perlu selalu tampil di depan. Dia lebih banyak memantau dari belakang. Tidak pernah mengklaim mendirikan HMI, kendatipun Kongres HMI di Bogor pada 1974, setelah melalui serangkaian seminar sejarah HMI, menetapkannya sebagai pendiri HMI. Dari sisi ini, tentu Pak Lafran tak pernah berpikir apa yang telah dilakukannya bakal menuai apresiasi pemerintah sehingga mendapat gelar pahlawan nasional.

Warisan penting lainnya terkait dengan gagasan-gagasan ketatanegaraannya. Terkait dengan yang satu ini, secara mudah dapat dibaca kembali tulisan-tulisan akademisnya, terutama setelah dia ditetapkan sebagai guru besar di IKIP Yogyakarta pada 1974. Lafran termasuk yang menggagas Pancasila sebagai ideologi terbuka sehingga penafsirannya tidak boleh dimonopoli kelompok tertentu. Dia juga pernah mengusulkan amendemen konstitusi. Dia ingin konsisten, ketika MPR merupakan lembaga tertinggi negara, seluruh anggotanya harus dipilih melalui pemilu. Artinya, tak boleh ada anggota MPR yang diangkat.

Gagasan amendemen konstitusi tentu sangat maju, kalau bukan visioner untuk ukuran waktu itu. Gagasan ini baru menemukan momentumnya pada era reformasi (1999-2002) kendatipun tidak dalam konteks MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Gagasan ketatanegaraan Lafran sesungguhnya bertumpu pada demokrasi berkeadilan. Tidak boleh konsentrasi kekuasaan menumpuk ke sosok atau entitas tertentu karena sistemnya yang tak menjamin terjadinya praktik checks and balances.

Kini, lelaki sepuh yang tegas dan berwibawa yang setiap hari datang pergi ke kampusnya dengan naik sepeda itu telah menjadi pahlawan nasional. Semoga keikhlasan dalam berjuang untuk kepentingan bangsa Indonesia senantiasa menginspirasi generasi muda. Al Fatihah untuk almarhum Pak Lafran Pane.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar