Visi-Misi
Prabowo-Hatta :
Meningkatkan
Kesejahteraan Guru?
Suharti
; Lulusan Australian National University
(ANU) Penekun Kajian Pendidikan; Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2014
SUNGGUH, saya tertegun saat
membaca dokumen visi-misi pasangan capres/cawapres Prabowo-Hatta, yang memuat
dua `rencana populis': 1) merekrut sebanyak 800 ribu guru baru selama lima
tahun dan 2) menaikkan tunjangan profesi guru menjadi rata-rata Rp4 juta per
bulan. Rencana itu sudah pasti tidak didasarkan pada data/informasi yang
akurat dan tidak pula menghitung konsekuensi finansial karena berdampak
fiskal yang sangat serius. Artikel ini bertujuan `meluruskan' rencana yang
justru akan meningkatkan inefisiensi di bidang pendidikan sekaligus
mengingatkan capres/cawapres agar tidak menjanjikan agenda populis hanya
untuk kepentingan meraih dukungan politik dan meraup suara pemilih semata.
Jumlah guru berlebih Penting diketahui, pada tahun ajaran 2011/2012, jumlah guru sudah mencapai 3,62 juta, dengan rincian 2,74 juta mengajar di TK dan sekolah umum, dan sekitar 879,8 ribu mengajar di raudatul atfal (RA) dan madrasah. Pada tahun ajaran 2012/2013, jumlah guru yang mengajar di TK dan sekolah umum bahkan meningkat menjadi 2,94 juta orang. Jika guru di RA dan madrasah meningkat dengan laju yang sama, jumlah guru secara keseluruhan su dah lebih dari 3,88 juta. Perlu dicatat pula, jumlah tersebut belum termasuk guru-guru yang mengajar di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) di luar TK dan RA. Untuk mengukur kecukupan jumlah guru, lazim digunakan indikator rasio guru-murid atau rata-rata jumlah murid per guru. Sejak 2000--ketika kebijakan desentralisasi mulai berlaku--sampai 2010, pertumbuhan jumlah guru sama sekali tak terkendali, jauh melebihi pertumbuhan jumlah murid. Akibatnya, rasio guru-murid pada semua jenjang pendidikan menurun signifikan, dari 1:22 menjadi 1:16 (SD), dari 1:16 menjadi 1:13 (SMP), dari 1:14 menjadi 1:11 (SMA/SMK) (Data UNESCO). Rasio guru-murid itu sudah terlampau mewah jika dibandingkan dengan rasio guru-murid di negara-negara berpendapatan setara dengan Indonesia (menengah ke bawah), yaitu 1:29 (SD), 1:24 (SMP), dan 1:20 (SMA). Di Indonesia, rata-rata rasio guru-murid setara bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan Jepang, Korea, dan Singapura. Rasio guru-murid untuk jenjang SMP dan SMA/SMK bahkan sudah lebih baik jika dibandingkan dengan angka rata-rata negara-negara maju. Secara kuantitas, jumlah guru sudah sangat berlebih. Kelebihan jumlah guru terjadi tidak hanya di sekolah-sekolah di wilayah perkotaan, tetapi juga sudah menjangkau sebagian sekolah di daerah perdesaan. Namun, sekolah-sekolah di daerah tertinggal justru kekurangan guru. Mobilitas guru antarsekolah dan antardaerah sulit dilakukan karena pengelolaan guru sepenuhnya berada di bawah kendali bupati dan wali kota. Sebaran guru yang tidak merata itulah yang menyebabkan inefisiensi karena banyak guru tak memenuhi beban kerja (baca: jam mengajar) sesuai dengan ke tentuan yang berlaku. Kualitas pembelajaran Secara teoretis, rasio gurumurid yang rendah niscaya berdampak pada membaiknya kualitas pembelajaran. Interaksi guru-murid menjadi lebih intensif dan guru dapat mengetahui kelemahan dan kekuatan/kelebihan setiap muridnya, untuk kemudian memberi bimbingan selama proses pembelajaran. Namun, hal itu tidak otomatis terjadi. Berbagai penelitian di banyak negara menunjukkan rasio guru-murid yang rendah tidak se lalu berdampak pada kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa. Karakteristik murid, proses pembelajaran, dan metode pengajaran juga berpengaruh. Hasil tes berstandar internasional seperti PISA juga tidak menunjukkan hubungan signifikan antara rasio guru-murid dan hasil belajar siswa. Satu hal yang pasti, rasio guru-murid yang rendah menggambarkan inefisiensi pembiayaan pendidikan bila tidak berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran. Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Hasil penelitian penulis (2013) menunjukkan rendahnya rasio guru-murid tidak berdampak signifikan pada perbaikan hasil belajar siswa, yang diukur dengan nilai ujian nasional. Perbandingan dengan negara-negara lain yang menggunakan nilai PISA juga menunjukkan hal yang sama. Di Thailand, Vietnam, Brasil, bahkan Amerika yang memiliki rasio guru-murid lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia, prestasi belajar murid justru lebih baik. Perubahan pendekatan Menurut ketentuan, pada jenjang SD/MI, selain guru kelas, mereka harus memiliki guru agama dan guru olah raga. Pada jenjang menengah pertama dan menengah atas, setiap mata pelajaran harus diampu guru mata pelajaran yang sesuai. Ketentuan itu jelas sangat tidak efisien bila dibuat perhitungan antara jumlah guru dan beban kerja. Mari kita hitung dengan mengambil contoh jenjang SMP. Menurut kurikulum 2013, ada 10 mata pelajaran di SMP dengan jumlah 38 jam mengajar tatap muka per minggu. Jumlah tatap muka per mata pelajaran bervariasi: 1) 2 jam untuk prakarya termasuk muatan lokal, 2) 3 jam untuk agama dan budi pekerti, Pancasila dan kewargaan negara, seni budaya, dan penjaskes, 3) 4 jam untuk IPS dan bahasa Inggris, 4) 5 jam untuk matematika dan IPA, dan 5) 6 jam untuk bahasa Indonesia. Bila sekolah punya tiga rombongan belajar atau satu kelas paralel untuk tiap kelas 7, 8, dan 9, beban kerja per guru hanya berkisar 6 jam-18 jam. Tidak ada satu pun guru yang bisa memenuhi batas minimal 24 jam tatap muka sebagaimana diatur dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Jika sekolah mempunyai enam rombongan belajar sekalipun, hanya guru IPS, bahasa Inggris, matematika, dan bahasa Indonesia yang bisa memenuhi batas minimal 24 jam tatap muka per minggu. Sayang, sekitar 49% SMP dan 47% SMA/SMK ialah sekolah-sekolah dengan rombongan belajar sedikit, dengan jumlah murid kurang dari 180 orang dan rata-rata rasio guru-murid 1:7 untuk SMP dan 1:5 untuk SMA/SMK (2009/2010). Selain itu, pendekatan tersebut menciptakan ketidakadilan karena beban kerja tidak diperhitungkan dalam sistem penggajian guru, khususnya guru PNS. Dengan pangkat dan masa kerja yang sama, guru-guru yang mengajar 6 jam seminggu mendapatkan gaji setara dengan mereka yang mengajar 24 jam atau lebih. Untuk mengatasi masalah itu, perlu dipikirkan suatu kebijakan yang memberi peluang bagi para guru untuk mengajar lebih dari satu mata pelajaran (multi-subject teaching) dalam satu rumpun. Misal, guru kimia diperbolehkan mengajar fisika, biologi, atau matematika yang berada dalam rumpun MIPA. Pada jenjang SD/MI bisa digunakan pendekatan multigrade teaching. Jika kebijakan tersebut diberlakukan, jumlah guru dapat dikurangi dan efisiensi anggaran pendidikan dapat ditingkatkan, tanpa harus mengurangi kualitas pembelajaran. Tentu saja, kebijakan itu harus diterapkan bertahap agar tidak menimbulkan gejolak. Efisiensi anggaran pendidikan hanya bisa dilakukan melalui rasionalisasi guru, yang dapat ditempuh melalui penggantian guru-guru pensiun dengan guru-guru baru yang berkualitas. Gelombang guru-guru pensiun mencapai puncaknya pada 2022. Program pendidikan menengah universal (PMU) yang bertujuan meningkatkan akses dan memperluas layanan pendidikan menengah juga merupakan kesempatan baik untuk melakukan rasionalisasi guru. Pemborosan dana publik Rencana menaikkan tunjangan profesi guru harus ditimbang sangat hati-hati. Tanpa disertai perhitungan beban kerja yang adil, tunjangan profesi hanya dinikmati sebagian kecil guru, yang umumnya mengajar di sekolah-sekolah besar di perkotaan. Adapun guru-guru yang mengajar di perdesaan atau daerah terpencil semakin terpinggirkan. Selain itu, upaya meningkatkan kesejahteraan guru harus dipastikan berdampak pada peningkatan mutu pembelajaran. Hasil studi Bank Dunia (2012) mengungkapkan sertifikasi dan tunjangan profesi memang berhasil meningkatkan kesejahteraan guru, tetapi belum memberi dampak nyata terhadap peningkatan kualitas pembelajaran dan hasil belajar siswa. Maka, rencana merekrut guru baru sebanyak 800 ribu yang digagas Prabowo-Hatta hanya akan memboroskan uang negara. Rencana menaikkan tunjangan profesi guru dapat dilakukan hanya bila sistem pendukungnya, termasuk sistem evaluasi kinerja guru, sudah disiapkan dengan baik. Jika tidak, dana publik yang digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan guru menjadi semakin tidak efisien. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar