Siapa
Lagi Pengawas Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB
Bogor
|
KOMPAS,
04 November
2017
Nota kesepahaman dengan
kepolisian guna turut mengontrol keuangan desa (Kompas, 21/10) adalah
pernyataan kegagalan pengemban mandat pembina desa: Kementerian Dalam Negeri;
Kementerian Keuangan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi; serta pemerintah daerah.
Selain bertentangan dengan UU
No 6/2014 tentang Desa, bandul pengawasan bakal lebih kuat mengerem ketimbang
mendukung dinamika desa. Apalagi, polisi menggenapi luapan kontrol dari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), Satgas Dana Desa, pendamping desa, inspektorat daerah,
badan permusyawaratan desa, dan lembaga swadaya masyarakat.
”Pengamanan” UU Desa
Berlawanan dari pandangan umum,
sebenarnya UU Desa telah menyiapkan ”pengamanan”. Untuk memastikan asas
subsidiaritas atau wewenang desa berjalan secara partisipatif, pembinaan dan
pengawasan dilaksanakan secara bertingkat dari pemerintah pusat, provinsi,
hingga kabupaten (Bab XIV).
Aspek pembinaan yang positif
lebih dikedepankan, berupa keharusan mempraktikkan pemberdayaan, pendidikan
dan pelatihan, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memfungsikan
institusi asli desa (Pasal 112). Pemerintah pusat diwajibkan memberikan
penghargaan kepada desa terbaik (Pasal 113). Pemerintah provinsi hendaknya
menyediakan bimbingan teknis serta mengawal pembentukan desa adat (Pasal
114). Pemerintah kabupaten menyampaikan anugerah kepada lembaga
kemasyarakatan yang berprestasi, serta meningkatkan kapasitas badan usaha
milik desa alias BUMDes (Pasal 115).
Namun, yang luput diperhatikan,
Pasal 113 UU Desa sama sekali menihilkan mandat pengawasan bagi pemerintah
pusat! Adapun pengawasan pemerintah provinsi justru diarahkan kepada kinerja
pemerintah kabupaten dalam mendukung BUMDes (Pasal 114).
Dalam UU ini mandat pengawasan
hanya diberikan kepada pemerintah kabupaten (Pasal 115). Substansi pengawasan
diarahkan pada penyelenggaraan pemerintahan desa, pembentukan peraturan desa,
pengelolaan keuangan dan aset desa.
Susunan pengawasan UU Desa ini
sejalan dengan asas otonomi daerah tingkat II (kabupaten/kota) pada UU No
23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) pada
2016 telah menegaskan, desa sebagai ujung tombak pemerintahan kabupaten.
Endang Basuni dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan buktinya: hanya
pemerintah kabupaten yang memiliki hak legal untuk memberi sanksi kepada
kepala desa lantaran menyimpang dari peraturan perundangan (UU No 6/2014
Pasal 115 huruf n).
Sebagai produk hukum yang khas,
paling tepat UU Desa didudukkan sebagai lex specialis kala terkait
pengelolaan desa. Dengan demikian, pelanggaran UU Desa bisa diterakan pada
fungsi pengawasan langsung dari pemerintah pusat dan instansi vertikal,
sebagaimana kini dipraktikkan polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi,
kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Satgas Dana Desa, dan
pendamping desa.
Hasrat panoptikon
Upaya memajang sebanyak mungkin
mata pengawas ke desa-desa bersumber dari kue lezat dana desa sebesar Rp 127
triliun pada 2015-2017. Alih-alih dimaknai sebagai hak milik desa, seturut
tafsir UU Desa, kenyataannya justru menyeleweng dipandang sebagai dana
pemerintah pusat. Akibatnya ialah minimalnya tanggung jawab pengawasan oleh
pemerintah kabupaten. Bahkan, mereka (baca: kabupaten) sendiri merasa diawasi
pemerintah pusat lantaran kegagalan penyerapan dana desa berkonsekuensi pada
pemotongan dana alokasi umum daerah.
Selama ini, kontrol vertikal
terhadap desa gagal lantaran bolong dalam hal transaksi pengawasan. Transaksi
ratusan juta antara aparat desa dan aparat kecamatan, kabupaten, dan
kejaksaan di Madura, Jawa Timur— sebagai contoh kasus—telah memudarkan
legitimasi inspektorat daerah dan aparat hukum.
Hasrat memenangi kompetisi
politik menggerakkan pemerintah menetapkan PP No 47/2015 stentang Peraturan
Pelaksana UU Desa yang menempatkan pendamping ke semua desa. Namun, mata
panoptikon ini mengabur lewat terbukanya skandal upaya titipan partai-partai
besar. Apalagi kapasitas pendamping tidak mumpuni membantu penyiapan laporan
pertanggungjawaban kegiatan pembangunan.
Sayang, hasrat mengontrol desa
terus bertumbuh. Laporan masyarakat ke Satgas Dana Desa pada Agustus-Oktober
2017 melonjak dari 900 menjadi 10.000 (Kompas, 28/10). Segera setelah
penandatanganan nota kesepahaman dengan Mabes Polri, di daerah disusun
perjanjian serupa dengan pemerintah daerah. Nomor telepon pejabat dinas
pemberdayaan masyarakat mulai dikumpulkan.
Mengimbangi kontrol
Guna mengimbangi percepatan
kontrol, pemerintah kabupaten perlu segera menetapkan harga satuan barang
menurut wilayah desa dan laporan-laporan yang wajib diserahkan untuk tiap
jenis kegiatan pembangunan. Pelatihan pelelangan pekerjaan desa, monitoring
dan evaluasi proyek, serta pelaporan sudah sangat mendesak dijalankan bersama
pemerintah desa.
Sesuai mandat UU Desa, penting
bupati segera menyusun peraturan perihal jenis-jenis sanksi menurut
pelanggaran administratif dan koreksi kebijakan desa. Harus didaftar pula
jenis pelanggaran pidana korupsi yang layak diserahkan kepada kepolisian dan
kejaksaan.
Berkaca pada kasus transaksi
pengawasan, pemerintah desa rawan dikriminalisasi berdalih laporan sangkaan
korupsi. Karena itu, mereka harus memahami jalur pelaporan pelanggaran aparat
kepolisian melalui Divisi Profesi dan Pengamanan. Penyelewengan pendamping
bisa dilaporkan ke telepon 1500040. Kriminalisasi dari pihak lain manjur pula
digaungkan langsung ke presiden melalui https://lapor.go.id. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar