Revolusi
Mental, Mulai dari Mana
Mohammad
Abduhzen ; Direktur Eksekutif
Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang
PB PGRI
|
KOMPAS,
23 Juni 2014
Dekadensi akal pikiran merupakan bencana batin
yang paling besar bagi bangsa. Karakter bangsa menjadi lemah, imperialisme
dengan mudah menancapkan kukunya di bumi pertiwi.
(Bung Karno, 1956. Indonesia
Menggugat: 129-133)
CALON
presiden Joko Widodo (Jokowi) menulis di harian ini (10/5/2014) bahwa kita
memerlukan revolusi mental sebagai paradigma baru dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan bangsa yang terus galau ini.
Menurut
Jokowi, selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan
sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau
budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building
tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.
Revolusi
mental itu berdasarkan konsep Trisakti Bung Karno, yaitu (1) Indonesia yang
berdaulat secara politik, (2) mandiri secara ekonomi, dan (3) berkepribadian
secara sosial-budaya. Revolusi mental harus dimulai dari diri kita sendiri,
lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, kemudian meluas ke lingkungan
kota dan negara. Untuk itu, lanjut Jokowi, revolusi mental harus menjadi
sebuah gerakan nasional.
Empat aspek penting
Meski
gagasan itu terasa masih mengambang, saya sependapat dengan revolusi mental
sebagai paradigma pembangunan mendatang. Pertama, ide ini menukik pada simpul
masalah dan penyumbat kemajuan bangsa selama ini. Masalah utama bangsa sudah
sangat jelas, yakni kualitas manusia yang kini lebih ”dikapitaliskan” dengan
sebutan modal manusia.
Kita
hampir tak memiliki masalah ketersediaan sumber daya alam dan kuantitas
penduduk sebagai basis perekonomian. Namun, karena manusia diposisikan
sebagai barang ekonomi belaka dan mentalitas tak pernah jadi fokus serius
pembangunan, berkembanglah aneka virus di jiwa yang menjadikan manusia Indonesia
bukan saja tak mampu menjaga dan memanfaatkan beragam kekayaannya, melainkan
juga jadi penyebab keterpurukan bangsanya sendiri.
Kedua,
sejak Orde Baru, paradigma pembangunan kita selalu bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi, meski begitu, kesejahteraan tak kunjung dirasakan rakyat.
Klaim-klaim kemajuan ekonomi hanya gelembung rapuh sehingga mudah kolaps
ketika diterpa krisis dan sukar pulih.
Soedjatmoko,
di awal 1970-an, telah mengingatkan bahwa model pembangunan ekonomi yang
dijalankan itu tidak mengarah dan berakar pada kebudayaan kita sendiri.
Kemajuan yang dicapai tak memegang peranan dalam alam pikiran bangsa kita,
tak memupuk kepercayaan diri. Menurut
Soedjatmoko, kita perlu memandang
pembangunan ekonomi dalam rangka kebulatan kehidupan bangsa atau dalam
kerangka kebudayaan kita.
Ketiga,
revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara
fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai
episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan
kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Ini sejalan dengan
konstitusi yang menetapkan negara harus memprioritaskan anggaran
pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD.
Dengan
platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang
ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan pendidikan kita yang sangat parah,
di antaranya kebijakan ujian nasional yang digagas dan dibela dengan gigih
oleh Jusuf Kalla. Selain itu, pemerintah nantinya tak secara instan menjadikan
berbagai gagasan yang sepintas tampak keren—seperti daya saing, persentase
pendidikan karakter, atau kementerian perguruan tinggi dan riset—sebagai
platform karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide
revolusi mental yang diinginkan.
Keempat,
secara empirik, sejarah kemajuan bangsa-bangsa di dunia sering kali diawali
oleh revolusi mental yang terekspresi sebagai revolusi ilmu pengetahuan,
revolusi pemikiran, atau revolusi kebudayaan. Titik awal kemajuan bangsa
Jepang, misalnya, adalah Restorasi Meiji yang mengubah mentalitas feodalisme
ke arah modernisme melalui pendidikan. Malaysia, tetangga kita, di era
Mahathir Mohamad, melakukan gerakan ”Melayu Baru” mulai 1971 yang dibarengi
kebijakan ”afirmatif” ekonomi baru yang dikenal dengan New Economic Policy. ”Tantangan terpenting
dan tersulit adalah di bidang kebudayaan. Bahkan, dengan kebijakan ekonomi
dan peluang baru, perubahan ini tidak akan terwujud tanpa pemupukan terhadap
nilai-nilai baru tertentu... Modernisasi pikiran merupakan prasyarat bagi
modernisasi ekonomi,” kata Mahathir (1999).
Mulai dari pemikiran
Meskipun
bukan representasi total kemanusiaan, rasionalitas tampaknya merupakan esensi
yang paling berpengaruh—di antara isi mental kita—pada kualitas kita sebagai
Homo sapiens. Dengan demikian, untuk revolusi mental efektif harus dimulai
dengan mengubah pemikiran.
Pertama, membangun jiwa merdeka. ”Revolusi fisik”
atau kemerdekaan telah dideklarasikan 69 tahun lalu, tetapi bilur-bilur
keterjajahan masih kentara dalam mentalitas kita yang terekspresi sebagai sikap dan perilaku minder, tidak
bertanggung jawab, dan berjiwa korup. Maraknya korupsi di negeri ini di
antaranya lantaran alam pikiran
membayangkan pemerintah dan negara sebagai kolonial sehingga
merongrong pemerintah dan menggerogoti uang negara tak dirasa sebagai
kesalahan, bahkan sebagai kepahlawanan.
Untuk
itu, sistem pendidikan nasional dalam segala ranahnya harus dirancang sebagai
upaya pemerdekaan yang menghapus fantasi keterjajahan melalui kekuatan berpikir,
kemandirian, rasa memiliki, dan tanggung jawab. Perubahan pemikiran tidak
akan terjadi sekiranya kita hanya meneruskan saja apa yang berlangsung selama
ini.
Kedua,
menanggalkan mental feodal. Feodalisme tidak sekadar menunjuk pada perilaku
penguasa yang membuat jarak, despotik, dan minta dihormati, tetapi juga pada
karakter manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 1977) yang terus dilestarikan
sehingga menghalangi kemajuan. Gejala feodalisme tampak kian menguat dalam
berbagai tingkat kepemimpinan kita dewasa ini. ”Banyaknya pimpinan saat ini
bersifat feodal karena perlakuan rakyat atau bawahannya yang menjadikan
pimpinannya berperilaku feodal” (BJ Habibie, pidato pembukaan Muktamar V
ICMI, 5/12/2010).
Feodalisme
di bidang politik dan pemerintahan telah
mengerdilkan jiwa kepemimpinan dan melahirkan birokratisme dengan
segala bawaannya. Dalam dunia pendidikan, feodalisme melemahkan pikiran dan
menyebabkan kebodohan. Sementara di bidang ekonomi, sosial, dan budaya akan
melestarikan ketergantungan dan diskriminasi atas dasar nilai-nilai
primordialisme.
Beragam
upaya demokratisasi harus dilakukan untuk meretas belenggu feodalisme
masyarakat, di antaranya melalui keteladanan dan menghidupkan kamampuan
berpikir kritis. Para pemimpin sekarang hendaknya belajar dari RM Soewardi
Soerjaningrat yang ketika berumur 40 tahun menanggalkan gelar
kebangsawanannya (Raden Mas) seraya mengganti nama jadi Ki Hadjar Dewantara.
Alasannya agar lebih dekat pada
rakyat. Kepemimpinan yang mendekat dan mendengarkan rakyat secara otentik
hanya dapat diterapkan ketika
feodalisme ditanggalkan.
Ketiga,
mengubah cara pandang terhadap kerja. Kinerja harus jadi sebuah sistem nilai
yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Tidak seperti tetumbuhan dan
hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan
beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan
agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia harus
bekerja dan mencipta.
Letak
muruah dan kemuliaan manusia adalah pada karya yang bermanfaat bagi
kehidupan. Hanya bekerja keras dengan pikiran waras kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam
ekonomi, dan kepribadian dalam sosial budaya akan terwujud.
Keempat,
reorientasi pemikiran agama. Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran keagamaan
sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat kita sejak dahulu.
Keberagamaan seyogianya memberikan dorongan dan arah bagi perilaku produktif
yang memudahkan dan memuliakan kehidupan serta kemanusiaan.
Namun,
kenyataannya, agama sering kali dipahami
sebatas perkara eskatologis dan
transenden yang melahirkan sikap setengah hati terhadap keduniawian,
fatalisme, dan mengutamakan ritual. Pemahaman yang tidak proporsional
terhadap substansi dan fungsi agama menjadikan agama sebagai sumber kecemasan,
konflik, dan ancaman terhadap kemanusiaan dan lingkungannya.
Revolusi
mental akan menyempurnakan revolusi kita yang belum selesai. Ini memerlukan
kesungguhan dan pemikiran mendalam serta komprehensif. Jika hanya pencitraan,
sejarah akan menertawakan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar