Hentikan
Kekerasan Guru pada Siswa
Paul Suparno ; Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
|
KOMPAS,
13 November
2017
Hari-hari ini kita diramaikan
oleh berita di Whatsapp dengan rekaman video tentang seorang guru Matematika
yang melakukan kekerasan kepada seorang anak SMP di kota Pangkal Pinang,
Bangka Belitung.
Memang awalnya si korban
keliru, yaitu menyebut nama guru itu tanpa sebutan ”Pa” sewaktu guru itu
mengajar di kelas lain. Akibatnya, guru itu mencari si korban dan memukuli si
korban. Kemudian siswa itu dibawa ke rumah sakit. Apakah tindakan guru itu
tepat?
Ada banyak alasan mengapa
seorang guru marah kepada siswanya di kelas atau di sekolah. Mulai karena
siswa tak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), tidak menghormati guru yang
sedang mengajar dengan ngomong sendiri atau main HP, siswa ramai dan
berkelahi di kelas, siswa melakukan pelanggaran moral seperti narkoba,
mencuri, mencontek, hingga mengejek guru.
Menghadapi siswa yang dianggap
kurang baik di atas, beberapa guru kemudian melakukan hukuman dengan tindak
kekerasan. Hal ini terjadi antara lain karena guru tidak dapat mengendalikan
emosi; menganggap kekerasan kepada siswa sebagai hal biasa; kekerasan sudah
menjadi bagian budaya yang harus diteruskan; tak melihat alternatif lain
dalam memberikan sanksi kepada siswa, dan merasa orangtua tidak akan protes.
Apakah hukuman kepada siswa
yang melanggar aturan atau nilai moral harus dengan kekerasan fisik?
Jawabannya jelas: tidak! Hukuman atau sanksi yang baik adalah sanksi yang
mendidik, yang berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan, seperti kalau siswa
tidak menyebut gurunya ”Pak”, siswa itu diminta menyebut kata ”Pak” beberapa
kali. Kalau siswa tak mengerjakan PR, sanksinya mengerjakan PR dengan jumlah
yang lebih banyak.
Bentuk sanksi yang tak ada
kaitan dengan kesalahannya dan tidak menyembuhkan sebenarnya bukan sanksi
dalam dunia pendidikan. Sanksi dengan kekerasan jelas tak benar dan tidak
tepat; apalagi siswanya tidak melakukan kekerasan fisik kepada guru.
Kembangkan budaya menghargai pribadi siswa
Kadang di beberapa daerah
diyakini bahwa siswa yang berbuat salah harus dihukum dengan kekerasan,
seperti ditampar dan/atau dipukul dengan tongkat. Bahkan, beberapa guru yakin
bahwa tanpa kekerasan siswa tidak akan bertobat, tidak menjadi baik, tidak
berhenti berbuat kesalahan, tidak akan belajar.
Anggapan semacam itu kiranya
tidak tepat. Sebab, dengan cara demikian guru hanya meneruskan budaya
kekerasan, dan tidak memajukan budaya daerahnya untuk menjadi lebih tinggi,
lebih santun, dan lebih menghargai pribadi anak didik.
Giroux, seorang ahli filsafat
dan sosiologi, mengungkapkan bahwa salah satu tugas guru adalah justru ikut
memajukan budaya yang ada, yang belum manusiawi. Kalau biasanya dulu siswa
dipukul, sekarang saatnya guru mencari jalan di mana siswa dapat diubah tanpa
harus dengan kekerasan.
Dengan demikian, pendidikan
memang mengubah bukan hanya sikap anak, melainkan juga budaya daerah itu
semakin ditingkatkan menjadi lebih manusiawi. Dengan cara itu, pendidikan
ikut andil dalam mengembangkan budaya manusia, bukan malah melestarikan
budaya yang kurang baik.
Sudah saatnya relasi guru dan
siswa menjadi relasi yang baik yang dialogis. Artinya, guru—yang memang lebih
tua—diharapkan lebih matang dan lebih tidak emosional dibandingkan dengan
siswa yang memang masih remaja dengan segala kekurangannya, apalagi pendidik
adalah teladan atau panutan. Kalau kekerasan itu dilakukan di depan kelas,
ini menjadi contoh yang tidak baik bagi siswa lain karena melihat temannya
dihajar oleh guru yang seharusnya lebih sabar dan lebih dewasa. Dengan
tindakan itu, sebenarnya guru sendiri menjatuhkan dirinya di depan siswa
karena tidak dapat menjadi teladan sebagai orang tua yang dengan sabar
membimbing siswa.
Kekerasan juga melanggar hak
asasi manusia (HAM), di mana siswa—meski masih muda—adalah seorang pribadi
yang harus dihargai dan diperlakukan dengan hormat sebagai pribadi manusia.
Kiranya guru perlu sadar akan tindakannya di depan kelas, agar juga tidak
melanggar hak asasi yang akibatnya menyeret dirinya ke ranah hukum.
Menyikapi sikap anak yang
dianggap salah dengan cara kekerasan menunjukkan bahwa guru belum pandai
dalam mengolah dan menanggapi situasi dan kesalahan siswa. Pendekatan kalau
siswa salah lalu harus dihukum keras menunjukkan bahwa guru kehabisan cara
untuk menghadapi kenakalan siswa.
Guru zaman ini dituntut untuk
lebih mengembangkan berbagai cara mendekati siswa yang bersalah dengan cara
yang lebih menyenangkan, yang memajukan, yang membesarkan hati siswa. Bukan
justru dengan kekerasan yang menyakitkan.
Guru pun perlu sadar bahwa
siswa bukanlah musuh yang harus dihadapi. Siswa adalah anak didik, yang perlu
dibantu untuk maju menjadi lebih baik. Maka, pendekatan perlu lebih manusiawi
karena mau membantu mereka menjadi lebih manusiawi.
Guru perlu sadar bahwa siswa
adalah teman di mana mereka dapat saling mengembangkan sebagai guru dan
siswa. Tanpa siswa tidak ada guru, tanpa guru tidak ada siswa. Jadi, keduanya
penting. Semoga, ke depan, kekerasan terhadap siswa oleh guru lenyap dari
lingkup pendidikan kita! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar