Setelah
Penghayat Kepercayaan Diakui
Agus Riewanto ; Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 14 November 2017
MAHKAMAHKonstitusi (MK) membuat
amar putusan penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) diakui
secara konstitusional setelah mengabulkan uji materi dari empat orang
penghayat kepercayaan, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnold
Purba, dan Carlim.
MK menyatakan ketentuan Pasal
61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan tidak berlaku, karena bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (1) dan
Ayat (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Putusan MK itu bermakna kini
negara harus mengakomodasi hak-hak sipil penghayat Kepercayaan kepada Tuhan
YME, terutama dapat dicantumkan di KTP dalam kolom agama.
Selama ini mereka
didiskriminasi dalam kebijakan administrasi kependudukan dengan pengosongan
kolom agama, atau diminta mengaku sebagai pemeluk salah satu dari enam agama
yang diakui negara, yakni Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan
Konghucu. Putusan tersebut sekaligus momentum agar negara tidak melakukan
tindakan di luar kewajaran yang mendistorsi hak asasi warga negara untuk
bebas memilih keyakinan spiritualitasnya kepada Tuhan YME.
Sebab, kebebasan berkeyakinan
serta menganut agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME merupakan hak
konstitusional warga negara yang harus dilindungi dan dihormati. Hak itu
bagian dari hak sipil dan politik. Hak bebas memilih agama dan keyakinan
kepada Tuhan YME sebagai hak konstitusional yang bersumber pada hak alamiah;
melekat pada setiap orang dan bukan pemberian negara.
Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis sesungguhnya telah menjamin hak bebas memilih agama dan
keyakinan kepada Tuhan YME, sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 29
Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ‘’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamanya dan kepercayaannya.’’ Jika dibaca menggunakan penafsiran asli, bunyi
ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 itu harus dilacak dari bagaimana
perdebatan para perancang UUD 1945 dalam Rapatrapat Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/PPKI)
pada 1945.
Tecermin bahwa para perancang
UUD 1945 tak hendak menegasikan penghayat kepercayaan sebagai sesuatu yang
terpisah dari agama-agama, bahkan dapat dipahami para perancang UUD 1945
Pasal 29 Ayat (2) masih mencantumkan kata ‘’kerpercayaan’’ sebagai frasa yang
sejajar dengan kata agama. Maknanya, penghayat kepercayaan setara dengan
agama-agama yang lebih dahulu diakui oleh negara.
Dengan putusannya dapat
dipahami pula, MK hendak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara pluralistik
dalam hal agama, keyakinan, kepercayaan, sehingga tidak tepat jika menutup
diri atas pertumbuhan dan perkembangan aneka penghayat kepercayaan. Data
Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan 2017 menunjukkan ada 187 organisasi penghayat
kepercayaan di Tanah Air.
Dari angka itu dilaporkan
sekitar 12 juta orang adalah penghayat kepercayaan, yang tersebar di 13
provinsi dan telah diverfikasi secara ketat terkait dengan aliran yang dianut
warga harus memiliki nilai kearifan lokal, berbudi luhur, serta mengatur
relasi antara manusia, Tuhan dan kearifan lokal itu sendiri.
Berdasarkan data itu, jika
dilihat dari aspek jumlah penganut, memang tidak banyak dibandingkan dengan
jumlah penganut enam agama resmi yang diakui oleh negara. Namun, dari aspek
doktrin penghormatan dan perlindungan hak sipil dan politik, diperlukan
kebijakan nondiskriminasi terkait dengan pelayanan hak konstitisional.
Tidak berhubungan jumlah
penganut, namun terkait dengan nilai yang negara harus memberi pelayanan
kepada semua warga negara, kendati minoritas. Berbeda dari doktrin
penghormatan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya, negara bisa
membuat kebijakan berdasarkan pertimbangan besar atau kecil jumlah warga negara.
Setelah putusan MK yang
mengakui eksistensi penghayat kepercayaan, yang diperlukan saat ini adalah
desain kebijakan negara dalam memberikan pelayanan terhadap mereka dalam
aspek hukum administrasi kependudukan dan administrasi kenegaraan; mulai pencantuman
dalam kolom KTP, hak pelayanan pendidikan, pengembangannya dalam masyarakat,
sampai pada level pemberian hak-hak lain yang disetarakan dengan penganut
enam agama resmi negara.
Kalau tidak segera
ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan teknis dan operasional, sama maknanya
negara melakukan pembangkangan hukum dan berpotensi melahirkan
ketidakharmonisan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar