Menjaring
dan Menyaring Capres
Salahuddin
Wahid ; Pengasuh Pesantren
Tebuireng
|
KOMPAS,
27 Juni 2014
PEMILIHAN
presiden langsung pada 2004 adalah
pengalaman pertama bagi kita. Maka, kita belajar dari pengalaman
negara lain, khususnya Amerika Serikat, yang berpengalaman sekitar 60 kali
menyelenggarakan pilpres langsung.
Dalam
tiga kali pilpres, tampaknya ada
perubahan mendasar dalam menjaring dan menyaring calon presiden dan calon
wakil presiden. Banyak tokoh ingin jadi capres/cawapres dan berjuang untuk
mewujudkan mimpi itu yang datang dari berbagai latar belakang. Ada yang
memenuhi syarat, ada yang tidak. Ada yang dikenal masyarakat, ada yang tidak.
Harian Kompas pada pertengahan 2003 pernah memuat foto sekian puluh nama itu
dalam dua halaman penuh.
Pilpres 2004 dan 2009
Pada
2004, Partai Golkar menjaring dan menyaring tokoh yang berminat menjadi
capres melalui semacam konvensi. Langkah itu bagus dan strategis. Namun,
sayang, menurut Nurcholish Madjid alias Cak Nur, konvensi itu tidak
menitikberatkan pada visi-misi, tetapi pada gizi sehingga dia mengundurkan
diri. Waktu itu survei belum jadi acuan sehingga tidak masuk dalam kriteria
yang dinilai. Pemenangnya adalah Wiranto.
Pada
Pilpres 2004, syarat untuk mengajukan capres amat rendah (3,5 persen)
sehingga muncul lima pasangan capres-cawapres. Sepuluh calon tersebut terdiri
dari 3 jenderal purnawirawan, 3 ketua umum parpol, 2 tokoh ormas, dan 2 orang
lagi pengusaha sukses yang pernah menjadi menteri. Dana sudah menjadi faktor
yang menentukan. Pemilihan dilakukan dua putaran. Pemenangnya adalah Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), jenderal purnawirawan.
Dalam
Pilpres 2004, ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah menjadi tujuan untuk
menjaring dan menyaring capres/cawapres dengan mengharapkan dukungan warga
ormas tersebut. Dari lingkungan Muhammadiyah, Amien Rais yang menjadi Ketua
Umum DPP PAN menjadi capres dari PAN. Dari NU, ada dua orang yang menjadi
cawapres, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Ternyata langkah itu
tidak efektif. Warga NU lebih memilih SBY daripada Ketua Umum PBNU.
Dalam
Pilpres 2009, pasangan capres-cawapres harus diajukan oleh (gabungan) partai
dengan perolehan minimal 25 persen suara atau 20 persen kursi DPR. Maka, yang
maju sebagai capres-cawapres hanya tiga pasangan, yaitu 3 mantan jenderal,
2 ketua umum partai, dan seorang guru
besar yang mantan menteri. Dua orang punya latar belakang pengusaha. Tidak
ada lagi tokoh ormas yang menjadi calon.
Kondisi mutakhir
Pada
Pilpres 2014, keadaan dan paradigmanya sudah amat berubah. Peran media dan
survei, yang tentu butuh dana amat besar, jauh lebih menonjol. Sudah disadari
tentang perlunya strategi pemenangan yang butuh ahli pemasaran dan psikologi
masyarakat. Prabowo Subianto sudah sejak lama (2-3 tahun) memanfaatkan
televisi untuk sosialisasi diri ke masyarakat luas sehingga Partai Gerindra
jadi pemenang ketiga Pemilu 2014.
Peran
pemilik dana makin menonjol. Aburizal Bakrie, yang selama ini lebih dikenal
sebagai pengusaha daripada politisi, berhasil jadi Ketua Umum Partai Golkar
setelah mengalahkan Surya Paloh yang juga pengusaha. Setelah itu Surya Paloh
mendirikan Partai Nasdem, partai baru yang mampu mengalahkan partai-partai
lama. Hary Tanoesoedibjo ke Partai Hanura meski akhirnya meninggalkan partai
tersebut. Secara mendadak, pengusaha Rusdi Kirana diangkat menjadi Wakil
Ketua Umum DPP PKB. Ini berarti peran uang makin besar dalam politik.
Dalam
memilih capres-cawapres pada Pilpres 2014, peran survei dan upaya rekayasa
sosial amat menentukan. Joko Widodo adalah produk rekayasa sosial yang amat
berhasil. Perancang strategi sosialisasi Jokowi amat berhasil dalam tugasnya.
Mereka pandai memilih tokoh yang akan diorbitkan dan pandai juga dalam
mengorbitkan. Mereka mampu mengenali sesuatu dalam diri Jokowi yang akan bisa
dieksploitasi untuk menarik pemilih.
Prabowo
yang sudah mulai sosialisasi sejak 2009 juga memetik jerih payahnya itu
dengan menjadi capres karena punya tingkat keterpilihan yang tinggi. Aburizal,
yang memaksakan diri untuk menjadi capres dari Partai Golkar sehingga pantas
memasang iklan di TV One selama bertahun-tahun, ternyata tidak bisa mencapai
tingkat keterpilihan yang memadai. Aburizal pun terpaksa menelan pil pahit:
tak bisa menjadi capres atau cawapres. Hal itu memberikan pelajaran bahwa
ketersediaan dana yang amat besar dan dukungan partai saja ternyata tidak cukup untuk bisa membuat seorang
tokoh menjadi capres/cawapres.
Masalah
pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi sorotan publik, tetapi makin
berkurang. Surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira tentang pemberhentian
Prabowo dari TNI baru kini diungkap kepada masyarakat. Agum Gumelar dan
Fachrul Rozi menjelaskan bahwa TNI tidak memecat Prabowo karena dia adalah
menantu Presiden. Tentu itu bukan kesalahan Prabowo. Lebih sulit kita pahami
ketika Panglima TNI menyatakan bahwa surat keputusan itu tidak ada di arsip
Mabes TNI. Mau tidak mau kita jadi teringat pada Supersemar yang masih
misterius.
Kecenderungan ke depan
Keempat
calon yang maju dalam Pilpres 2014 adalah pengusaha. Sejumlah menteri juga
punya latar belakang pengusaha. Di masa depan calon berlatar belakang
pengusaha akan tetap banyak yang tampil, baik sebagai kepala daerah, menteri,
maupun capres/cawapres. Pengusaha dianggap punya kemampuan menyelesaikan
masalah, mengambil keputusan, dan punya dana.
Salah
satu fenomena baru adalah munculnya kepala daerah jadi capres. Di masa depan
kecenderungan ini akan meningkat. Kita melihat cukup banyak kepala daerah
yang berhasil mengembangkan daerahnya, misalnya Wali Kota Surabaya dan Bupati
Bantaeng. Masih banyak lagi kepala daerah yang menerima penghargaan dari
sejumlah lembaga dan media, baik di dalam maupun luar negeri. Sebaiknya
bupati/wali kota menjadi gubernur dulu dalam waktu lima tahun baru
capres/cawapres.
Tokoh
militer yang akan menjadi capres di masa depan tentu masih ada, tetapi belum
terlihat yang punya kapasitas seperti SBY, Prabowo, dan Wiranto. Jika memang
ada jenderal purnawirawan yang berpotensi dan punya niat kuat untuk maju pada
2019, mereka harus berani dan mampu mendirikan partai baru atau mengambil
alih partai yang ada seperti yang dilakukan seniornya. Dari segi usia,
kecenderungannya yang akan menjadi capres adalah mereka yang lahir pada
dasawarsa 1960-an, bahkan awal 1970-an. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar