Jumat, 17 November 2017

Setelah Penghayat Kepercayaan Diakui

Setelah Penghayat Kepercayaan Diakui
Agus Riewanto ;  Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum UNS Surakarta
                                           SUARA MERDEKA, 14 November 2017



                                                           
MAHKAMAHKonstitusi (MK) membuat amar putusan penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) diakui secara konstitusional setelah mengabulkan uji materi dari empat orang penghayat kepercayaan, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnold Purba, dan Carlim.

MK menyatakan ketentuan Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak berlaku, karena bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Putusan MK itu bermakna kini negara harus mengakomodasi hak-hak sipil penghayat Kepercayaan kepada Tuhan YME, terutama dapat dicantumkan di KTP dalam kolom agama.

Selama ini mereka didiskriminasi dalam kebijakan administrasi kependudukan dengan pengosongan kolom agama, atau diminta mengaku sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui negara, yakni Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Putusan tersebut sekaligus momentum agar negara tidak melakukan tindakan di luar kewajaran yang mendistorsi hak asasi warga negara untuk bebas memilih keyakinan spiritualitasnya kepada Tuhan YME.

Sebab, kebebasan berkeyakinan serta menganut agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi dan dihormati. Hak itu bagian dari hak sipil dan politik. Hak bebas memilih agama dan keyakinan kepada Tuhan YME sebagai hak konstitusional yang bersumber pada hak alamiah; melekat pada setiap orang dan bukan pemberian negara.

Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis sesungguhnya telah menjamin hak bebas memilih agama dan keyakinan kepada Tuhan YME, sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: ‘’Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.’’ Jika dibaca menggunakan penafsiran asli, bunyi ketentuan Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 itu harus dilacak dari bagaimana perdebatan para perancang UUD 1945 dalam Rapatrapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/PPKI) pada 1945.

Tecermin bahwa para perancang UUD 1945 tak hendak menegasikan penghayat kepercayaan sebagai sesuatu yang terpisah dari agama-agama, bahkan dapat dipahami para perancang UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) masih mencantumkan kata ‘’kerpercayaan’’ sebagai frasa yang sejajar dengan kata agama. Maknanya, penghayat kepercayaan setara dengan agama-agama yang lebih dahulu diakui oleh negara.

Dengan putusannya dapat dipahami pula, MK hendak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara pluralistik dalam hal agama, keyakinan, kepercayaan, sehingga tidak tepat jika menutup diri atas pertumbuhan dan perkembangan aneka penghayat kepercayaan. Data Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017 menunjukkan ada 187 organisasi penghayat kepercayaan di Tanah Air.

Dari angka itu dilaporkan sekitar 12 juta orang adalah penghayat kepercayaan, yang tersebar di 13 provinsi dan telah diverfikasi secara ketat terkait dengan aliran yang dianut warga harus memiliki nilai kearifan lokal, berbudi luhur, serta mengatur relasi antara manusia, Tuhan dan kearifan lokal itu sendiri.

Berdasarkan data itu, jika dilihat dari aspek jumlah penganut, memang tidak banyak dibandingkan dengan jumlah penganut enam agama resmi yang diakui oleh negara. Namun, dari aspek doktrin penghormatan dan perlindungan hak sipil dan politik, diperlukan kebijakan nondiskriminasi terkait dengan pelayanan hak konstitisional.

Tidak berhubungan jumlah penganut, namun terkait dengan nilai yang negara harus memberi pelayanan kepada semua warga negara, kendati minoritas. Berbeda dari doktrin penghormatan dan perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya, negara bisa membuat kebijakan berdasarkan pertimbangan besar atau kecil jumlah warga negara.

Setelah putusan MK yang mengakui eksistensi penghayat kepercayaan, yang diperlukan saat ini adalah desain kebijakan negara dalam memberikan pelayanan terhadap mereka dalam aspek hukum administrasi kependudukan dan administrasi kenegaraan; mulai pencantuman dalam kolom KTP, hak pelayanan pendidikan, pengembangannya dalam masyarakat, sampai pada level pemberian hak-hak lain yang disetarakan dengan penganut enam agama resmi negara.

Kalau tidak segera ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan teknis dan operasional, sama maknanya negara melakukan pembangkangan hukum dan berpotensi melahirkan ketidakharmonisan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar